Kasus COVID-19 di Indonesia: Menurun atau Tersembunyi?
Kenaikan kasus COVID-19 di sejumlah negara Asia, termasuk Thailand, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, telah memicu kewaspadaan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia, meskipun angka kasus di dalam negeri dilaporkan menurun. Namun, pertanyaan besar muncul: akurasi data kasus COVID-19 di Indonesia di tengah pelonggaran pengawasan pasca-pandemi?
Data Kemenkes menunjukkan tren penurunan kasus konfirmasi positif COVID-19 setiap minggunya, bahkan mencapai rasio positif 0,59% pada awal Mei. Laporan mingguan menunjukkan hanya tiga kasus konfirmasi pada minggu ke-20, turun drastis dari 28 kasus pada minggu sebelumnya. Kemenkes menyebut jumlah kasus “sangat sedikit” dan cenderung fluktuatif. Laporan ini diperkuat observasi lapangan di beberapa rumah sakit di Medan dan Jakarta, yang menunjukkan minimnya pasien COVID-19. RSUP H. Adam Malik di Medan, misalnya, terakhir merawat pasien COVID-19 pada Juli 2023. Di Jakarta, data Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat hanya 38 kasus antara Januari hingga Mei 2025.
Namun, para ahli epidemiologi menyangsikan keakuratan data ini. Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) mempertanyakan kredibilitas angka penurunan kasus, mengingat sistem pengawasan COVID-19 saat ini tidak seketat masa pandemi. Sistem yang dulu mencakup tes massal dan ditanggung pemerintah, kini telah berubah, sehingga laporan kasus dinilai tidak konsisten dengan tren global. Pelonggaran pengawasan ini membuat data yang ada tidak mampu merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan. Banyak rumah sakit, termasuk RSUP H. Adam Malik, sudah tidak lagi menyediakan layanan tes COVID-19 seperti rapid test dan PCR. Masyarakat pun cenderung hanya melakukan tes jika gejala sangat berat, sehingga banyak kasus ringan yang mungkin tidak terdeteksi.
Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya fasilitas kesehatan sentinel yang secara rutin melakukan tes COVID-19. Data WHO mencatat hanya 74 lokasi di seluruh Indonesia pada 2024, meningkat dari 46 pada 2023. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengungkapkan kekhawatiran akan varian baru yang mungkin masuk dan tidak terdeteksi akibat terbatasnya fasilitas tes. Ia menekankan tingginya mobilitas penduduk Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara yang mengalami peningkatan kasus, meningkatkan risiko penyebaran varian baru.
Olivia Herlinda dari CISDI turut menyoroti kelemahan sistem surveilans Indonesia, termasuk sistem pelaporan yang masih banyak berbasis kertas dan tidak real-time, integrasi yang lemah antara sistem kesehatan publik dan swasta, serta sistem informasi terpisah yang menyebabkan ketidaksesuaian data. Lebih jauh, Olivia juga menyoroti menurunnya kesadaran publik dan akses terhadap vaksinasi, serta minimnya informasi publik terkait COVID-19.
Varian COVID-19 yang dominan di negara-negara Asia seperti Thailand (XEC dan JN.1), Singapura (LF.7 dan NB.1.8), Malaysia (XEC), dan Hong Kong (JN.1) sebagian besar merupakan turunan Omicron. Di Indonesia, varian MB.1.1 yang juga merupakan turunan Omicron, menjadi varian dominan. Meski varian Omicron cenderung menyebabkan gejala ringan, kelompok rentan tetap perlu waspada. Epidemiolog Dicky Budiman mengingatkan akan bahaya long COVID akibat infeksi berulang.
Meskipun Kemenkes menyatakan telah melakukan langkah antisipatif, seperti mengaktifkan kembali thermal scanner di bandara dan fitur Satu Sehat Health Pass, para ahli menekankan pentingnya data yang akurat dan sistem pengawasan yang lebih kuat untuk menghadapi potensi lonjakan kasus. Mereka juga menyoroti perlunya meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya protokol kesehatan, bukan hanya untuk mencegah COVID-19, tetapi juga penyakit menular lainnya seperti TBC. Penggunaan masker di tempat umum, misalnya, tetap relevan. Kesimpulannya, meski angka kasus COVID-19 di Indonesia terlihat menurun, ketidakpastian data akibat kelemahan sistem pengawasan menimbulkan pertanyaan besar tentang kondisi sebenarnya dan perlunya peningkatan kewaspadaan.