Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menyoroti upaya perebutan kekuasaan melalui cara-cara yang menyimpang, termasuk rekayasa konstitusi. Dalam pidato peringatan peristiwa berdarah Kudatuli di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, Minggu (27/7), Djarot menegaskan bahwa ambisi berkuasa sah-sah saja, namun caranya harus benar. Ia mengecam keras upaya meraih kekuasaan dengan cara yang tidak adil, menekan pihak oposisi, bahkan sampai pada kriminalisasi lawan politik.
“Memang sah-sah saja jika seseorang menginginkan kekuasaan, atau kaya raya. Tapi, jalan untuk meraihnya haruslah jujur. Jangan sampai kekuasaan diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang, apalagi dengan merekayasa konstitusi,” tegas Djarot. Lebih lanjut, ia menggambarkan praktik tersebut sebagai upaya mengintimidasi dan menekan siapa pun yang berbeda pendapat, dengan mencari-cari kesalahan hingga akhirnya dipenjara.
Sebagai contoh, Djarot menyinggung kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang menurutnya penuh tanda tanya. Ia menduga adanya upaya untuk mencari-cari kesalahan kedua tokoh tersebut, sementara kasus-kasus korupsi besar lainnya, seperti kasus minyak goreng, pesawat jet, korupsi infrastruktur di Sumatera Utara, dan kasus Blok Medan, seakan dibiarkan begitu saja.
“Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto diusut tuntas, sementara kasus korupsi besar lainnya diabaikan. Ini seperti pepatah, ‘gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, kutu di seberang pulau kelihatan’,” kritik Djarot, menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum. Peringatan peristiwa Kudatuli yang jatuh setiap 27 Juli menjadi latar belakang diskusi tersebut. Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, di tengah konflik internal antara kubu Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi yang didukung rezim Orde Baru, menandai babak kelam sejarah politik Indonesia dan menjadi salah satu pemicu gerakan reformasi 1998. Peristiwa ini menjadi pengingat pentingnya perjuangan untuk menegakkan demokrasi dan keadilan.