Ratusan Calon Jemaah Haji Gagal Berangkat Lewat Jalur *Furada*, Apa Penyebabnya?
Mimpi Nurita Indiyastuti untuk menunaikan ibadah haji di tahun 2025 sirna. Tepat di hari ulang tahunnya, 28 Mei, perempuan asal Solo yang memilih jalur haji *furada* atau *mujamalah* ini menerima kenyataan pahit: visanya ditolak. Ia dan ratusan calon jemaah lainnya gagal berangkat karena otoritas Arab Saudi menghentikan penerbitan visa haji *furada* pada 26 Mei 2025, jauh sebelum batas waktu yang beredar sebelumnya. Kekecewaan mendalam menyelimuti Rita, yang telah mempersiapkan perjalanan suci ini selama lima tahun, termasuk menabung dalam mata uang dolar AS. Namun, biro perjalanan yang dipilihnya berjanji akan memfasilitasi keberangkatan tahun depan.
Kegagalan keberangkatan ini bukan kasus tunggal. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Hilman Latief, menegaskan pemerintah Indonesia sama sekali tidak menerima informasi mengenai perpanjangan penerbitan visa *furada*. Hilman memastikan bahwa proses penerbitan visa, termasuk *furada*, telah resmi ditutup otoritas Arab Saudi pada 26 Mei 2025 pukul 13.50 waktu Arab Saudi. Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan bahwa pemberian visa *mujamalah* berada di luar kewenangan pemerintah Indonesia, meskipun komunikasi intensif telah dilakukan dengan otoritas Arab Saudi. Seorang calon jemaah haji yang diwawancarai BBC News Indonesia mengungkapkan kesedihan dan kekecewaannya, namun tetap berharap bisa berangkat tahun depan.
Para pengusaha travel pun turut merasakan dampaknya. Khaidur Jumin, pemilik Sianok Indah Holiday, mengungkapkan bahwa sebagian besar biro perjalanan yang mengurus haji *furada* mengalami kerugian signifikan karena kuota yang diterima jauh di bawah target, hanya sekitar 10-15%. Mereka menawarkan dua pilihan kepada calon jemaah yang gagal berangkat: pengembalian uang dengan potongan 10% atau penjadwalan ulang keberangkatan. Syam Resfiadi, Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji dan Umrah (Sapuhi), menambahkan bahwa berbagai opsi ditawarkan, mulai dari *refund* penuh hingga pengalihan dana ke program haji khusus pemerintah untuk tahun mendatang. Ia juga menekankan bahwa ketidakstabilan sistem haji *furada* mengharuskan fleksibilitas tinggi dari para pengusaha travel. Lebih lanjut, kegagalan keberangkatan calon jemaah *furada* bukan hal baru, terjadi pula pada tahun 2022, 2023, dan 2024.
Mengapa visa *furada* tidak terbit? Jawabannya sepenuhnya ada di tangan Kerajaan Arab Saudi. Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, menduga langkah ini merupakan bagian dari upaya Arab Saudi untuk memperbaiki tata kelola haji demi mendorong pertumbuhan ekonomi negara, sejalan dengan Visi 2030. Program ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada sektor minyak dan gas, dan haji *furada*—dengan biaya tinggi—dinilai membutuhkan penataan ulang. Faktor keamanan di kawasan Timur Tengah yang tengah bergejolak juga diduga menjadi pertimbangan.
Haji *furada*, jalur alternatif dengan fasilitas premium dan biaya tinggi (Rp324 juta hingga Rp462 juta), memungkinkan jemaah menghindari antrean panjang haji reguler. Namun, kemudahan ini berbanding lurus dengan risikonya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur kuota haji reguler dan khusus, sementara haji *furada* berada di luar kuota tersebut, bergantung sepenuhnya pada undangan Kerajaan Arab Saudi. Di Indonesia, penyelenggaraan haji *furada* diawasi oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang berizin dari Kementerian Agama.
Sayangnya, kemudahan dan fasilitas premium yang ditawarkan haji *furada* menjadi celah bagi praktik penipuan. Berbagai kasus penipuan dengan modus haji *furada* marak terjadi, mulai dari penggunaan visa palsu hingga penggelapan dana calon jemaah. Kerugian yang dialami para korban mencapai ratusan juta rupiah.
Untuk mencegah kerugian lebih lanjut, diperlukan peran aktif pemerintah dalam mengawasi dan mengatur pelaksanaan haji *furada*. Mustolih Siradj menekankan pentingnya informasi yang transparan mengenai PIHK yang berizin. Syam Resfiadi mengusulkan agar pembiayaan haji di luar kuota resmi dimasukkan ke dalam undang-undang, menciptakan sistem “haji cepat” dengan kuota tertentu dan pengelolaan dana oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal ini bertujuan melindungi calon jemaah dan pengusaha travel dari potensi kerugian dan penipuan. Perlu diskusi lebih serius untuk menciptakan aturan yang komprehensif dan melindungi semua pihak. Penerapan sistem yang adaptif terhadap kebijakan Arab Saudi juga sangat penting untuk memastikan keberlangsungan pelaksanaan ibadah haji.