Polemik Penempatan Guru Sekolah Rakyat: Ratusan Mundur, Pendidikan Murid Terancam
Gelombang pengunduran diri guru dari program Sekolah Rakyat kembali menjadi sorotan tajam, menguak luka lama dalam sistem penempatan tenaga pendidik di Indonesia. Sebanyak 143 guru memilih untuk tidak memenuhi panggilan tugas, terutama karena penempatan yang jauh dari domisili mereka. Ironisnya, persoalan serupa ini telah berulang, mengindikasikan pemerintah belum belajar dari pengalaman sebelumnya, demikian menurut para pegiat pendidikan.
Dampak paling signifikan dari kemunduran ratusan guru ini langsung menimpa para siswa Sekolah Rakyat. Sejumlah mata pelajaran vital terpaksa tidak berjalan optimal atau bahkan terhenti, karena ketiadaan pengajar yang memadai. Situasi ini sangat disayangkan, mengingat kegiatan belajar mengajar seharusnya sudah dimulai sejak 14 Juli silam. Kondisi ini seolah menjadi deja vu dari insiden pada April 2025, ketika 1.967 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) – yang mayoritas adalah dosen – juga mengundurkan diri karena penugasan di lokasi yang terlampau jauh, bahkan hingga lintas pulau.
Pengamat pendidikan menyoroti bahwa persoalan ini seharusnya dapat dicegah apabila pemerintah melakukan kajian dan evaluasi mendalam terhadap kasus CPNS sebelumnya. Pemetaan kebutuhan yang akurat dan kejelasan informasi detail mengenai lokasi penempatan saat pembukaan lowongan, diyakini menjadi kunci untuk mengatasi masalah berulang ini. Namun demikian, pemerintah melalui Kementerian Sosial, menegaskan bahwa setiap pelamar wajib mengisi konfirmasi kesediaan untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Apabila opsi ‘tolak’ dipilih atau konfirmasi tidak diisi, proses pendaftaran tidak dapat dilanjutkan. Di tengah isu krusial mengenai kekurangan guru, potensi sanksi bagi para calon guru yang mundur ini dikhawatirkan dapat berdampak serius pada distribusi pendidikan di masa mendatang.
‘Ternyata di luar ekspektasi’
Di lapangan, dampak penempatan yang tidak sesuai ekspektasi ini terasa nyata. Sekolah Rakyat di Sentra Wirajaya Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, menghadapi problematika serius. Dua guru yang berasal dari Jawa memutuskan mundur karena lokasi mengajar yang jauh. “Iya, karena mereka terkendala domisili. Harapan mereka sebenarnya di awal berharapnya sesuai penempatan domisilinya, ternyata di luar ekspektasi,” ungkap Radiah, Kepala Sekolah Rakyat Menengah Pertama, kepada BBC News Indonesia. Keduanya bahkan sama sekali belum sempat mengajar sejak sekolah dimulai pada 14 Juli 2025. Radiah menyayangkan keputusan tersebut, mengingat syarat awal pendaftaran adalah kesediaan ditempatkan di seluruh Indonesia. Alhasil, sekolah ini kini belum memiliki guru untuk mata pelajaran IPS dan Seni Budaya. Upaya mitigasi dilakukan dengan memaksimalkan potensi guru dan tenaga pendidik yang ada, demi menjaga agar kegiatan belajar tetap berjalan. Dari 11 guru yang kini menetap di asrama, semuanya berasal dari Makassar, dengan lokasi asrama sekitar 15 km dari pusat kota, dekat perkampungan nelayan Untia.
Kondisi serupa terjadi di Sekolah Rakyat yang bertempat di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Padang. Hingga kini, belum ada guru agama yang mengajar lantaran dua guru yang ditugaskan memilih mundur. “Saat itu, saya bilang silakan memikirkan lebih dulu, karena info dari Kemensos bapak ditempatkan di tempat saya. Nah sekiranya bapak memang akan bekerja di sini, beritahu saya. Besoknya, dia bilang dia enggak ikut tes dari awal seperti seharusnya karena dia memang enggak mau,” jelas Kepala Sekolah Azizah Batubara kepada BBC News Indonesia. Sebenarnya, Azizah telah menyiapkan guru pengganti, namun penolakan terjadi karena jarak rumah dengan lokasi Sekolah Rakyat yang jauh, bahkan sempat terjadi kesalahpahaman lokasi. Pihak sekolah telah menyampaikan masalah ini kepada Kementerian Sosial dan Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat untuk penyediaan guru pengganti, mengingat penyediaan guru agama merupakan tanggung jawab Kementerian Agama. Sementara ini, mitigasi dilakukan dengan memanfaatkan salah satu guru berlatar belakang pesantren yang memiliki pengetahuan agama yang sangat baik. Azizah optimistis kegiatan belajar masih terkendali karena siswa masih dalam program matrikulasi.
