Hoegeng: Kisah Kapolri Jujur yang Menginspirasi & Abadi

Avatar photo

- Penulis Berita

Selasa, 1 Juli 2025 - 23:37 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hoegeng Imam Santoso: Mengenang Jejak Integritas Sang Kapolri Legendaris

Hoegeng Imam Santoso. Nama ini identik dengan kejujuran, ketegasan, dan integritas tinggi dalam sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dari tahun 1968 hingga 1971, Hoegeng mengukir jejak tak terlupakan sebagai teladan bagi setiap abdi negara, sosok yang berani berdiri tegak melawan arus korupsi.

Perjalanan karier Hoegeng, yang dimulai dari bawah, ditempa oleh berbagai tantangan dan posisi strategis. Sebelum mencapai puncak sebagai Kapolri pada 5 Mei 1968 (institusi yang kemudian dikenal sebagai Polri sejak 1969), ia telah menduduki beragam jabatan penting. Pada tahun 1956, pria asal Pekalongan ini memimpin Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Medan, Sumatera Utara, sebuah posisi yang mengasah ketajamannya. Empat tahun berselang, ia berpindah ke Markas Besar Polri sebagai staf direktorat II, bahkan sempat menjabat sebagai menteri iuran negara pada 1965 dan menteri sekretaris kabinet inti pada 1966.

Integritas Hoegeng tak hanya sekadar reputasi; ia adalah prinsip hidup yang tak tergoyahkan, bahkan sejak awal kariernya di Polri. Ketika ditugaskan di Medan, Sumatera Utara, sebagai Kepala Bareskrim, ia menunjukkan ketegasan yang mengejutkan. Barang-barang mewah, mulai dari perabotan hingga parsel bernilai kecil, yang dikirim oleh para cukong dan pelaku bisnis ilegal sebagai ‘pelicin’, tak segan ia singkirkan dari rumah dinasnya, bahkan dilemparkan ke jalanan. Sikap ini adalah bentuk penolakannya terhadap segala bentuk suap dan intervensi kotor. Di kota itu, Hoegeng datang dengan misi membersihkan praktik bisnis ilegal, penyelundupan, dan perjudian yang marak, seringkali dengan ‘backing’ oknum aparat. Dengan geram, ia menyebut temuan praktik kongkalikong itu sebagai ‘kenyataan yang amat memalukan’, seperti tercatat dalam buku ‘Hoegeng’. Di bawah kepemimpinannya, para penjudi dan penyelundup tak bisa lagi berkutik; semuanya, termasuk oknum yang memberikan perlindungan, diproses secara hukum.

Keberhasilannya di Sumatera Utara mengantarkan Hoegeng pada tugas-tugas berat lainnya, termasuk memberantas KKN di Jawatan Imigrasi dan menjabat Menteri Iuran Negara. Semua diemban dengan sukses, membuktikan kapabilitas dan integritasnya. Hingga akhirnya, ia kembali ke institusi kepolisian dan diamanahi jabatan puncak sebagai Kapolri, menggantikan Soetjipto yang mengundurkan diri. Pelantikan oleh Presiden Soeharto pada 15 Mei 1968 diwarnai pesan khusus. Kala itu, Polri masih berada di bawah payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau TNI. Soeharto mengingatkan Hoegeng agar kepolisian fokus pada fungsi aslinya dan tidak terlibat dalam faksi yang memicu persaingan tidak sehat di kalangan perwira. Hoegeng menyetujuinya, namun ia juga dengan tegas meminta agar angkatan lain tidak mencampuri urusan internal kepolisian. Respons Soeharto hanya keheningan, sebuah sikap yang, bahkan hingga Hoegeng pensiun, tak pernah ia pahami sepenuhnya.

Sebagai seorang Kapolri, Hoegeng mempraktikkan disiplin luar biasa. Ia selalu tiba di kantor sebelum pukul tujuh pagi. Rute perjalanan dari rumah dinasnya di Menteng menuju Mabes Polri di Kebayoran Baru senantiasa ia ubah setiap hari, bukan tanpa alasan. Strategi ini memungkinkannya memantau langsung kondisi lalu lintas dan kesiagaan personel polisi lalu lintas. Bahkan, jika terjadi kemacetan, ia tak segan turun dari kendaraan dinasnya untuk turut serta mengatur lalu lintas, memberikan teladan nyata bagi anak buahnya. Lebih dari itu, Hoegeng dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Ia meniadakan pos penjaga di halaman rumah dinasnya, sengaja agar masyarakat tak sungkan atau takut bertamu. Rumahnya ia jadikan ‘rumah komando’ yang terbuka 24 jam penuh untuk setiap urusan dinas kepolisian.

