RAGAMHARIAN.COM – Rusia tengah menghadapi lonjakan harga salah satu bahan pangan paling penting di negara itu, yakni kentang. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir, harga kentang meningkat hampir dua kali lipat, menjadikannya isu ekonomi dan sosial yang serius di tengah tekanan inflasi dan gangguan rantai pasokan global.
Menurut Badan Statistik Nasional Rusia (Rosstat), harga rata-rata kentang di kota-kota besar seperti Moskow dan St. Petersburg kini berkisar 120 hingga 130 rubel per kilogram, melonjak lebih dari 90 persen dibanding awal 2024. Kenaikan ini jauh melampaui inflasi nasional yang tercatat sekitar 8,5 persen.
Pakar menyebut faktor utama di balik krisis ini adalah cuaca ekstrem, khususnya kekeringan panjang yang melanda daerah pertanian utama seperti Krasnodar dan Rostov. Kedua wilayah tersebut menyumbang hampir sepertiga dari total produksi kentang nasional.
Produksi kentang Rusia pada 2024 tercatat hanya 15 juta ton, turun signifikan dari 18,3 juta ton pada 2022. Selain gagal panen, kerusakan tanaman akibat hama dan penyakit seperti phytophthora turut memperparah situasi.
Rusia selama ini bergantung pada benih kentang berkualitas tinggi dari negara Eropa Barat seperti Belanda dan Jerman. Namun, sanksi internasional akibat ketegangan geopolitik memutus pasokan tersebut. Varietas lokal belum mampu menggantikan peran benih impor dalam hal ketahanan dan produktivitas.
Dmitry Petrov, pakar dari Universitas Pertanian Moskow, menilai, “Rusia baru mampu memenuhi 10 persen kebutuhan benih kentang unggul. Tanpa terobosan, krisis ini akan terus membayangi.”
Kondisi semakin diperparah oleh pelemahan mata uang rubel terhadap dolar dan kenaikan harga input pertanian. Harga pupuk melonjak tiga kali lipat dibandingkan dua tahun lalu, sementara biaya bahan bakar naik 30 persen. Ini memaksa petani menaikkan harga jual demi bertahan.
Seorang petani di Tambov menyebutkan, “Kami harus mengeluarkan 50.000 rubel untuk satu ton pupuk, jauh lebih mahal dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau tidak menaikkan harga, kami bangkrut.”
Pertumbuhan industri makanan olahan juga menambah tekanan. Permintaan terhadap produk seperti keripik kentang, kentang beku, dan makanan cepat saji meningkat sekitar 15% per tahun di kota-kota besar, sementara produksi kentang segar tidak mampu mengejar pertumbuhan tersebut.
Anna Sokolova, analis agrikultur, menegaskan, “Permintaan melonjak, tapi pasokan terbatas. Ini menciptakan kondisi sempurna untuk lonjakan harga.”
Krisis ini berdampak langsung pada kehidupan rumah tangga, terutama di pedesaan dan kalangan berpenghasilan rendah. Bagi masyarakat Rusia, kentang bukan sekadar bahan makanan, tetapi juga bagian dari identitas budaya. Dari sup borscht, pangsit, hingga menu rumahan, kentang selalu hadir.
Survei oleh Levada Center pada 2023 menunjukkan bahwa 78% masyarakat Rusia menganggap kentang sebagai makanan pokok yang tak tergantikan.
Menanggapi krisis ini, Kementerian Pertanian Rusia berencana memperluas lahan tanam kentang sebesar 6.500 hektar dan menggencarkan program pengembangan benih lokal. Namun, para pakar menilai langkah ini butuh waktu panjang dan investasi besar dalam teknologi pertanian.
Sementara itu, pemerintah juga memperluas impor dari negara-negara seperti Belarus serta mempertimbangkan subsidi pupuk, bahan bakar, dan peralatan pertanian untuk meringankan beban petani.
Namun, gagasan pengendalian harga oleh negara menuai penolakan dari asosiasi industri makanan, yang khawatir kebijakan itu justru menyebabkan kelangkaan dan merusak sistem distribusi.
Meski situasi saat ini memprihatinkan, beberapa pengamat melihat krisis ini sebagai momentum bagi reformasi sektor pertanian Rusia. Dorongan menuju kemandirian benih, modernisasi sistem irigasi, dan adopsi teknologi agrikultur berkelanjutan dapat menjadi fondasi masa depan pertanian nasional.
“Dalam krisis ini tersimpan peluang. Jika dikelola dengan tepat, Rusia bisa menjadikan kentang bukan hanya sebagai ikon budaya, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi pedesaan,” tutup Anna Sokolova.