Kondisi warga Puncak, Papua, ‘semakin buruk’ akibat konflik bersenjata – Ribuan mengungsi, beberapa tewas karena sakit dan diduga ditembak

Avatar photo

- Penulis Berita

Jumat, 25 Juli 2025 - 10:46 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ribuan warga di beberapa distrik di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, mengungsi sejak dilaporkan adanya penerjunan ratusan tentara sejak Februari lalu. Mereka kini menghadapi “kondisi yang terus memburuk” di pengungsian.

Seorang pengungsi bercerita dirinya dan warga lain sulit mendapat makanan dan tak memiliki akses kesehatan. Beberapa warga telah meninggal dalam pelarian dari konflik bersenjata antara militer Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan Papua.

“Kondisi kini hampir semua masyarakat itu kelaparan,” kata Bily, pengungsi dari Kampung Aminggaru, Distrik Omukia, Rabu (23/07).

Selain kondisi pengungsian yang disebut buruk, muncul juga sejumlah kesaksian tentang warga yang diduga tewas oleh militer. Salah satunya adalah Enikmbak Murib.

BBC News Indonesia telah menghubungi beberapa pejabat TNI terkait dugaan itu, tapi hingga berita diturunkan mereka belum memberi tanggapan.

Aktivis kemanusiaan Papua, Mis Murib, menyebut kondisi yang dialami para pengungsi Puncak itu seperti “pembunuhan sistematis dengan cara halus yang dilakukan negara.”

Mis Murib tergabung dalam Tim Investigasi HAM Kabupaten Puncak. Tim ini juga digerakkan oleh kelompok mahasiswa Puncak se-Indonesia. Mereka kerap melaporkan dugaan pelanggaran HAM di Papua ke Komnas HAM.

Menurut perhitungan tim ini, setidaknya 3.895 warga di lima distrik di Puncak mengungsi, 48 gereja telah kosong, dan ribuan anak kehilangan akses pendidikan.

Mereka mencatat, enam warga telah meninggal karena sakit di pengungsian dan empat orang lainnya diduga tewas ditembak.

‘Mereka serang sembarangan’

Sabtu, 5 Juli 2025 adalah hari yang tidak terlupakan bagi Bily, 23 tahun.

Pasalnya, sejak hari itu terjadi kontak senjata antara aparat TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Insiden itu berlangsung di Kampung Eromaga hingga Kepala Air, Distrik Omukia.

Baku serang di Distrik Omukia itu menjalar hingga ke kampungnya di Aminggaru.

Akibatnya, kata Bily, dirinya dan seluruh warga kampung melarikan diri—mengungsi ke beberapa lokasi untuk menyelamatkan diri.

“Mereka [militer] serang tidak pada sasaran, sembarangan. Masyarakat trauma dan takut tinggal di rumah karena takut kena peluru juga. Jadi akhirnya mengungsi semua,” kata Bily saat dihubungi, Rabu (23/07).

Sejak saat itu hingga kini, Bily dan sebagian warga kampung tak pernah lagi menginjakan kaki di tanah kelahirannya, yang dia sebut telah dikuasai militer.

“Kami takut pulang dan kini tinggal di pengungsian. Ada sekitar 10 tenda yang dibangun warga sendiri di titik pengungsian saya tinggal,” ujarnya.

Belasan hari berlalu, kata Bily, kehidupan di tenda pengungsian dalam kondisi buruk dan memprihatinkan.

Bily bercerita, para pengungsi hanya bertumpu pada bantuan dari pemerintah yang terbatas, yaitu lima karung beras, mi instan dan minyak goreng.

Para pengungsi, kata Bily, tidak berani kembali ke kebun-kebun milik mereka untuk mengambil makanan. Alasannya, mereka takut menjadi sasaran tembak, jika keluar dari tempat pengungsian.

“Kondisi kini hampir semua masyarakat itu kelaparan. Bantuan dari pemerintah sangat kurang. Kami sekarang berharap dapat makan bantuan dari keluarga yang ada di sekitar kami,” kata Bily yang sehari-hari berkerja sebagai petani.

Selain makanan yang terbatas, derita para pengungsi tak berhenti. Beberapa warga, kata Bily, mengalami sakit bahkan meninggal di pengungsian.

Baca juga:

  • Kronologi konflik Pilkada di Puncak Jaya, dari saling serang panah hingga pembakaran rumah
  • Masa darurat kelaparan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah ‘diperpanjang’ – Pemerintah janji bangun lumbung pangan
  • ‘Kado Natal terburuk untuk orang Papua’ – Ratusan warga Pegunungan Bintang mengungsi usai pengerahan militer, bagaimana kronologinya?

Bily bilang tidak pernah ada bantuan obat-obatan dan kesehatan kepada warga dari otoritas terkait.

