Liga 1 Jadi Super League: Untung atau Buntung Brand Sepak Bola?

Avatar photo

- Penulis Berita

Kamis, 10 Juli 2025 - 07:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Super League dan Jejak Enam Kali Perubahan Nama Liga: Mengapa Brand Equity Sepak Bola Indonesia Terus Terguncang?

Wacana perubahan nama kompetisi sepak bola tertinggi Indonesia dari Liga 1 menjadi Super League kini menjadi perbincangan hangat. Sejak tahun 1994, identitas kompetisi lokal ini telah mengalami enam kali pergantian nama, sebuah fenomena yang patut dianalisis mendalam melalui lensa teori *brand equity* dalam industri olahraga. Pola inkonsisten ini memunculkan pertanyaan krusial tentang kemampuan Indonesia membangun merek liga yang kuat dan berkelanjutan.

Menurut Thilo Kunkel, seorang peneliti Sport Management & Branding dari Universitas Tempel, Amerika Serikat, secara sederhana, merek dapat diartikan sebagai nama, simbol, desain, merek dagang, atau kombinasi dari elemen-elemen tersebut yang berfungsi membedakan satu produk atau layanan dari yang lain. “Label utama kita adalah Super League, siapa pun sponsornya,” tegas Ferry Paulus, Direktur Utama PT. Liga Indonesia Baru (LIB), mengindikasikan arah baru ini.

Dari perspektif akademis, stabilitas nama merupakan fondasi krusial untuk membangun *brand equity* yang kokoh. Penelitian menyoroti relevansi model *brand equity* yang parsimonis dalam olahraga tim (BETS) serta betapa vitalnya peran merek dalam kesuksesan ekonomi sebuah tim olahraga. Fakta bahwa Indonesia telah mengubah nama liganya sebanyak enam kali secara jelas menunjukkan adanya tantangan struktural yang mendalam dalam upaya membangun aset merek yang berkelanjutan.

Analisis Dampak Perubahan Nama Berdasarkan Riset Brand Equity

Riset dalam industri olahraga menegaskan bahwa kesadaran merek (*brand awareness*) dan citra merek (*brand image*) adalah faktor penentu kesuksesan merek. Komponen kesadaran merek, khususnya, berkaitan erat dengan kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi merek dari memori mereka dalam berbagai kondisi. Dalam konteks ini, setiap perubahan nama Liga Indonesia berpotensi besar mereset *awareness* yang telah susah payah dibangun sebelumnya, memaksa proses pengenalan kembali dari awal.

Kunkel, dalam jurnalnya yang berjudul ‘Exploring sport brand development strategies to strengthen consumer involvement with the product – The case of the Australian A-League’, menyatakan, “Memodifikasi atribut atau karakteristik dari sebuah merek olahraga untuk lebih memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dapat berdampak pada keterhubungan konsumen dengan merek olahraga favorit mereka.”

Studi ini juga menyoroti transformasi sukses dari National Soccer League (NSL) menjadi A-League di Australia sebagai contoh nyata *rebranding* strategis. Perubahan ini memperluas daya tarik pasar dengan menghapus akar etnis NSL, menjadikan kompetisi baru ini jauh lebih menarik bagi audiens yang lebih luas. Berbeda dengan pengalaman Indonesia, di mana era Divisi Utama (1994-2007) seharusnya menjadi periode emas untuk membangun *brand equity* yang solid berkat durasinya yang relatif panjang. Namun, transisi ke ISL (2008-2010) dan kemudian ke IPL (2011) justru menciptakan kebingungan merek yang signifikan, diperparah dengan dualisme kompetisi yang merusak kredibilitas merek secara keseluruhan.

Dampak Ekonomi dan Psikologis Perubahan Merek

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan merek dapat secara fundamental merusak tradisi, popularitas, dan bahkan ekonomi sebuah tim. “Jika asosiasi merek tersebut dievaluasi secara positif, maka diharapkan konsumen akan mengembangkan sikap positif terhadap liga. Konsumen yang menunjukkan keterhubungan psikologis yang kuat, telah dikaitkan dengan peningkatan perilaku konsumsi,” tambah Kunkel.

Di Indonesia, setiap pergantian nama tidak hanya berdampak pada persepsi domestik, tetapi juga pada pengakuan internasional. Sanksi FIFA pada tahun 2015 yang memicu lahirnya Indonesia Soccer Championship (ISC) pada tahun 2016 adalah bukti nyata betapa rapuhnya *brand equity* ketika tidak ditopang oleh stabilitas kelembagaan. Meskipun era Liga 1 (2017-2025) merupakan periode terpanjang kedua dalam sejarah liga dengan durasi tujuh musim—yang idealnya cukup untuk membangun *brand equity*—keputusan untuk kembali mengubah nama menjadi Super League pada tahun 2025 kembali menunjukkan pola yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip *brand building* yang efektif.

