## Jackson Irvine: Ikon Sepak Bola yang Membela Hak LGBTQ+ dan Lebih dari Sekadar Gol
Di dunia sepak bola profesional, di mana maskulinitas tradisional masih mendominasi, sosok Jackson Irvine hadir sebagai angin segar. Pemain Timnas Australia ini tak hanya dikenal karena skill bermainnya yang mumpuni, tetapi juga karena keberaniannya menyuarakan dukungan terhadap komunitas LGBTQ+ dan isu-isu sosial lainnya. Berbeda dengan minimnya representasi kaum gay di dunia sepak bola, bahkan di Indonesia yang sama sekali belum ada, Irvine menjadi contoh inspiratif.
John Blankenstein Foundation, sebuah organisasi yang memperjuangkan penerimaan kaum gay dalam olahraga, menyoroti situasi yang masih kurang ideal. Thijs Smeenk, jurnalis olahraga Belanda dan anggota dewan yayasan tersebut, mengungkapkan bahwa banyak pesepak bola gay yang menghubungi mereka untuk meminta nasihat, namun masih enggan tampil terbuka karena takut akan reaksi negatif. Pengalaman pahit Josh Cavallo, pemain profesional Australia yang telah berani terbuka empat tahun lalu dan masih menerima ancaman pembunuhan setiap hari, menjadi bukti nyata betapa berbahayanya situasi ini. “Dunia sepak bola tetap menjadi tempat yang sangat beracun bagi pemain seperti saya,” ungkap Cavallo. Smeenk menambahkan, “Sejujurnya saya tidak bisa memikirkan satu profesi pun di mana begitu sulit untuk menjadi berbeda.”
Berbeda dengan kebanyakan pesepak bola, gaya Irvine sangat mencolok. Pemain FC St. Pauli ini tampil dengan cat kuku hitam, maskara, dan rambut pirang yang terkadang diwarnai merah muda. Ia juga kerap mengenakan ban kapten pelangi dan akun Instagram-nya menampilkan foto-foto yang jauh berbeda dari citra pemain sepak bola profesional pada umumnya. Tato bunga, kupu-kupu, hingga wajah Lou Reed dan Nick Cave menghiasi tubuhnya, mencerminkan kepribadiannya yang unik dan berani.
Namun, penampilannya yang nyentrik bukanlah sekadar ekspresi diri. Irvine secara aktif memperjuangkan hak-hak pekerja migran dan komunitas LGBTQ+ di Qatar saat Piala Dunia 2022, lewat video yang diinisiasinya bersama tim sepak bola Australia. Kepeduliannya meluas pada isu-isu lingkungan dan sosial di Australia, seperti kebijakan imigrasi yang ketat dan perjuangan hak-hak masyarakat adat. Meski ia mengakui ketidaksempurnaannya, seperti terbang ke seluruh dunia untuk pertandingan internasional meski ia tidak memiliki mobil, ia percaya upaya yang tidak sempurna lebih baik daripada tidak sama sekali.
Komitmen Irvine terhadap isu-isu sosial juga terlihat dari aksinya mengenakan kaus FC Palestina, sebuah proyek solidaritas, dalam festival musik. Prestasinya di lapangan, termasuk mencetak dua gol saat melawan Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026, semakin memperkuat citranya sebagai pemain yang berbakat dan peduli. Di Australia, ia mendapatkan lebih banyak dukungan daripada kritik. Joey Didulica, mantan pemain Ajax dan AZ Alkmaar, memuji keberanian Irvine untuk bersuara lantang di tengah reaksi keras di media sosial dan dunia politik. Vince Rugari dari The Sydney Morning Herald menambahkan, “Saya pikir orang-orang merasa dia tidak melakukannya untuk pamer, tetapi itu datang dari hati; dia tahu apa yang dia bicarakan. Banyak teman dan beberapa anggota keluarganya adalah LGBTQ+.”
Inspirasi Irvine datang dari kakeknya, Gerry Bakker, yang telah mendedikasikan dirinya untuk klub sepak bola Australia, Ringford City, tempat Irvine memulai kariernya. Setelah menghabiskan masa mudanya di Australia, ia bermigrasi ke Skotlandia untuk mengejar karier profesional, menandatangani kontrak dengan Celtic sebelum akhirnya bergabung dengan FC St. Pauli, klub yang dikenal karena suporternya yang aktif dan peduli sosial. Di St. Pauli, kariernya berkembang pesat, ia menjadi kapten dan kekuatan pendorong di lini tengah, berkontribusi pada promosi klub ke Bundesliga pada tahun 2024. Irvine percaya bahwa dukungan yang diterimanya di St. Pauli memberinya ruang untuk lebih menyuarakan hal-hal yang diyakininya. Jackson Irvine: lebih dari sekadar pesepak bola, ia adalah ikon yang menginspirasi perubahan.