## RUU KUHAP dan Keadilan Restoratif: Ketika Harapan Keadilan Korban Berbenturan dengan Praktik yang Dikhawatirkan Salah Kaprah
Konsep keadilan restoratif, yang sejatinya bertujuan mulia untuk memulihkan korban, kini menjadi sorotan tajam dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Para pegiat hukum dan masyarakat sipil mengecamnya sebagai “salah kaprah” karena dikhawatirkan justru mengalihkan fokus dari pemenuhan hak korban, terutama perempuan, menjadi sekadar alat untuk menguntungkan penegak hukum dan pelaku kejahatan.
RUU KUHAP, melalui Pasal 74, mengatur bahwa keadilan restoratif dapat dicapai melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun, kebijakan ini dianggap ganjil. Pasalnya, penekanan pada penyelesaian di luar persidangan berisiko menggeser inti keadilan restoratif yang seharusnya memprioritaskan hak dan kepentingan korban. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP bahkan mencurigai bahwa pengaturan ini lebih didasarkan pada upaya mengelola beban kerja peradilan yang berlebihan.
“Selesaikan saja di luar persidangan—penegak hukum jatuhkan sanksi. Ini yang untung adalah penegak hukum dan pelaku. Enggak ada urusan sama korban,” ujar seorang peneliti dari Indonesia Judicial Research Society, menyiratkan kekhawatiran mendalam akan penyimpangan esensi keadilan. Ironisnya, Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Hiariej, sebelumnya mengklaim bahwa perubahan KUHAP didorong oleh keinginan untuk memodernisasi hukum pidana Indonesia, beralih dari balas dendam menuju keadilan korektif, restoratif, dan fasilitatif. Edward menekankan bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan keadilan, keseimbangan, serta kepentingan masyarakat dan korban.
### Bagaimana Keadilan Restoratif Seharusnya Bekerja?
Menurut buku pedoman *Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia* (2022) yang dipublikasikan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), keadilan restoratif adalah pendekatan penanganan tindak pidana yang mengutamakan pemulihan korban. Praktiknya melibatkan korban, pelaku, dan pihak terkait lainnya, dengan tujuan utama “mengupayakan pemulihan korban,” bukan sekadar pembalasan.
Ada lima prinsip dasar yang harus ditegaskan dalam penerapan keadilan restoratif:
1. Tidak menghentikan perkara: Penerapannya tidak secara otomatis menghentikan penyidikan.
2. Mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa: Memperhatikan faktor kerentanan akibat umur, latar belakang sosial, pendidikan, atau ekonomi.
3. Pemberdayaan dan partisipasi aktif: Memastikan adanya keterlibatan sukarela dari para pihak.
4. Kesukarelaan: Tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
5. Kepentingan terbaik anak: Khusus untuk kasus anak, tujuannya adalah memenuhi kepentingan terbaik si anak.
Di Indonesia, meskipun ketentuan keadilan restoratif telah termaktub dalam berbagai regulasi, mulai dari undang-undang hingga peraturan kepolisian, implementasinya masih berorientasi pada “penyelesaian perkara.” Analisis ICJR menunjukkan bahwa hal ini membuat *restorative justice* ditempatkan terbatas sebagai “tujuan atau hasil,” alih-alih kombinasi “proses sekaligus tujuan.” Paradigma ini sempat mencuat dalam insiden penganiayaan yang melibatkan anak pejabat pajak, Mario Dandy, di mana Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sempat menawarkan opsi keadilan restoratif, meski kemudian dicabut karena penolakan publik.
### Kekhawatiran Peneliti Hukum: RJ Pasca Putusan Hakim vs. Penghentian Kasus
Peneliti hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Matheus Nathanael, menegaskan bahwa dalam pengertian sebenarnya, keadilan restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Di banyak negara, seperti Inggris, *restorative justice* diberikan setelah keputusan hakim. Pendekatan ini memungkinkan negara merespons kekecewaan, ketidakpastian, atau ketidakpuasan korban, dengan mediasi yang dilakukan untuk mewujudkan keinginan korban yang belum terpenuhi, tanpa menghapus vonis yang diberikan kepada tersangka. “Jadi memang *restorative justice* dan penjatuhan pidana itu bisa berjalan paralel,” tegas Matheus.
