Perang Perbatasan Thailand-Kamboja Mencekam: Ujian Berat bagi Sentralitas ASEAN dan Peran Indonesia
Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja telah memuncak drastis sejak Kamis lalu, merenggut nyawa sedikitnya 15 orang dan melukai 46 lainnya hingga Jumat, 25 Juli 2025. Eskalasi konflik perbatasan ini juga memaksa evakuasi lebih dari 112 ribu warga sipil dari zona berbahaya, menambah daftar panjang korban ketegangan regional.
Pertempuran sengit ini meletus di sekitar Candi Prasat Ta Moan Thom, Provinsi Surin, sebuah wilayah sengketa yang telah lama menjadi titik rawan friksi. Situasi diperparah dengan penggunaan senjata berat, roket, dan bahkan jet tempur dari kedua belah pihak. Thailand menuding pasukan Kamboja memulai serangan, sementara Kamboja balik menyalahkan Thailand atas pelanggaran wilayah, menciptakan lingkaran tuduhan yang sulit diurai.
Militer Thailand secara spesifik mengklaim bahwa Kamboja melancarkan serangan awal dengan menerbangkan drone dan menembakkan roket buatan Rusia ke arah pos militer serta pemukiman sipil mereka. Sebagai respons, enam jet tempur F-16 milik Thailand melancarkan serangan balasan ke dua titik militer di wilayah Kamboja, menunjukkan tingkat eskalasi militer yang mengkhawatirkan di kawasan tersebut.
Ujian Sentralitas ASEAN dalam Pusaran Konflik Regional
Menyikapi eskalasi ini, Ahmad Khoirul Umam, Direktur Pascasarjana Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, menilai bahwa konflik ini menjadi ujian nyata bagi sentralitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Selama ini, ASEAN dikenal luas atas kemampuannya menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Namun, seperti disampaikan Umam dalam pernyataan tertulisnya, “konflik yang kini berubah menjadi perang dengan penggunaan sistem persenjataan modern benar-benar menjadi ujian nyata bagi sentralitas ASEAN.” Pernyataannya menggarisbawahi urgensi bagi organisasi regional ini untuk membuktikan perannya.
Indonesia dan Malaysia di Ambang Pertaruhan
Dalam konteks ini, Umam menyoroti posisi strategis Indonesia sebagai “saudara tua” atau *the big brother in ASEAN* yang kini kembali dipertaruhkan. Tak hanya itu, kepemimpinan ASEAN yang sedang dipegang oleh Malaysia juga diuji. Ia mempertanyakan kemampuan kedua negara kunci ini untuk memandu Thailand dan Kamboja agar menahan diri serta kembali duduk di meja perundingan.
Melihat situasi genting ini, Umam secara khusus mengusulkan agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah konkret. “Presiden Prabowo Subianto perlu segera mendorong Menteri Luar Negeri Sugiono untuk melakukan *shuttle diplomacy* demi menemui perwakilan pemerintah Thailand dan pemerintah Kamboja,” ujarnya, menekankan pentingnya peran aktif diplomasi Indonesia.
Langkah Mendesak untuk Menjaga Stabilitas Kawasan
Target utama dari inisiatif *shuttle diplomacy* tersebut, menurut Umam, adalah menahan laju eskalasi konflik. Indonesia dan seluruh negara anggota ASEAN disarankan untuk menawarkan kehadiran *observer*, bahkan pasukan penjaga perdamaian dari negara-negara ASEAN, untuk memastikan konflik tidak berkembang lebih luas dan tak terkendali.
Langkah mendesak lainnya yang disarankan adalah inisiatif gencatan senjata yang didorong oleh ASEAN. “ASEAN harus bisa mendorong gencatan senjata, merumuskan skema pengintegrasian penyelesaian konflik, dan menentukan *timeline* proses penyelesaian,” kata Umam. Ia menilai bahwa langkah-langkah diplomatik yang proaktif ini sangat krusial untuk menjaga stabilitas kawasan, yang pada akhirnya akan mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bersama.