Berbeda dengan dua kasus di atas, Sekolah Rakyat Sentra Handayani di Jakarta justru menunjukkan stabilitas. Sebanyak 12 guru masih aktif mengajar tanpa ada yang mengundurkan diri. Mayoritas guru berasal dari Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, dengan hanya seorang guru dari Solo, Jawa Tengah. Guru tersebut, Delvi Tiara Anjani, menyatakan rekannya dari Solo menanggung biaya perjalanan sendiri, namun ada informasi bahwa biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah.
Bagaimana seleksi guru Sekolah Rakyat?
Delvi Tiara Anjani, guru matematika di Sekolah Rakyat Sentra Handayani, berbagi pengalamannya mengikuti seleksi. Awalnya, ia mengikuti seleksi guru PPPK Pemerintah Daerah pada Mei 2025. Pada Juni, muncul pengumuman tambahan bagi lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Pra-jabatan atau PPG calon guru yang sedang mengikuti seleksi PPPK untuk bisa mendaftar sebagai guru Sekolah Rakyat. Delvi membenarkan adanya kewajiban mengisi konfirmasi kesediaan penempatan sebelum melanjutkan proses. “Setelah mengirimkan konfirmasi kesediaan, diseleksi berdasarkan nilai CAT yang sudah kami jalani dari seleksi sebelumnya. Diurutkan dari nilai paling besar,” terang Delvi.
Berdasarkan pengumuman hasil konfirmasi kesediaan, 3.622 guru berhak mengikuti seleksi tambahan berupa tes bahasa Inggris, psikologi, dan wawancara. Seluruh nilai akan diakumulasikan, dengan komponen terbesar pada nilai CAT (50%). Syarat pendaftaran meliputi usia 20-45 tahun, bukan PNS atau CPNS, memiliki sertifikat pendidik PPG pra-jabatan atau calon guru, serta pendidikan sarjana/diploma empat dengan IPK minimal 3,0. Delvi memenuhi semua syarat tersebut. Namun, untuk penempatan, ia mengaku tidak pernah diberi informasi detail, hanya berasumsi akan disesuaikan dengan formasi yang tersedia di daerah tersebut.
Proses penempatan ini sejalan dengan sistem “optimalisasi” yang digunakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada rekrutmen CPNS sebelumnya. Kepala BKN, Zudan Arif Fakhrulloh, menjelaskan bahwa sistem ini menempatkan pelamar berdasarkan kebutuhan formasi. Misalnya, jika sebuah daerah hanya membutuhkan tiga orang, namun pelamar berada di peringkat keempat, ia akan dipindahkan ke lokasi lain yang sesuai dengan formasinya dan ketersediaan kapasitasnya. Atas dasar inilah, banyak kandidat ditempatkan tidak sesuai dengan domisili atau tujuan awalnya. Sistem optimalisasi ini kembali diterapkan pada penempatan guru Sekolah Rakyat tahap pertama (10-16 Juni 2025), meskipun belum jelas apakah akan berlanjut pada rekrutmen tahap kedua.
‘Tidak memenuhi panggilan’
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, sempat menyebut angka 160 guru yang mundur dari 1.469 yang diterima. Namun, dalam pernyataan pada Kamis (13/07), ia meralat jumlah tersebut menjadi 143 orang yang “tidak memenuhi panggilan.” “Istilah yang lebih tepat dari mengundurkan diri adalah ‘tidak memenuhi panggilan’ karena mereka yang dinyatakan diterima tidak datang ke Sekolah Rakyat,” ujar Saifullah kepada BBC News Indonesia.
