RAGAMHARIAN.COM – Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menegaskan bahwa larangan organisasi kemasyarakatan (ormas) mengenakan seragam yang menyerupai atribut milik TNI maupun Polri sudah lama tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan ini diberikan untuk meredam kesalahpahaman yang berkembang di tengah masyarakat, terutama dari kalangan ormas itu sendiri.
Menurut Bima, larangan tersebut bukanlah aturan baru atau hasil dari kebijakan terkini. Ketentuan tersebut sudah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. “UU Ormas ini bukan hal yang baru. Banyak yang belum paham, padahal teman-teman ormas seharusnya sudah sangat mengerti. Tidak ada aturan baru, ini adalah implementasi dari aturan yang sudah lama berlaku,” ujarnya saat ditemui di Bandung, Senin (23 Juni 2025).
Bima menegaskan bahwa Pasal 59 dalam UU Ormas secara khusus mengatur batasan penggunaan simbol dan atribut lembaga negara. Hal ini mencakup nama, lambang, bendera, maupun pakaian atau seragam yang identik dengan milik instansi resmi pemerintah. Menurutnya, seragam merupakan bentuk atribut yang termasuk dalam larangan tersebut karena dapat menimbulkan kesan seolah ormas memiliki otoritas yang sama dengan aparat negara.
“Pasal 59 ayat 1 melarang ormas menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang menyerupai milik lembaga pemerintah. TNI dan Polri itu lembaga resmi, dan seragam mereka adalah atribut yang dilindungi undang-undang,” terang Bima.
Lebih lanjut, pemerintah melalui kepala daerah yang juga bertindak sebagai pembina dan ketua satuan tugas pembinaan ormas di masing-masing wilayah—sedang melakukan pemetaan dan identifikasi terhadap ormas-ormas yang berpotensi melanggar aturan tersebut. Langkah ini dilakukan sebagai upaya pencegahan agar tidak ada ormas yang bertindak seolah-olah sebagai aparat penegak hukum.
Tak hanya soal atribut, larangan dalam UU Ormas juga mencakup perilaku yang menyerupai tindakan aparat negara. Ormas tidak dibenarkan melakukan kegiatan yang bersifat represif seperti penggerebekan, penyegelan tempat usaha, pemaksaan kehendak, hingga pengawasan terhadap individu secara paksa.
“Ormas tidak boleh bersikap seperti penegak hukum. Melakukan penyelidikan, mendatangi rumah warga, atau menyegel tempat usaha adalah pelanggaran serius jika dilakukan tanpa dasar hukum. Ini juga bentuk pelanggaran terhadap supremasi hukum,” ujar Wamendagri.
Menanggapi pertanyaan publik tentang kemungkinan adanya revisi UU Ormas, Bima menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada naskah akademik atau rancangan undang-undang yang sedang digodok. Namun, pihaknya tetap membuka ruang untuk kajian lebih lanjut mengenai efektivitas dan celah dalam regulasi yang ada saat ini.
“Belum ada rencana revisi. Pak Menteri hanya minta agar dilakukan kajian mendalam terkait efektivitas pasal-pasal yang ada, apakah masih relevan atau perlu diperkuat dalam konteks pengawasan terhadap ormas,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya transparansi dalam aktivitas ormas, terutama yang berkaitan dengan sumber pendanaan. Menurutnya, keterlibatan dana asing dalam kegiatan ormas sudah diatur dalam regulasi yang sama dan bisa menjadi dasar pembubaran jika ditemukan pelanggaran.
“Kalau ormas menerima dana asing tanpa pelaporan resmi, itu melanggar. UU sudah jelas mengatur bahwa ormas yang terbukti menerima dana asing secara ilegal bisa dibubarkan,” tegas Bima Arya.
Pemerintah, lanjutnya, berkomitmen menjaga iklim kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan itu harus diimbangi dengan kepatuhan terhadap hukum dan tidak mengganggu tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.