Konflik yang kian memanas antara Israel dan Iran kini merembet, menyeret keterlibatan Amerika Serikat (AS) ke dalamnya. Serangan yang dilancarkan AS terhadap sejumlah fasilitas strategis Iran ini terjadi di tengah periode krusial saat ekonomi dunia sedang berada di ambang kerapuhan.
Beberapa bulan terakhir, institusi keuangan global terkemuka seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global mereka. Keterlibatan langsung AS dalam eskalasi konflik ini berpotensi besar memicu lonjakan harga minyak dan gas secara signifikan, menjadikannya hambatan baru yang substansial bagi pemulihan ekonomi dunia.
Ziad Daoud, seorang analis dari Bloomberg Economics, memproyeksikan bahwa intervensi AS dalam konflik ini niscaya akan menimbulkan dampak serius berupa lonjakan harga minyak yang bahkan bisa memicu inflasi. “Kita akan melihat bagaimana Iran menanggapi hal ini, tetapi serangan tersebut kemungkinan akan meningkatkan konflik. Bagi ekonomi global, konflik yang meluas menambah risiko kenaikan harga minyak dan dorongan kenaikan inflasi,” demikian analisis yang diterbitkan oleh Bloomberg.
Serangan udara AS terhadap fasilitas nuklir Iran telah meningkatkan risiko geopolitik secara drastis. Situasi ini diperparah dengan potensi kenaikan tarif perdagangan yang diusulkan oleh mantan Presiden Trump, yang akan mulai berlaku dalam beberapa minggu mendatang, menambah tekanan pada sistem ekonomi global.
Respon Iran terhadap serangan AS akan menjadi kunci penentu arah selanjutnya. Iran memiliki beragam opsi balasan, mulai dari serangan terhadap personel AS, penargetan infrastruktur energi regional, hingga langkah ekstrem seperti menutup Selat Hormuz. Opsi penutupan Selat Hormuz, jika diambil, diperkirakan dapat mendorong harga minyak menembus angka 130 Dolar AS per barel. Skenario tersebut berpotensi menyebabkan Indeks Harga Konsumen (CPI) AS mendekati 4 persen pada musim panas, yang pada gilirannya akan memaksa Federal Reserve (The Fed) AS dan bank sentral lainnya untuk menunda rencana pemotongan suku bunga di masa mendatang.
Selat Hormuz, yang terletak strategis di antara Iran dan negara-negara Teluk Arab seperti Arab Saudi, merupakan jalur vital yang dilewati oleh sekitar seperlima dari pasokan minyak harian dunia. Meskipun AS merupakan salah satu pengekspor minyak, kenaikan harga minyak mentah global akan menambah tantangan ekonomi yang sudah dihadapi AS. The Fed sendiri baru memperbarui proyeksi ekonominya minggu lalu, menurunkan perkiraan pertumbuhan AS tahun ini menjadi 1,4 persen dari 1,7 persen, setelah mengevaluasi dampak tarif Trump terhadap harga dan pertumbuhan.
China, sebagai pembeli minyak mentah Iran terbesar, juga akan menghadapi konsekuensi yang signifikan dari gejolak ini, meskipun persediaan minyak buminya saat ini masih tergolong aman. Selain minyak, gangguan apa pun terhadap pengiriman melalui Selat Hormuz juga akan berdampak luar biasa pada pasar gas alam cair (LNG) global. Saat ini, Qatar, yang menguasai sekitar 20 persen perdagangan LNG global, sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk kegiatan ekspornya dan tidak memiliki jalur alternatif. Jika Selat Hormuz ditutup, pasar LNG global akan menjadi sangat ketat, mendorong harga gas di Eropa naik secara drastis.
Seiring meningkatnya ketegangan, investor global kian khawatir akan potensi terganggunya pasokan minyak. Meskipun demikian, anggota OPEC+, termasuk Arab Saudi, masih memiliki kapasitas cadangan minyak yang melimpah yang dapat diaktifkan untuk menstabilkan pasar. Di sisi lain, Badan Energi Internasional (IEA) juga memiliki opsi untuk mengkoordinasikan pelepasan stok darurat guna meredam lonjakan harga.
Ben May, direktur penelitian ekonomi makro global di Oxford Economics, dalam laporannya sebelum eskalasi terbaru, menyatakan, “Ketegangan di Timur Tengah merupakan guncangan buruk lainnya bagi ekonomi global yang sudah lemah. Harga minyak yang lebih tinggi dan kenaikan inflasi CPI yang terkait akan membuat bank sentral pusing.”