OJK Turun Tangan Selidiki Kasus Viral Investor Ajaib Sekuritas Ditagih Rp 1,8 Miliar
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menanggapi serius kasus viral yang menggemparkan media sosial, terkait keluhan seorang investor Ajaib Sekuritas yang terkejut dengan tagihan fantastis senilai Rp 1,8 miliar. Kontroversi ini mencuat setelah investor mengaku tidak pernah melakukan transaksi sebesar itu, memicu pertanyaan besar mengenai sistem dan fasilitas margin di aplikasi *trading* saham tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menyatakan bahwa pihaknya kini tengah mendalami akar masalah tersebut secara menyeluruh. “Kami akan melihat dari dua sisi dan bukti dari masing-masing pihak, baik investor maupun dari sekuritas. Penyelidikan ini masih belum final, mohon bersabar. Teman-teman pengawas sedang bekerja untuk itu,” ungkap Inarno kepada Kontan, Selasa (1/7) malam.
Inarno menambahkan, pihaknya belum mendapatkan informasi final mengenai dugaan adanya pemberian limit fasilitas margin yang terlampau tinggi dari Ajaib. “Saya sendiri belum ter-update bagaimana kesimpulannya, karena masing-masing sekuritas ada versinya,” tambahnya, menekankan kompleksitas kasus ini.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, turut angkat bicara mengenai dugaan fasilitas margin yang diberikan Ajaib. Ia berpendapat bahwa Ajaib diduga menawarkan fasilitas margin hingga 25 kali lipat, yang berarti investor hanya perlu menyediakan 4% dari modal sendiri, sementara sisanya berasal dari utang. “Ini tidak wajar dalam pasar ekuitas. Ketentuan margin 4% (25 kali lipat) hingga 10% (10 kali lipat) lazimnya berlaku di pasar derivatif di pasar AS,” jelas Budi kepada Kontan, Selasa (30/6) malam.
Budi juga memperingatkan bahaya fasilitas margin setinggi itu. Dengan modal sendiri hanya 4% atau setara dengan 25 kali lipat, penurunan harga saham sebesar 2% saja sudah bisa menggerus ekuitas investor hingga 50%. Lebih parah lagi, jika harga turun 4%, seluruh ekuitas dapat langsung ludes, dan itu pun belum termasuk beban bunga. Jika bunga diperhitungkan, total kerugian akan jauh lebih besar. “Tentunya ini harus diatur OJK karena margin yang wajar di pasar ekuitas adalah 1,5 kali hingga 2,5 kali,” tegas Budi, menyoroti pentingnya regulasi ketat.
Kasus ini berawal dari unggahan viral di akun Instagram @friendshipwithgod, milik I Nyoman Tri Atmajaya Putra. Nyoman bercerita bahwa ia memiliki kebiasaan rutin berinvestasi Rp 1 juta per emiten untuk saham domestik dan US$ 100 per emiten untuk saham Amerika Serikat melalui aplikasi Ajaib. “Gue sudah lakuin ini bertahun-tahun. Gak pernah absen. Gak peduli market naik atau turun. Gue anggap ini cara paling disiplin buat tabung saham jangka panjang,” tulisnya.
Namun, pada Selasa (24/6) pukul 09:54 WIB, saat ia berencana membeli 9 lot saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dengan nilai sekitar Rp 1 juta, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pada pukul 12:37 WIB, saat ia kembali mengecek aplikasi Ajaib, ia terkejut menemukan transaksi pembelian saham BBTN sebesar 16.541 lot atau sekitar Rp 1,8 miliar. Transaksi ini bahkan sudah berstatus *matched* dan menggunakan dana limit, yaitu fasilitas pinjaman dari sekuritas. “Gue cuma order 9 lot, kok bisa berubah jadi 16.541 lot?? Bahkan kalau salah pencet pun ya maksimal jadi 99 lot, lah. Tapi ini?! Gak masuk akal,” keluhnya.
Nyoman, yang telah lama berinvestasi melalui platform Ajaib, membantah keras bahwa lonjakan pembelian saham disebabkan oleh kesalahannya. “Gue udah konsisten selama bertahun-tahun dengan nominal pembelian yang sama. Jejak transaksi gue bisa dicek semua. Ini jelas bukan kesalahan gue,” tegasnya. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya: “Dan yang bikin makin panik. Dana limit itu artinya utang ke sekuritas yang harus dibayar dalam waktu H+3 hari bursa. Kalau enggak? Akun bisa di-suspend, saham dijual paksa. Dan sekarang gue dipaksa tanggung transaksi Rp 1,8 miliar yang gue gak pernah lakuin.”
Berdasarkan unggahan terbarunya, Nyoman menerangkan telah menerima email tagihan atas transaksi tersebut lengkap dengan denda keterlambatan. Surat tagihan itu mencantumkan total senilai Rp 1,8 miliar beserta denda keterlambatan senilai Rp 14,85 juta. “Alih-alih solusi, yang saya terima justru email tagihan utang + denda keterlambatan. Seolah-olah saya ini nasabah yang lari dari tanggung jawab. Padahal sepeserpun saya enggak pernah merasa berutang!” tulis Nyoman dalam unggahannya, Senin (30/6). Pihak Ajaib Sekuritas juga mengirimkan pesan yang menyatakan transaksi pembelian saham pada 24 Juni 2025 (red: kemungkinan typo tahun, seharusnya 2024 atau tanggal lain, disesuaikan dengan konteks) dilakukan oleh pemilik akun melalui perangkat yang terdaftar (trusted device) dan telah melewati proses konfirmasi *pre-order* sesuai standar sistem perusahaan.
Menanggapi kasus ini, Senior Legal Manager Ajaib, Abraham Imamat, menyatakan pihaknya telah melakukan investigasi menyeluruh. Hasilnya, Ajaib memastikan bahwa transaksi tersebut dilakukan oleh pemilik akun sendiri melalui perangkat yang terdaftar, serta telah melewati proses konfirmasi sesuai standar sistem perusahaan. “Tidak ditemukan adanya gangguan sistem maupun indikasi penyalahgunaan akun. Sesuai dengan Peraturan Bursa Efek Indonesia tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, kami tidak memiliki kewenangan untuk mengubah atau membatalkan transaksi yang telah dilakukan pengguna melalui sistem,” terang Abraham dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/6).
Abraham juga mengklaim bahwa seluruh temuan investigasi telah disampaikan secara langsung kepada nasabah dalam komunikasi resmi perusahaan. Pihaknya menyesalkan timbulnya kesalahpahaman di ruang publik yang dinilai tidak merefleksikan hasil investigasi internal perusahaan. Hingga kini, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan OJK, dan publik menanti kejelasan akhir dari perselisihan antara investor dan Ajaib Sekuritas ini.