Ada dua alasan mendasar di balik keputusan mundur ini. Pertama, faktor domisili akibat sistem optimalisasi penempatan. Kedua, sebagian guru tersebut ternyata telah diterima penempatan formasi di daerah asal mereka, yang sebelumnya belum memiliki penempatan. Saifullah meyakinkan bahwa proses matrikulasi dan belajar mengajar tidak akan terganggu, sebab mayoritas guru yang mundur berasal dari 23 Sekolah Rakyat yang belum beroperasi. Angka kemunduran guru tertinggi tercatat di Kabupaten Sarmi, Papua (12 orang) dan Kota Jayapura (10 orang), keduanya untuk sekolah yang belum beroperasi. Namun, data Kementerian Sosial masih menyebutkan Sekolah Rakyat di Kota Jayapura dan Sentra Wirajaya Makassar belum beroperasi, padahal pembelajaran di sana telah berjalan sejak 14 Juli 2025.
Menurut Saifullah, data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukkan sekitar 50.000 guru siap menggantikan posisi yang kosong. Saat ini, 143 guru pengganti juga telah diterima untuk mengisi kekosongan tersebut. Secara terpisah, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Nunuk Suryani, meminta para guru untuk bertanggung jawab atas pilihan mereka saat mendaftar. Dengan kondisi ini, bukan tidak mungkin akan ada sanksi bagi mereka yang mengundurkan diri.
Namun, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengecam pernyataan Menteri Sosial tersebut. “Kalau menyimak *statement* dari Menteri Sosial, bahwa yang mundur 143 tapi yang antre 50.000. Ini pernyataan yang melukai guru dan profesinya. Ini bukan soal yang antre, tapi justru 143 orang ini harus didengar suaranya supaya tidak terulang lagi,” tegas Ubaid. Ia menambahkan, selama sistem optimalisasi diberlakukan, tidak ada jaminan bahwa 50.000 guru yang disebutkan “mengantre” tersebut bersedia memenuhi panggilan. Untuk itu, ia menekankan perlunya komunikasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam melakukan pemetaan kebutuhan yang akurat.
Pengamat pendidikan, Ina Liem, turut menyuarakan bahwa seharusnya sistem rekrutmen didasarkan pada pemetaan kebutuhan dan ketersediaan guru di setiap daerah. Idealnya, pemetaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan data riil: berapa guru yang dibutuhkan, berapa yang tersedia, dan di mana lokasi pastinya. “Gunakan guru setempat bila memungkinkan, karena mereka lebih siap secara sosial dan geografis,” saran Ina.
Berapa gaji guru Sekolah Rakyat?
Ina Liem menambahkan, jika memang perlu mendatangkan guru dari luar daerah, harus disiapkan sistem insentif yang layak dan transparan. “Jangan paksakan, tapi beri kesempatan guru memilih daerah yang mereka bersedia tempati sejak awal rekrutmen,” katanya. Ina menegaskan bahwa masalah penempatan guru, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), bukanlah hal baru dan merupakan persoalan klasik yang telah berlangsung bertahun-tahun. “Banyak guru enggan ditempatkan di daerah terpencil karena minim fasilitas, dan pemerintah sering gagal menyiapkan sistem yang adil dan manusiawi,” ujarnya.
Ubaid Matraji juga berpendapat bahwa ketiadaan kejelasan informasi detail mengenai lowongan membuat sebagian guru yang telah terlanjur mendaftar kemudian mundur. Selain syarat umum, keterbukaan informasi mengenai fasilitas yang diterima, jaminan pengangkatan sebagai ASN, besaran kesejahteraan, hingga keberlanjutan program, harus diinformasikan secara transparan sejak awal. Resistensi terhadap penempatan yang tidak sesuai domisili ini, lanjutnya, juga berkaitan erat dengan masalah kesejahteraan. Biaya transportasi antar kota, biaya kehidupan di kota tujuan, menjadi pertimbangan penting, apalagi bagi guru yang sudah berkeluarga. “Status guru, apakah akan diangkat, apakah kontrak, besaran gajinya berapa, jaminan kesejahteraan, sampai keberlanjutannya, ini harus jelas. Kalau nanti ganti pemimpin, programnya tidak berlanjut, bagaimana nasib para guru ini? Ini kan seperti masuk ruang gelap,” ujar Ubaid. Ia menekankan bahwa konfirmasi kesediaan bukanlah jawaban tunggal. “Mereka melakukan kewajiban, mereka berhak juga untuk mempertanyakan haknya kan. Jangan dituntut kesediaan, tapi kemudian hak mereka tidak diberikan atau tidak dijelaskan secara terbuka.”