“Saat mereka keluar [mengungsi], kaget karena bunyi tembakan dan lain-lain. Jadi waktu lari-lari, mereka terlalu capek. Tiba di tempat pengungsi sekitar dua sampai tiga hari kemudian jatuh sakit, lalu meninggal,” ujarnya.

Selain itu, katanya, hampir sebagian besar anak-anak putus sekolah karena mengungsi.

Bily berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk segera mengembalikan para pengungsi ke rumah mereka masing-masing.

“Kami ingin hidup normal seperti dulu. Hidup di rumah kami tanpa ada rasa takut. Tolong bantu dan perhatikan kami,” ujarnya.

Puncak adalah kabupaten yang baru dibentuk tahun 2008, dimekarkan dari Kabupaten Puncak Jaya.

Selain konflik bersenjata, Puncak yang berpenduduk sekitar 115.000 jiwa adalah kabupaten dengan kasus miskin ekstrem terbanyak di Papua.

Berdasarkan data Kemenko PMK, per Desember 2024, angkanya mencapai 31.904 kasus.

Kabupaten ini berulang kali dilanda bencana kelaparan. Bahkan pada 2023 dilaporkan enam orang tewas akibat peristiwa ini.

‘Kami ingin kembali, rindu rumah’

Derita yang sama juga disampikan oleh pengungsi lain di Distrik Omukia, Miage Murib.

Dia dan warga kampungnya telah mengungsi sekitar dua bulan, usai aparat keamanan memasuki dan mencari pasukan TPNPB OPM di kampungnya.

Miage bercerita, dalam satu tenda pengungsian dihuni oleh ratusan orang.

“Kondisi yang tidak layak ini menyebabkan banyak yang sakit dan ada dua orang meninggal di pengungsian,” ujarnya.

Ditambah lagi, katanya, tidak ada bantuan kesehatan ke para pengungsi.

“Kalau masyarakat di tenda-tenda ini mau berobat harus ke rumah sakit yang jauh. Jadi ada yang naik motor atau minta bantuan. Tapi banyak yang tidak berobat karena jauh.”

Mungkin Anda tertarik:

  • Pendidikan anak pengungsi Nduga di Papua terbengkalai, pemerintah dan gereja ‘harus buka mata’
  • Konflik bersenjata di Papua, ribuan warga sipil Paniai mengungsi – ‘Roh Kudus, berkati kami agar bisa selamat’
  • Nasib para pengungsi Intan Jaya, Papua: ‘Menangis di hadapan Tuhan agar kedamaian bisa terwujud’

Miage mengatakan, dirinya dan warga lain pernah menerima bantuan 15 karung beras dari pemerintah, Mei lalu. Namun kini, makanan itu nyaris habis.

“Kami semua terlantar di sini. Kami ingin kembali. Rindu mau kembali ke rumah masing-masing. Kami mau cari makan, cari kenyamanan dan lain-lain itu tidak bisa,” ujarnya,

“Kami yang di tenda-tenda ini hanya bisa itu sakit saja, bisa dapat sakit,” kata Miage mengeluh.

Aparat keamanan sempat membuat klaim bahwa operasi mereka ke kampung-kampung di Puncak bertujuan mengejar dua pimpinan TPNPB, Kelenak Murib dan Lekagak Telenggen.

Aparat menuding Kelenak dan Lekagak adalah aktor di balik pembakaran gedung SMP Agandugume pada Februari lalu.

Selain itu, Kalenak juga disebut terlibat penyerangan warga sipil di Yugumoak, Puncak, Rabu (18/6), dan penembakan pegawai bank di Sinak, Puncak, beberapa tahun lalu.

Bily dan Miage berkata, mereka hanya pernah mendengar dua nama itu. Namun mereka menegaskan tidak pernah berinteraksi dengan Kelenak dan Lekagak.

Tewas akibat serangan

Kehadiran militer di kampungnya, menurut Maige, adalah penyebab utama warga ketakutan dan memilih mengungsi.

Ketakutan itu, ujarnya, terbukti karena ada seorang warga bernama Enikmbak Murib, yang diduga tewas tertembak oleh militer.

“Makanya masyarakat semua trauma. Jangan sampai salah-salah nanti kami yang kena sasaran, makanya mereka ambil jalan pintas itu mereka semua masuk di dalam kota, area kota,” katanya.

Pernyataan Miage ini selaras dengan temuan Tim Investigasi HAM Kabupaten Puncak bersama mahasiswa Puncak se-Indonesia.

Aktivis kemanusiaan Papua yang tergabung dalam tim ini, Mis Murib, menyebut terdapat empat orang yang diduga tewas ditembak aparat keamanan.

Salah satunya, kata Mis, adalah Enikmbak Murib.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan, Mis Murib bercerita, bahwa pada 6 Juli pagi, Enikmbak yang berusia 59 tahun keluar dari rumah honai khusus laki-laki, usai mendengar bunyi tembakan.

