Aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil, khususnya di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan tajam. Polemik mencuat setelah Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kartika Listriana, menanggapi kekhawatiran publik mengenai lolosnya izin pertambangan di beberapa pulau di Raja Ampat. Pernyataan ini muncul di tengah desakan dan kecaman keras dari berbagai organisasi lingkungan yang menilai izin tersebut bertentangan dengan semangat undang-undang yang berlaku.
Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan menyoroti operasional pertambangan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, yang semuanya termasuk kategori pulau kecil. Menurut mereka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan dilarang di wilayah tersebut. Namun, Kartika Listriana mengajak untuk menelaah ulang interpretasi larangan tersebut. “Sebetulnya pernyataan ‘tidak boleh’ itu coba dicek dulu,” ujarnya di Gedung Mina Bahari IV, kantor KKP, pada Selasa, 24 Juni 2025. Ia menambahkan bahwa Undang-Undang tersebut tidak secara mutlak melarang, melainkan mengizinkan dengan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi.
Pihak KKP menegaskan bahwa setiap izin yang diterbitkan harus selaras dengan tata ruang yang berlaku. Kartika menjelaskan bahwa kegiatan pertambangan dapat diloloskan apabila memenuhi ketentuan perundang-undangan dan telah melalui berbagai pertimbangan matang. Hal ini mencakup potensi produksi mineral yang signifikan atau dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi lokal maupun nasional. Poin krusial lainnya yang digarisbawahi oleh Kartika adalah kepatuhan badan usaha terhadap komitmen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pemerintah, lanjutnya, akan terus melakukan pengawasan ketat untuk memastikan aktivitas penambangan tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem laut dan lingkungan di Raja Ampat.
Saat ini, hanya satu perusahaan tambang yang masih diperbolehkan beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel yang berlokasi di Pulau Gag. Keputusan ini diambil setelah pemerintah mencabut empat izin pertambangan lainnya di wilayah tersebut. Merujuk data dari Kementerian Lingkungan Hidup, luas daratan Pulau Gag tercatat sekitar 6.030 hektare. Menurut definisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pulau kecil adalah pulau dengan luas wilayah lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi, atau sekitar 200.000 hektare. Dengan demikian, Pulau Gag secara jelas masuk dalam kategori pulau kecil yang menjadi subjek perdebatan serius.
Pada Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya secara eksplisit diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan, pertanian organik, dan pertahanan negara. Ironisnya, pertambangan tidak termasuk dalam daftar prioritas pemanfaatan yang disebutkan dalam pasal tersebut, menjadi dasar utama keberatan dari pihak lingkungan.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyuarakan kekecewaan dan pertanyaan mendalam terhadap keputusan pemerintah yang tetap mempertahankan izin PT Gag Nikel. Baginya, fakta bahwa Pulau Gag adalah pulau kecil yang seharusnya terlindungi dari aktivitas tambang sudah sangat jelas secara aturan. Iqbal khawatir, jika PT Gag Nikel terus diizinkan menambang di Pulau Gag, hal ini akan menciptakan preseden berbahaya. “Ini bahaya, nanti pulau-pulau kecil lain juga bisa diperlakukan seperti itu,” tegas Iqbal kepada Tempo pada Ahad, 15 Juni 2025, menyoroti risiko pembukaan keran pertambangan di pulau-pulau kecil lainnya di seluruh Indonesia.
Alif Ilham berkontribusi dalam penulisan artikel ini.