Jakarta, Ragamharian.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri pekan dengan koreksi, ditutup pada level 7.113,42 pada perdagangan Kamis (5/6). Meskipun mencatat kenaikan harian sebesar 0,63%, secara akumulatif dalam sepekan, IHSG tercatat turun 1,19%, mencerminkan kekhawatiran yang masih menyelimuti pasar modal Indonesia.
Direktur Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, menjelaskan bahwa optimisme pasar sempat tumbuh ketika sinyal komunikasi positif muncul antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok. Namun, absennya kesepakatan konkret di antara keduanya justru memicu kembali kecemasan di kalangan investor. Nico menggambarkan situasi ini sebagai “hubungan Amerika-Tiongkok yang tidak jadi baikan,” seolah-olah kedua negara kembali saling tuding alih-alih mencapai resolusi.
Ketidakpastian geopolitik global yang belum mereda ini, menurut Nico, membuat pelaku pasar cenderung bersikap hati-hati (wait and see). Proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi global yang disampaikan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) semakin memperburuk sentimen. OECD bahkan menggarisbawahi bahwa kemerosotan pertumbuhan ini tidak hanya terjadi secara global, namun nyaris merata di seluruh negara, dampak langsung dari kebijakan tarif dan tekanan eksternal lainnya yang menciptakan ketidakpastian.
Di sisi domestik, meskipun belum menjadi faktor dominan, tekanan tetap terasa. Nico menyoroti penurunan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei lalu, yang merupakan terendah dalam lima tahun terakhir, serta tren penurunan inflasi. Ia menjelaskan bahwa inflasi yang melandai mengindikasikan melemahnya konsumsi dan daya beli masyarakat. Kondisi ini menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk segera mengeluarkan stimulus fiskal, seperti diskon transportasi dan bantuan langsung tunai yang baru-baru ini diumumkan.
Melihat pergerakan IHSG ke depan, Nico menilai koreksi teknikal masih dalam batas wajar selama indeks bertahan di atas level psikologis 7.000. “Selama masih bertahan di atas 7.000, peluang penguatan masih terbuka,” ujarnya. Namun, ia menekankan bahwa arah pergerakan selanjutnya akan sangat bergantung pada perkembangan hubungan AS-Tiongkok di pekan mendatang.
Menambahkan analisis, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Ahmad Iqbal Suyudi, menyatakan bahwa secara teknikal, IHSG memang sudah berada di area resistance jangka pendek, sehingga koreksi yang terjadi minggu ini sudah dapat diantisipasi sejak awal. Iqbal memperkirakan pelemahan IHSG masih bersifat terbatas, dengan level support kuat yang juga berada di kisaran 7.000.
Selain faktor teknikal, Iqbal mengemukakan bahwa pasar juga tengah menantikan rilis data ketenagakerjaan dari Amerika Serikat, khususnya Non-Farm Payroll (NFP) dan tingkat pengangguran. “Selama data itu belum dirilis, investor cenderung wait and see. Itu sebabnya ruang pergerakan IHSG terbatas,” jelasnya.
Dari perspektif domestik, Iqbal melihat kondisi inflasi yang melandai sebagai sentimen positif. Ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan kembali penurunan suku bunga acuan. “Jika inflasi tetap dalam batas aman dan nilai tukar rupiah stabil, peluang penurunan suku bunga lanjutan terbuka lebar, dan ini bisa menjadi katalis baru yang positif bagi pasar saham Indonesia,” pungkas Iqbal.