“Enikmbak lalu melarikan diri untuk bersembunyi atau menghindari kontak tembak,” ujar Mis Murib.

“Namun aparat gabungan melihatnya dan melakukan serangan hingga peluru menyasar pada tubuh korban,” kata Mis.

Mis menyebut, sejak tewas hingga 21 Juli lalu, aparat tak memberikan izin untuk mengevakuasi jenazah Enikmbak.

“Keluarga korban melakukan koordinasi dengan pemerintah setempat agar diizinkan melakukan evakuasi korban, namun tak ada respon baik, bahkan ditolak. Hingga saat ini jenazah korban belum di evakuasi,” ujarnya.

Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak telah puluhan tahun menjadi episentrum konflik bersenjata di Tanah Papua.

Pada 2001, BBC melaporkan bahwa kelompok milisi pro-kemerdekaan dan militer Indonesia bertempur di sekitar Ilaga, ibu kota Puncak.

Saat itu, saling klaim serangan dan saling lempar tanggung jawab atas tuduhan kekerasan dan kematian warga telah terjadi antara dua pihak itu.

Pada tahun 2004, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah meminta militer untuk berhati-hati agar operasi keamanan mereka tidak malah memakan korban warga sipil Puncak.

Mantan Gubernur Irian Jaya, Barnabas Suebu mengatakan kontak senjata antara militer dengan TPNPB OPM telah menimbulkan trauma mendalam bagi warga.

“Kalau dia menyingkir dan suatu saat kembali, dia dikira anggota OPM, tapi kadang-kadang warga juga dituduh membantu TNI melawan OPM. Sehingga selalu dicurigai,” kata Suebu.

Ribuan warga mengungsi

Mis Murib berkata gelombang pengungsi pada tahun 2025 bermula saat penerjunan ratusan aparat keamanan di beberapa titik di Kabupaten Puncak, sejak Februari silam.

Menurut keterangan warga yang diperoleh, kata Mis Murib, penerjunan pasukan itu dimulai di wilayah Pogoma dan Sinak Barat.

“Menurut kesaksian warga, sejumlah helikopter sebanyak 18 kali angkut 300 personel. Mereka lalu membagi dua arah ke Kampung Timobur dan Kampung Nggagama,” katanya.

Mis melanjutkan, aparat keamanan sempat bertemu dengan warga kampung. Mereka bertanya tentang keberadaan pasukan TPNPB. Aparat juga memeriksa warga kampung.

Setelah penerjunan pasukan itu, terjadi beberapa kali kontak senjata antara militer dengan TPNPB.

Akibatnya, kata Mis, sekitar 3.895 orang dari lima distrik di Puncak menjadi pengungsi.

Lebih dari 1.300 pengungsi adalah warga dari Distrik Pogoma dan Sinak Barat. Lalu, lebih dari 900 pengungsi berasal dari wilayah Gome dan Gome Utara.

Dan, lebih dari 1.500 jiwa berasal adri Omukia dan Oneri.

Selain itu, sekitar 2.500 orang dari Distrik Omukia mengungsi, 23 rumah dibakar, dan 10 kampung kosong.

“Jadi total ada lima distrik yang kosong, semuanya mengungsi,” katanya.

Selain itu, kata Mis, terdapat ribuan anak yang putus sekolah, 48 gereja kosong dan satu tenda dihuni oleh 150 orang pengungsi .

Lalu tim juga menemukan enam orang meninggal karena sakit di pengungsian dan empat orang diduga tewas ditembak.

Selasa kemarin, Keuskupan Timika menyebut situasi konflik bersenjata dan pengungsian di Puncak terus memburuk.

“Menurut informasi dan data yang kami terima, para pengungsi di Kabupaten Puncak Papua sebanyak 4.469 jiwa dan tersebar di beberapa distrik, yakni Gome, Gome Utara, Ilaga, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak dan Distrik Yugumoak,” kata Saul Wanimbo, Ketua SKP Keuskupan Timika kepada pers.

Militer justru memicu konflik dan pengungsian

Aktivis kemanusian Papua, Mis Murib mengatakan upaya pemerintah untuk menolong para pengungsi hanya bersifatnya jangka pendek dan sementara.

“Mereka hanya turun memberikan bantuan saja, sembako,” katanya.

Namun, tambahnya, pemerintah tidak pernah menyelesaikan akar penyebab mengapa konflik dan pengungsian terjadi.

“Akar konflik ini disebabkan oleh aparat militer. Keberadaan aparat militer justru memancing emosi. Memancing situasi terhadap simpati dari TPNPB,” ujar Mis.

“Jadi untuk memutuskan situasi ini, aparat non-organik yang dikirim dari pusat harus ditarik kembali. Itu baru situasi akan aman,” katanya.

