Jetstar Asia Tutup Permanen: Biaya Melambung di Singapura dan Strategi Baru Qantas
Maskapai penerbangan berbiaya rendah, Jetstar Asia, anak usaha dari raksasa aviasi Australia Qantas Airways, akan menghentikan seluruh operasionalnya di Singapura pada akhir Juli 2025. Keputusan signifikan ini dipicu oleh lonjakan drastis biaya operasional, tingginya tarif bandara, serta persaingan ketat yang menggerus profitabilitas di pasar penerbangan Asia yang dinamis.
Stephanie Tully, CEO Jetstar Group, secara spesifik menyoroti bahwa beban biaya Jetstar Asia di Singapura telah melonjak tajam dalam 18 hingga 24 bulan terakhir. Ia menyebutkan kenaikan dua digit pada biaya bahan bakar, tarif bandara, layanan penanganan darat, dan biaya keamanan. Tantangan ini diperparah oleh iklim persaingan yang semakin sengit pascapandemi. Maskapai-maskapai seperti Scoot dari Singapore Airlines, AirAsia dari Malaysia, dan VietJet dari Vietnam telah agresif memulihkan dan memperluas layanan mereka, memicu perang harga tiket yang menekan margin keuntungan maskapai lain.
Anak usaha yang melayani 16 rute di Asia dari Bandara Changi ini memang telah lama berjuang. Menurut Tully, Jetstar Asia hanya mencatatkan laba dalam enam dari 20 tahun beroperasi. Tahun ini, maskapai itu diperkirakan akan mencatat kerugian operasional sebesar 35 juta dolar Australia (sekitar Rp370 miliar) sebelum bunga dan pajak, sebuah angka yang menegaskan kesulitan finansial yang dihadapinya.
Penutupan Jetstar Asia akan berdampak langsung pada sekitar 500 karyawan yang berbasis di Singapura. Namun, ini juga merupakan langkah strategis bagi Qantas Group. Dengan mengalihkan fokus dan dana hingga 500 juta dolar Australia (sekitar Rp5,29 triliun) ke bisnis utamanya, Qantas berharap dapat memperkuat posisi di pasar inti. Sebagian besar nilai tersebut berasal dari realokasi 13 pesawat Airbus A320 milik Jetstar Asia, yang akan digunakan untuk mengganti pesawat sewaan mahal di Australia dan Selandia Baru, serta meningkatkan kapasitas operasional Jetstar di kedua negara tersebut.
Faktor Bandara Changi, yang merupakan bandara tersibuk keempat di dunia untuk lalu lintas internasional, juga menjadi perhatian utama. Pengelola Bandara Changi telah menaikkan tarif secara bertahap sejak tahun lalu dan akan terus melakukannya hingga 2030, demi mendanai investasi dan operasionalnya. Selain itu, perpindahan Jetstar Asia dari Terminal 1 ke Terminal 4 pada Maret 2023, yang tidak terhubung dengan sistem kereta bandara, juga disebut berdampak negatif pada bisnis mereka, sebuah keberatan yang sempat disampaikan Jetstar.
Meskipun menyumbang sekitar 3 persen dari total lalu lintas penumpang Bandara Changi tahun lalu, pengelola bandara menyatakan kecewa atas keputusan Jetstar Asia meninggalkan Singapura, namun menghormati pertimbangan bisnis maskapai tersebut. Mereka kini berkomitmen untuk bekerja sama dengan maskapai lain mengisi kekosongan kapasitas, termasuk di empat rute vital yang saat ini hanya dilayani oleh Jetstar Asia.
Penutupan Jetstar Asia tidak akan memengaruhi operasi Jetstar Airways di Australia maupun Jetstar Japan di Jepang. Dari 13 pesawat A320 yang dialihkan, enam unit akan menggantikan pesawat sewaan di Jetstar Australia, empat unit akan menggantikan pesawat lama Qantas untuk rute industri pertambangan, dua unit akan meningkatkan kapasitas Jetstar Australia untuk rute baru, dan satu unit akan dialihkan ke Jetstar Selandia Baru. Perpindahan ini diperkirakan akan menciptakan lebih dari 100 lapangan kerja baru di kedua kawasan tersebut.
Bagi penumpang yang terdampak, Jetstar Asia akan mengurangi jadwal penerbangan secara bertahap hingga penutupan total pada 31 Juli 2025, menawarkan pengembalian uang penuh atau pemindahan ke maskapai lain jika memungkinkan. Untuk karyawan, Qantas menjamin tunjangan pemutusan hubungan kerja serta bantuan pencarian kerja, termasuk kolaborasi dengan grup Singapore Airlines yang telah menyiapkan jalur khusus bagi mereka yang ingin melamar kerja di dalam grup SIA.
Meskipun Qantas memperkirakan kerugian satu kali sebesar 175 juta dolar Australia (sekitar Rp1,85 triliun) akibat penutupan ini, yang akan dibukukan dalam dua tahun keuangan, grup tersebut menegaskan permintaan perjalanan domestik dan internasional masih sangat kuat. Keputusan ini menunjukkan langkah strategis Qantas untuk memperkuat posisi di pasar inti, menyelaraskan operasional dengan kondisi pasar yang terus berubah, dan memastikan profitabilitas jangka panjang di tengah tantangan global yang terus berkembang.