Serangan Israel ke Iran: Eskalasi Konflik dan Bayang-Bayang Perang Besar
Ketegangan antara Israel dan Iran mencapai titik puncak setelah serangan besar-besaran Israel terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran pada Jumat, 13 Juni. Serangan ini, yang disebut Operasi Rising Lion oleh Israel, memicu balasan cepat dari Iran berupa serangan udara ke wilayah Israel, menandai babak baru dalam konflik yang berpotensi memicu perang skala besar.
Kementerian Kesehatan Iran melaporkan lebih dari 220 korban tewas akibat serangan Israel, sementara Israel mengklaim serangan balasan Iran mengakibatkan 24 kematian. Perbedaan angka korban ini mencerminkan kesulitan dalam memverifikasi informasi di tengah gejolak konflik. Jurnalis BBC bahkan menghadapi kendala dalam meliput dampak serangan dari dalam Iran karena pembatasan informasi oleh pemerintah. Situasi ini semakin diperumit oleh laporan kerusakan signifikan pada fasilitas nuklir Natanz, yang disebut Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai serangan terhadap “jantung” program nuklir Iran. Netanyahu menegaskan bahwa Iran berpotensi memproduksi senjata nuklir dalam waktu singkat, klaim yang dibantah oleh Iran yang menyatakan program nuklirnya untuk tujuan damai.
Reaksi Iran atas serangan Israel begitu cepat dan tegas. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, memperingatkan Israel akan “hukuman berat,” sementara Menteri Luar Negeri Iran menyebut serangan tersebut sebagai “deklarasi perang.” Iran kemudian melancarkan Operasi True Promise 3, meluncurkan sekitar 100 rudal balistik ke sejumlah target militer dan pangkalan udara di Israel. Meskipun IDF mengklaim sebagian besar rudal berhasil dihadang oleh sistem pertahanan udara Iron Dome, serangan balasan ini memperlihatkan kekuatan dan kesiapan Iran untuk membalas dendam. Meskipun intensitas serangan balasan Iran berkurang dalam beberapa hari berikutnya, hal ini tak lantas meredakan ketegangan. Serangan Israel dilaporkan telah menewaskan sejumlah petinggi militer Iran, termasuk Komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), Hossein Salami, dan beberapa ilmuwan nuklir, termasuk mantan Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Fereydoon Abbasi. Iran sendiri mengklaim adanya korban sipil, termasuk anak-anak, dalam serangan tersebut.
Situasi semakin memanas dengan pernyataan militer Israel pada Selasa, 17 Juni, yang mengklaim telah mencapai “keunggulan udara penuh” atas Teheran dan menghancurkan sepertiga peluncur rudal Iran. Pernyataan ini menyusul serangan rudal Iran ke empat wilayah di Israel utara dan tengah, yang menyebabkan sedikitnya delapan korban jiwa sipil. Di tengah kekacauan, insiden seorang presenter media pemerintah Iran yang melarikan diri dari studio saat bangunan tersebut diserang, menggambarkan dahsyatnya serangan Israel dan dampaknya terhadap warga sipil.
Sementara itu, di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump mempertimbangkan untuk bergabung dengan Israel dalam serangan terhadap lokasi nuklir Iran, berdasarkan laporan sumber BBC di AS, CBS News. Trump dan Netanyahu melakukan pembicaraan telepon setelah pertemuan Dewan Keamanan Nasional AS. Trump, melalui media sosial, menyerukan Iran untuk “menyerah tanpa syarat,” bahkan mengklaim mengetahui lokasi Ayatollah Khamenei, tetapi belum berniat membunuhnya. Khamenei sendiri memperingatkan Trump akan “kerusakan yang tidak dapat diperbaiki” jika AS ikut campur. Trump, yang meninggalkan KTT G7 lebih awal, menyatakan menginginkan “akhir yang nyata,” bukan sekadar gencatan senjata, menunjukkan keinginan untuk sebuah resolusi yang lebih komprehensif. Ia sebelumnya menyalahkan Iran atas kegagalan pembicaraan baru soal pembatasan program nuklir, pembicaraan yang seharusnya dimulai pada Minggu, 15 Juni, tetapi dibatalkan menyusul serangan Israel.
Netanyahu menjelaskan serangan Israel sebagai “operasi militer yang ditargetkan untuk memukul mundur ancaman Iran agar Israel tetap bertahan,” menekankan operasi tersebut akan berlanjut selama diperlukan. Seorang pejabat militer Israel memberi tahu BBC bahwa Iran memiliki cukup bahan nuklir untuk membuat bom nuklir dalam beberapa hari, klaim yang dibantah Iran. Serangan ini terjadi setelah terhentinya pembicaraan AS tentang program nuklir Iran yang dimulai pada April, dengan Trump berharap mencapai kesepakatan agar Teheran menghentikan pengembangan senjata nuklir. Meskipun Iran selalu menegaskan program nuklirnya hanya untuk tujuan damai dan sipil, banyak negara dan badan pengawas nuklir global, termasuk IAEA, meragukan klaim tersebut. Pada Juni, dewan gubernur IAEA menyatakan Iran melanggar kewajiban non-proliferasi, mencatat “banyak kegagalan” Iran dalam memberikan informasi lengkap mengenai bahan nuklir dan persediaan uranium yang diperkaya—yang menurut laporan IAEA, telah mencapai kemurnian 60%, mendekati standar pembuatan senjata nuklir. Eskalasi konflik ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak regional dan internasional yang sangat besar.