Namun, di Indonesia, RUU KUHAP menetapkan bahwa keadilan restoratif dapat menghentikan kasus di luar persidangan. Pasal 78 ayat (1) DIM RUU KUHAP bahkan menunjukkan bahwa pelaku dan korban dapat membuat kesepakatan “menyelesaikan perkara” di hadapan penyelidik atau penyidik. Berdasarkan kesepakatan ini, penyelidik atau penyidik dapat menerbitkan surat penghentian penyelidikan atau penyidikan (SP3), sehingga kasus tidak diproses lebih lanjut.
Matheus menyatakan bahwa praktik semacam ini akan mereduksi penyelesaian hukum yang berkeadilan, menanamkan persepsi bahwa semua perkara pidana dapat ditebus dengan “ganti rugi” tanpa perlu mendekam di penjara, dan berpotensi memunculkan pengusutan kasus yang transaksional.
### Konflik Kepentingan dan Monopoli Aparat Penegak Hukum
Matheus menjelaskan adanya dua kepentingan yang saling bertemu dalam skema ini:
1. Kepentingan aparat penegak hukum: Untuk mencegah pengusutan kasus yang terlalu banyak.
2. Kepentingan pelaku: Tidak ingin kasusnya masuk persidangan karena akan melekatkan catatan kriminal. “Makanya, dia biasanya menawarkan diri ke penegak hukum untuk tidak diadakan persidangan. Bayar sanksi atau ganti rugi saja kepada korban,” kata Matheus.
Kewenangan aparat penegak hukum menjadi begitu besar karena mereka memonopoli keputusan di setiap tahapan, mulai dari penyidikan hingga penuntutan. Polisi atau kejaksaan memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah suatu perkara dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif atau tidak. “Urusan *restorative justice* itu, pada ujungnya, dimonopoli oleh setiap institusi di tahapan masing-masing, dan ini sudah pasti ada transaksi,” imbuh Matheus.
Untuk mengantisipasi potensi jual-beli kasus ini, Matheus menekankan pentingnya menyertakan partisipasi pihak lain, khususnya pengadilan, untuk meninjau apakah pendekatan *restorative justice* ditempuh dengan proses yang benar. “Kalau *restorative justice*-nya disetujui, maka harus dibawa ke pengadilan supaya hakim bisa memeriksa,” tegasnya.
Potensi buruk lainnya adalah “rekayasa kasus,” terutama jika mekanisme *restorative justice* dibuka sejak tahap penyelidikan. Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, menjelaskan bahwa pada tahap penyelidikan, belum ada tersangka, belum ada dua alat bukti, dan belum ada kepastian bahwa suatu peristiwa merupakan tindak pidana. “Maka, membuka ruang *restorative justice* di titik ini sama saja dengan berupaya menyelesaikan suatu kejahatan yang bahkan belum pasti ada,” jelas Julius. Hal ini berisiko penyelidik “menargetkan orang untuk berhadapan secara hukum,” seringkali korban berasal dari kelompok ekonomi atau sosial yang lebih rendah, demi menghentikan pengusutan perkara. Data KontraS bahkan mencatat 27 dugaan rekayasa kasus oleh Polri sepanjang 2019-2022.
### Posisi Rentan Kelompok Perempuan: Ancaman KDRT dan Kekerasan Berbasis Gender
Penerapan keadilan restoratif di RUU KUHAP semakin dikhawatirkan akan menyudutkan kelompok perempuan, terutama dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Nunung Fitriana, aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumenep, mengungkapkan bahwa *restorative justice* tidak jarang dipakai untuk menyelesaikan kasus KDRT. Relasi kuasa dan ikatan pernikahan seringkali membuat korban KDRT “susah meneruskan ke jalur hukum,” bahkan setelah mengalami kejadian berulang. “Opsi damai” kerap dipilih untuk menghindari aib bagi keluarga, namun ini tidak serta-merta menjauhkan korban dari bahaya. Nunung bahkan mengisahkan kasus di mana korban KDRT tewas di tangan pelaku tak lama setelah sepakat berdamai tanpa sepengetahuan pihak kepolisian atau pihak ketiga.