Masa jabatan Hoegeng sebagai Kapolri diwarnai oleh dua kasus besar yang menggemparkan publik dan menguji integritasnya. Pertama adalah kasus Sum Kuning, sebuah tragedi pemerkosaan terhadap penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta. Yang lebih miris, korban justru dijebloskan ke penjara atas tuduhan memberikan keterangan palsu, bahkan kemudian dikaitkan dengan ‘kegiatan ilegal PKI’—sebuah indikasi kuat adanya rekayasa. Persidangan yang digelar secara tertutup dan ancaman terhadap wartawan yang memberitakannya semakin memperjelas nuansa ketidakadilan ini. Menghadapi tekanan dari para ‘orang gede’ yang diduga terlibat, Hoegeng tak gentar. Dengan tegas ia berujar, “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah! *The sooner, the better*.”

Kasus kedua yang tak kalah menghebohkan adalah penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai miliaran rupiah oleh Robby Tjahjadi. Awalnya, berkat ‘jaminan seseorang’ yang begitu berpengaruh, Robby hanya mendekam di tahanan Komdak selama beberapa jam, bahkan Kejaksaan Jakarta Raya sampai memetieskan kasus ini. Namun, Hoegeng, dengan komitmennya pada keadilan, tidak menyerah. Pada kasus penyelundupan berikutnya, Robby Tjahjadi tak berkutik di hadapan hukum. Pejabat yang terbukti menerima suap ditahan, menunjukkan bahwa tak ada yang kebal hukum di mata Hoegeng. Konon, keberanian Hoegeng membongkar jaringan ini, yang melibatkan sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI, menjadi pemicu utama dicopotnya ia dari jabatan Kapolri pada 2 Oktober 1971.

Publik mungkin membayangkan seorang mantan pemimpin tertinggi kepolisian akan pensiun dengan kemewahan berlimpah, hasil dari ‘hadiah’ dan suap. Namun, bayangan itu tak berlaku bagi Hoegeng, sang polisi jujur yang dianugerahi gelar “The Man of the Year 1970”. Ia memasuki masa purnabakti tanpa rumah pribadi, kendaraan mewah, atau harta berlimpah yang lazimnya dimiliki pejabat. Rumah dinasnya baru menjadi miliknya berkat pemberian dari Kepolisian, dan satu-satunya mobil yang ia miliki, sebuah Kingswood, adalah hasil patungan para kepala kepolisian daerah. Sebuah potret kesahajaan yang menegaskan dedikasinya yang tulus pada negara dan integritasnya yang tak lekang oleh waktu.

Berita Terkait

Putusan MK: Sistem Ketatanegaraan Indonesia Porak-Poranda? NasDem Geram
MK Pisah Pemilu? Mensesneg: Kami Analisa, Tak Akan Diam!
Putusan MK Pemilu Dipisah: Pro Kontra & Dampaknya bagi Pemilu 2024
Prabowo Resmikan SPPG Polri: Kado Spesial di Hari Bhayangkara ke-79
Prabowo Tegaskan: Polri Tak Tergantikan! Peran Vital bagi Indonesia
Aksi Paralayang Spektakuler Polri di Langit Monas, Jelang HUT Bhayangkara
Prabowo Kritik Polri: Jaga Kepercayaan Publik, Jangan Mengecewakan!
Nilai Tetap Raja! Lolos SPMB Jakarta Jalur Domisili? Ini Syaratnya

Berita Terkait

Selasa, 1 Juli 2025 - 23:37 WIB

Hoegeng: Kisah Kapolri Jujur yang Menginspirasi & Abadi

Selasa, 1 Juli 2025 - 22:41 WIB

Putusan MK: Sistem Ketatanegaraan Indonesia Porak-Poranda? NasDem Geram

Selasa, 1 Juli 2025 - 21:59 WIB

MK Pisah Pemilu? Mensesneg: Kami Analisa, Tak Akan Diam!

Selasa, 1 Juli 2025 - 20:48 WIB

Putusan MK Pemilu Dipisah: Pro Kontra & Dampaknya bagi Pemilu 2024

Selasa, 1 Juli 2025 - 16:51 WIB

Prabowo Resmikan SPPG Polri: Kado Spesial di Hari Bhayangkara ke-79

Berita Terbaru

Society Culture And History

Viral! Putri Kako dari Jepang Tuai Pujian karena Naik Pesawat Ekonomi

Rabu, 2 Jul 2025 - 07:12 WIB