Jakarta – Sebuah poin penting dalam kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menjadi sorotan utama. Pemerintah AS, melalui Gedung Putih, pada 22 Juli 2025, secara resmi merilis poin kesepakatan yang mencantumkan komitmen Indonesia untuk menghapus pembatasan ekspor mineral kritis ke Negeri Paman Sam. Pernyataan ini sontak memicu beragam respons, khususnya dari pihak Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada Rabu, 23 Juli 2025, dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia akan tetap berpegang pada prinsip hilirisasi. Menurutnya, ekspor mineral ke AS akan dilakukan dalam bentuk olahan. “Yang diekspor adalah *processed mineral*,” ujar Airlangga di kantornya, Jakarta Pusat, memperjelas posisi pemerintah Indonesia. Ia juga meyakinkan bahwa negosiasi tarif impor AS sama sekali tidak menyentuh larangan ekspor mineral mentah. “Tidak ada yang dihapus, di dalam detailnya sudah ada,” tegas Airlangga, menepis kekhawatiran terkait potensi pencabutan kebijakan strategis ini.
Pernyataan dari Gedung Putih yang menyebut “Indonesia akan menghapus pembatasan ekspor ke Amerika Serikat untuk komoditas industri, termasuk mineral kritis” termaktub dalam *Joint Statement on Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade*. Pengumuman ini disampaikan setelah AS menetapkan tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk-produk Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan detail lebih lanjut mengenai kesepakatan ekspor mineral di kemudian hari. “Semuanya nanti akan ada detailnya. Secara umum, apa yang mereka (AS) harapkan pasti akan ada detailnya. Kami juga memiliki peraturan-peraturan dalam negeri yang perlu penyesuaian,” jelas Haryo kepada *Tempo* pada Rabu, 23 Juli 2025, mengindikasikan bahwa proses adaptasi regulasi internal masih diperlukan.
Perlu diketahui, Indonesia secara konsisten menjalankan komitmen hilirisasi industri dengan melarang ekspor mineral mentah. Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Aturan ini mewajibkan produsen komoditas strategis seperti nikel, bauksit, dan tembaga untuk membangun fasilitas pemurnian atau *smelter* di dalam negeri sebelum produknya diizinkan untuk diekspor. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Sebelumnya, Amerika Serikat sempat menyuarakan kritik terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia ini. Dalam dokumen *National Trade Estimate (NTE) 2025*, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait dampak kebijakan tersebut terhadap industri baja dan aluminium global, serta potensi kelebihan kapasitas produksi di pasar internasional.
Menyikapi polemik yang muncul, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyarankan publik untuk menunggu pernyataan resmi dari pemerintah terkait detail pencabutan ekspor mineral kritis. “Mungkin harus menunggu pernyataan yang lebih resmi dari pemerintah, seperti apa terjemahan kesepakatan ini ke regulasi kita,” ujar Hendra di Gedung Sarinah, Rabu, 23 Juli 2025. Ia menegaskan, “Setahu saya itu bukan membolehkan ekspor (mineral mentah). Karena hilirisasi kita sampai saat ini kunci suksesnya adalah karena ada kewajiban larangan ekspor.” Hendra juga menambahkan bahwa larangan ekspor nikel mentah telah berlaku penuh, dan semua mineral yang ditambang wajib melalui proses pengolahan sebelum diizinkan untuk diekspor. Hal ini semakin memperjelas komitmen Indonesia terhadap peningkatan nilai tambah komoditas mineral di kancah global.