Perbandingan dengan Liga Dunia dan Rekomendasi Strategis

Sebagai perbandingan, liga-liga sepak bola sukses di dunia seperti Premier League Inggris telah secara konsisten mempertahankan nama mereka selama beberapa dekade. Konsistensi *branding* jangka panjang inilah yang berhasil membangun *brand equity* kuat, mencerminkan statusnya sebagai kompetisi tertinggi dan dampaknya yang masif terhadap kehidupan masyarakat.

Namun, Kunkel juga menyoroti perubahan yang digagas oleh Amerika Serikat dan Australia. Kedua kompetisi ini membuat terobosan besar setelah melakukan *rebranding* yang cerdas, berhasil mendatangkan pemain kelas dunia ke negara mereka. “Kampanye *rebranding* telah diamati dalam Major League Soccer (MLS) di Amerika Utara, dan Australian Football League (AFL). Contohnya, adalah aturan *designated player* (MLS)… yang memungkinkan klub untuk merekrut pemain bintang seperti David Beckham (MLS) dan Alessandro Del Piero (A-League),” pungkasnya. Ini menunjukkan bahwa *rebranding* bisa berhasil jika disertai strategi nilai tambah yang konkret, bukan sekadar perubahan nama.

Berdasarkan penelitian *brand equity* dalam industri olahraga, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang jauh lebih strategis dalam pengelolaan merek liganya. Reputasi tim olahraga sebagai sumber strategis *brand equity*—melalui kepuasan hubungan konsumen, kepuasan hidup, dan komitmen—menggarisbawahi pentingnya membangun kepercayaan jangka panjang, bukan melakukan *rebranding* secara frequent.

Nama “Super League” memiliki potensi untuk bertahan dan berkembang jika didukung dengan strategi *brand building* yang konsisten, inovatif, dan berkelanjutan. Namun, rekam jejak perubahan nama yang sering kali terjadi menunjukkan perlunya komitmen institusional yang lebih kuat untuk mempertahankan identitas merek dalam jangka panjang. Dari perspektif ini, perubahan nama liga sepak bola Indonesia bukanlah semata-mata masalah administratif, melainkan representasi dari tantangan struktural yang mendasar dalam upaya membangun *brand equity* yang berkelanjutan di industri olahraga nasional.

Berita Terkait

Bill Gates Ungkap Profesi Teknologi Anti-AI: Aman dari Robot!
Trump & Netanyahu di Gedung Putih: 5 Kesepakatan Mengejutkan
Bea Cukai Bentuk Satgas Penindakan Barang Ilegal
Seberapa siap sistem peringatan dini pemerintah bekerja saat banjir terjang Jakarta?
Egy Maulana Vikri Belajar dari Port FC: Dewa United Berbenah!
Gibran Ditunjuk Urus Papua: Reaksi Santai, Bukan Hal Baru?
Mantan Juara UFC: Islam Makhachev, Naik Kelas Jadi Bencana?
6 Shio Kaya Mendadak! Peluang Investasi Saham Emas Menanti

Berita Terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 15:11 WIB

Bill Gates Ungkap Profesi Teknologi Anti-AI: Aman dari Robot!

Kamis, 10 Juli 2025 - 15:03 WIB

Trump & Netanyahu di Gedung Putih: 5 Kesepakatan Mengejutkan

Kamis, 10 Juli 2025 - 12:43 WIB

Bea Cukai Bentuk Satgas Penindakan Barang Ilegal

Kamis, 10 Juli 2025 - 11:40 WIB

Seberapa siap sistem peringatan dini pemerintah bekerja saat banjir terjang Jakarta?

Kamis, 10 Juli 2025 - 08:45 WIB

Egy Maulana Vikri Belajar dari Port FC: Dewa United Berbenah!

Berita Terbaru

Finance

IHSG Naik Tipis Kamis, Cek Proyeksi Saham Jumat!

Kamis, 10 Jul 2025 - 20:32 WIB

Food And Drink

Rahasia Nasi Pulen Hokben Terungkap! Tips Mudah di Rumah

Kamis, 10 Jul 2025 - 20:25 WIB

Food And Drink

Basque Burnt Cheesecake Lumer: Resep Mudah, Enak, Anti Gagal!

Kamis, 10 Jul 2025 - 19:57 WIB

Food And Drink

Rahasia Awet! 5 Cara Menyimpan Duku Segar Lebih Lama

Kamis, 10 Jul 2025 - 19:32 WIB