Delvi Tiara Anjani, salah seorang guru di Sekolah Rakyat, mengatakan ia hanya memperoleh informasi bahwa gajinya nanti akan disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Namun, ia mengaku belum mengetahui apakah besaran UMR tersebut mengacu pada kota tempat ia bertugas. Sebelumnya, saat mengajar di sekolah swasta di Bekasi, Jawa Barat, gajinya dibayarkan per jam pelajaran (JP). Dalam sepekan, ia mengajar 20 JP (empat kelas @ lima JP), dengan nilai satu JP sebesar Rp50.000. Dengan demikian, gajinya sekitar Rp1 juta per minggu, belum termasuk uang transport sebesar Rp7.000 per JP. Jika dihitung sebulan penuh, gajinya sekitar Rp4,5 juta. Apabila disesuaikan dengan UMR Kota Bekasi 2025 yang tercatat Rp5,6 juta, atau UMR Jakarta (tempat ia mengajar sekarang) yang sebesar Rp5,3 juta, maka ada selisih yang signifikan. Menanggapi hal ini, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyampaikan bahwa gaji guru Sekolah Rakyat akan berada di atas UMR, dengan perhitungan sesuai gaji pegawai Kementerian Sosial. Mengenai tunjangan kinerja, ia menjelaskan bahwa itu baru bisa diperoleh Kepala Sekolah yang berstatus ASN. Sementara untuk para guru, ada rencana untuk mengangkat mereka sebagai ASN PPPK, sehingga perolehan gaji nantinya akan disesuaikan lagi.
Bagaimana nasib murid Sekolah Rakyat?
Pengamat pendidikan, Ina Liem, berpendapat bahwa “kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas dan kesiapan gurunya.” Ia menganggap keberadaan Sekolah Rakyat sebagai ide mulia, namun sayang, persiapan yang tergesa-gesa dan minim kajian menimbulkan berbagai persoalan, di mana pada akhirnya anak-anak menjadi korban. Di sisi lain, Ina juga menyoroti fenomena banyak guru honorer yang justru dijadikan alat politik oleh Pemerintah Daerah. “Mereka dipertahankan tanpa status jelas, digaji rendah, tapi dijanjikan diangkat menjelang Pilkada. Ironisnya, banyak Pemda bahkan tidak mengajukan formasi PPPK, meskipun sekolahnya kekurangan guru. Akibatnya, guru-guru ini dibiarkan menggantung,” kata Ina.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, meyakini bahwa sistem “tambal sulam” guru-guru yang mundur dari Sekolah Rakyat ini berdampak langsung pada kualitas guru, sehingga anak-anak Sekolah Rakyat seolah menjadi “kelinci percobaan.” Ia menjelaskan, jika mengacu pada sistem optimalisasi, guru yang tersaring di awal adalah mereka yang memiliki nilai dan peringkat terbaik. Saringan tahap selanjutnya, menurut Ubaid, bisa diartikan kualitasnya tidak sama dengan yang lolos di tahap awal. “Justru perlakuan yang sangat diskriminatif terhadap anak-anak,” katanya.
Meskipun sejumlah Kepala Sekolah di Sekolah Rakyat mengambil langkah mitigasi dengan memberdayakan guru yang ada untuk menggantikan sementara posisi guru yang mundur, para pengamat menilai hal ini tidak optimal. Akibatnya, janji pemerintah untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Sekolah Rakyat dikhawatirkan tidak akan terpenuhi secara maksimal.
- Sekolah Rakyat dimulai 14 Juli – ‘Sekolah untuk bangun peradaban, tapi membuatnya gegabah dan minim kajian’
- Guru honorer berjalan kaki 6km melintasi hutan dan sungai – ‘Gaji tidak cukup tapi ini demi anak-anak’
- Penundaan pengangkatan CPNS jadi ‘blunder ekonomi’ di tengah gelombang PHK – ‘Saya jadi pengangguran’
- BKN siapkan sanksi berat bagi CPNS yang mundur: ‘Saya mundur karena punya ekspektasi gaji besar’
- Kasus 107 guru honorer di Jakarta dipecat karena dianggap ‘tak sesuai aturan’
- Angka kemiskinan turun, ratusan ribu orang terancam tak menerima bansos?
- Sekolah Rakyat dimulai 14 Juli – ‘Sekolah untuk bangun peradaban, tapi membuatnya gegabah dan minim kajian’
- Rencana pemerintah bangun Sekolah Rakyat – ‘Buang-buang duit dan buka celah korupsi, lebih baik gratiskan SD sampai SMA’
- MK putuskan SD-SMP negeri dan swasta ‘gratis’, tapi mengapa sekolah swasta tertentu dibolehkan menarik iuran?