Mis berkata, sebagian besar warga Puncak memiliki trauma masa lalu dengan aparat keamanan.

“Jadi ketika aparat militer itu muncul, pakai seragam loreng saja itu mereka takut. Apalagi bawa senjata, pakai rompi dengan senjata-senjata model-model baru, itu sangat mereka takut. Mereka lihat saja, mereka langsung lari,” katanya.

Mis menganggap telah terjadi pelanggaran hak hidup yang dialami oleh para pengungsi Puncak. Mereka kehilangan rasa aman, hidup dalam ketakutan, terusir dari rumah, hingga tak memiliki akses memenuhi kebutuhan dasar.

“Masyarakat ini hanya di tenda saja, tinggal di tenda, tidak bisa keluar beraktivitas karena di luar, di hutan, di kebun, semua dikuasai militer,” katanya.

“Perlahan-lahan, situasi itu seperti supaya masyarakat ini meninggal, mati semua di tenda.

“Ini tidak ada yang dibicarakan oleh pemerintah. Mereka membiarkan para pengungsi dengan anak-anak menderita seperti ini,” ujar Mis Murib.

Lebih dari itu, Mis Murib menyebut warga Puncak juga dirundung stigmatisasi oleh aparat. Stigma itu, kata dia, yang berujung aksi kekerasan terhadap warga Papua yang berjengot tebal, berambut gimbal, dan memakai manik-manik.

“Mereka yang memiliki penampilan seperti itu dianggap TPNPB atau OPM sehingga mereka ditangkap dan disiksa,” ujarnya.

Dalam laporan tim kemanusiaan Puncak, Mis Murib dan kawan-kawannya menulis, “Kami bisa berbicara, tapi tak tahu bahasa Indonesia. Kami bisa terbang keluar untuk presentasikan apa yang kami alami, tapi tak ada uang.”

“Kami punya bupati tapi tak punya tuan atau pemimpin. Itulah kami: pengungsi,” tulis mereka.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Kristomei Sianturi dan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigjen TNI Wahyu Yudhayana. Namun hingga berita diturunkan, mereka belum memberikan tanggapan.

  • Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan – ‘Rindu pulang tapi cemas dimata-matai’
  • Nestapa pengungsi Nduga: Bertahun-tahun ‘diusir’ dari rumah dan kini hak suara mereka di Pemilu 2024 ‘direnggut paksa’
  • Gibran ditunjuk untuk selesaikan masalah di Papua – Apa yang Gibran perlu lakukan?

Berita Terkait

Ada 15 WNI yang Tinggal di Perbatasan Thailand-Kamboja, KBRI Minta Waspada
Tragis! 12 Tewas dalam Pertempuran Berdarah Kamboja-Thailand
Grup Hacker China Serang Server SharePoint, Microsoft Rilis Patch Darurat
Komunitas Freerunners Bandung Bikin Ulah di Event Marathon: Palsukan BIB sampai Bagi-bagi Bir Gratis
Gaza Membara: Blokade Israel Sebabkan Kelaparan, 101 Tewas, 80 Anak Jadi Korban
Usai Siswanya Keracunan MBG, SMP 8 Kupang Liburkan Sekolah dan Terapkan Pembelajaran Daring
Gempa M 5,2 Guncang Selatan Jawa Pagi Ini, Getaran Terasa hingga Bandung dan Pandeglang
Cerita Siswa Bangladesh, Teman Sebangku Tewas di Depan Mata Usai Jet Tempur Tabrak Sekolahnya

Berita Terkait

Jumat, 25 Juli 2025 - 10:46 WIB

Kondisi warga Puncak, Papua, ‘semakin buruk’ akibat konflik bersenjata – Ribuan mengungsi, beberapa tewas karena sakit dan diduga ditembak

Jumat, 25 Juli 2025 - 08:18 WIB

Ada 15 WNI yang Tinggal di Perbatasan Thailand-Kamboja, KBRI Minta Waspada

Jumat, 25 Juli 2025 - 00:23 WIB

Tragis! 12 Tewas dalam Pertempuran Berdarah Kamboja-Thailand

Kamis, 24 Juli 2025 - 05:43 WIB

Grup Hacker China Serang Server SharePoint, Microsoft Rilis Patch Darurat

Kamis, 24 Juli 2025 - 04:26 WIB

Komunitas Freerunners Bandung Bikin Ulah di Event Marathon: Palsukan BIB sampai Bagi-bagi Bir Gratis

Berita Terbaru

Politics

Data Pribadi Aman? Istana Bantah Transfer Data ke AS!

Sabtu, 26 Jul 2025 - 09:52 WIB

Finance

Rp 10 Miliar Mengalir: PT Timah Suntik Modal Anak Usaha!

Sabtu, 26 Jul 2025 - 09:09 WIB