Ia meminta aparat kepolisian untuk tidak sembarangan meloloskan pendekatan ini, melainkan harus tetap melihat peluang ancaman terhadap korban. “Benar-benar harus jeli dan objektif. Apakah peluang *restorative justice* ini baik atau tidak untuk korban?” ujarnya. Nunung juga menekankan bahwa pembahasan keadilan restoratif yang mempertemukan korban dan pelaku harus melibatkan penengah, seperti keluarga atau pendamping, untuk membantu menyusun poin-poin kesepakatan dan menawarkan pertimbangan yang melindungi korban.
Mekanisme keadilan restoratif dalam DIM RUU KUHAP, yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun (Pasal 74A) seperti kekerasan fisik yang menyebabkan luka ringan, menjadi sangat problematis. Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa pelaku dan korban dapat bersepakat menghentikan perkara hanya di hadapan penyelidik atau penyidik, tanpa melibatkan pihak ketiga. Nunung menggarisbawahi bahwa *restorative justice* yang menihilkan keberadaan pihak ketiga “sangat berisiko” dan berpotensi membuat korban mengalami kekerasan yang lebih parah.
Koordinator Divisi Advokasi dan Kebijakan LBH Apik Jakarta, Piu, menambahkan bahwa tanpa pihak ketiga, keadilan untuk korban tidak terjamin. Korban harus mengulang kembali traumanya, dan dialog yang tercipta tidak akan berada dalam posisi setara, bahkan rentan diancam dan diintimidasi. Khusus untuk kasus kekerasan berbasis gender, Piu menegaskan bahwa konsep keadilan restoratif tidak dapat diartikan sekadar sebagai “perundingan” dan tidak boleh menghapus sanksi pidana bagi pelaku, karena itu adalah bagian dari kepastian hukum bagi korban. Ganti rugi dan rehabilitasi pelaku juga wajib dipenuhi untuk mencapai “keadaan semula,” yaitu situasi tanpa pelanggaran terhadap hak atau tindak pidana.
### Desakan Komnas Perempuan dan Harapan untuk Keadilan Sejati
Draf RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR pada Maret 2025 awalnya tidak memuat pengecualian tindak kekerasan terhadap perempuan dari mekanisme *restorative justice*. Baru pada DIM yang diusulkan pemerintah, frasa “tindak kekerasan seksual” masuk dalam pengecualian. Namun, Komnas Perempuan, melalui rekomendasinya, mendesak pemerintah dan DPR untuk menyertakan “tindak pidana perkosaan” serta “tindak pidana yang diancam dengan pidana di bawah 5 tahun tapi dilakukan lebih dari satu kali atau berulang” ke dalam daftar perkara yang dikecualikan dari penerapan *restorative justice*. Selain itu, Komnas Perempuan juga mendesak adanya kewajiban pendampingan bagi korban oleh pendamping atau advokat selama proses *restorative justice*. Pemenuhan hak-hak perempuan, menurut Komnas Perempuan, masih sangat dipengaruhi stereotip gender yang diskriminatif, membuat posisi perempuan dalam sistem hukum sangat rapuh.
Piu berharap pemerintah mengkaji ulang secara mendalam bagaimana konsep *restorative justice* dimaknai dan diterapkan oleh aparat penegak hukum sebelum mengesahkan KUHAP. “Jangan sampai *restorative justice* justru malah menjauhkan korban dari akses keadilan dalam proses peradilan pidana,” pungkasnya. Direktur Women’s Crisis Center Jombang, Ana Abdillah, senada menyatakan bahwa pemahaman formal aparat penegak hukum mengenai keadilan restoratif masih “berat sekali,” ditambah lagi dengan “metode pengawasannya yang sangat lemah,” sehingga banyak hak-hak korban, terutama perempuan, yang gagal diperjuangkan.
*Laporan ini turut berkontribusi dari Ahmad Mustofa di Madura.*