## Surat Edaran Kemnaker soal Diskriminasi Usia: Sekedar Himbauan atau Solusi Nyata?
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/V/2025 yang melarang diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja, termasuk diskriminasi usia. Namun, langkah ini menuai beragam reaksi. Beberapa pihak menilai SE tersebut terlalu lemah dan tidak efektif mengatasi permasalahan diskriminasi usia yang marak di dunia industri.
Menteri Tenaga Kerja, Yassierli, menegaskan komitmen pemerintah menciptakan dunia kerja yang adil dan inklusif. SE ini melarang diskriminasi berdasarkan penampilan fisik, status pernikahan, warna kulit, disabilitas, dan usia. Namun, Kemnaker tetap memberikan pengecualian untuk pembatasan usia jika dibenarkan secara hukum, misalnya untuk pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok usia tertentu. “Proses rekrutmen harus didasarkan pada kompetensi dan kesesuaian pekerjaan,” tegas Yassierli dalam konferensi pers.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menjelaskan urgensi terbitnya SE ini sebagai respons atas tingginya angka pengangguran (7,2 juta orang) dan kemiskinan (24 juta orang). Kemnaker, menurutnya, mengeluarkan SE ini dengan cepat – hanya dalam tiga hari – sebagai langkah antisipatif. Rencananya, aturan yang lebih kuat seperti Peraturan Menteri akan menyusul, namun proses harmonisasi regulasi masih diperlukan.
Namun, efektivitas SE ini dipertanyakan. Andriko Otang, pakar isu perburuhan dari Trade Union Rights Centre (TURC), menilai SE hanya bersifat himbauan dan tidak mengikat secara hukum. Ia khawatir, SE ini tidak akan efektif di sektor-sektor tertentu, seperti industri makanan dan minuman, yang seringkali menetapkan kriteria usia dan penampilan dalam perekrutan. “Praktik implementasinya akan sangat bergantung pada karakteristik industri dan kepentingan dunia usaha,” jelasnya.
Leonardo Olefins Hamonangan, penggugat aturan pembatasan usia perekrutan di Mahkamah Konstitusi, menyarankan pemerintah menerbitkan aturan yang lebih kuat, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, bahkan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, untuk memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang melakukan praktik *ageism*.
Pandangan berbeda datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani. Ia menyatakan dunia usaha akan mematuhi kebijakan pemerintah, selama implementasinya jelas dan disertai pedoman teknis yang aplikatif. Shinta menjelaskan, pembatasan usia seringkali digunakan sebagai mekanisme penyaringan awal lamaran, bukan sebagai bentuk diskriminasi. Ia meminta pemerintah memberikan batasan yang jelas terkait usia kerja.
Lebih lanjut, Andriko Otang melihat terbitnya SE ini sebagai upaya pemerintah menghadapi gelombang PHK yang signifikan. Apindo mencatat jumlah PHK mencapai 73.992 pekerja hingga 10 Maret 2025. Gelombang PHK ini berdampak besar pada pekerja usia 30-45 tahun yang dinilai lebih sulit terserap kembali di pasar kerja karena persepsi negatif terhadap produktivitas mereka.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Andriko menyarankan beberapa hal. Pertama, perbaikan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) agar mencakup pekerja yang mengundurkan diri atau kontraknya habis. Kedua, peningkatan jumlah dan kualitas Balai Latihan Kerja (BLK) serta penyesuaian materi pelatihan dengan kebutuhan industri. Saat ini, menurutnya, masih banyak pelatihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Kesimpulannya, Surat Edaran Kemnaker tentang larangan diskriminasi usia dalam perekrutan kerja menjadi langkah awal yang patut diapresiasi, namun efektivitasnya masih diragukan. Perlu aturan yang lebih kuat dan implementasi yang konsisten untuk benar-benar menghapus praktik diskriminasi usia di dunia kerja Indonesia serta upaya konkret untuk meningkatkan daya serap pasar kerja bagi pekerja usia lanjut.