Paris Saint-Germain (PSG) menorehkan sejarah: Juara Liga Champions 2025, simbol kekuatan lunak Qatar
Kemenangan telak 5-0 atas Inter Milan di final Liga Champions 2024/2025 di Allianz Arena, Munich, Sabtu (31/5/2025), bukan hanya sekadar prestasi gemilang bagi Paris Saint-Germain (PSG). Gelar juara ini menandai tonggak sejarah bagi sepak bola Prancis, sekaligus menjadi bukti nyata strategi kekuatan lunak Qatar dalam kancah internasional. Setelah 32 tahun, PSG menjadi klub Prancis pertama yang mengangkat trofi Liga Champions sejak Olympique Marseille pada 1993.
Keberhasilan ini tak lepas dari investasi besar Qatar Sports Investment (QSI) yang mengakuisisi 70 persen saham PSG pada 2011, senilai 50 juta euro (sekitar Rp 923 miliar saat itu). Langkah ini diambil tak lama setelah pertemuan penting di Istana Élysée, Paris, pada November 2010, antara Presiden Nicolas Sarkozy, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani (Emir Qatar), dan Hamad bin Jassim bin Jaber Al Thani (mantan Perdana Menteri Qatar), serta Presiden UEFA Michel Platini. Pertemuan tersebut turut memberikan dukungan Qatar dalam perolehan hak tuan rumah Piala Dunia 2022.
Investasi QSI menjadi penentu kebangkitan PSG. Dari klub yang dilanda krisis finansial dan prestasi, PSG menjelma menjadi raksasa Ligue 1, mengoleksi 11 gelar dari 13 musim terakhir. Valuasi klub pun meroket hingga 4,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 71,7 triliun) menurut Forbes, menjadikannya salah satu klub sepak bola termahal di dunia. Presiden PSG, Nasser Al-Khelaifi, tokoh kunci dari Qatar, akhirnya mewujudkan ambisi besarnya: gelar Liga Champions.
Namun, bagi Qatar, kepemilikan PSG melampaui ambisi semata di dunia olahraga. Seperti yang diungkapkan Sheikh Nasser kepada The New York Times, tujuannya adalah membangun sebuah merek global. Hal ini tercermin dalam pembangunan fasilitas pelatihan senilai 350 juta euro (sekitar Rp 6,4 triliun) dan upaya perluasan basis penggemar di seluruh dunia.
Analis keamanan internasional, Dr. David Roberts dari King’s College London, melihat investasi Qatar di PSG sebagai bagian dari strategi geopolitik. Qatar, menurutnya, menggunakan olahraga sebagai “keamanan melalui keterlihatan,” sebuah strategi untuk meningkatkan pengaruhnya di tengah lingkungan regional yang kompleks. Christopher Davidson, penulis buku *Shadow Wars*, menyebutnya sebagai kekuatan lunak (soft power). PSG menjadi alat Qatar untuk memperkuat hubungan internasional dan diversifikasi ekonomi yang sebelumnya bergantung pada sumber daya alam. Hal ini terlihat dari dukungan yang tetap diterima Qatar dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Inggris, bahkan selama menghadapi blokade diplomatik pada 2017.
Strategi Qatar ini berbeda dengan investasi negara Teluk lainnya seperti Uni Emirat Arab (UEA) di Manchester City dan Arab Saudi di Newcastle United. Qatar lebih terfokus pada peningkatan citra dan prestise merek PSG. Meskipun awalnya dikenal dengan strategi “bling-bling” – merekrut bintang-bintang besar seperti Zlatan Ibrahimovic, David Beckham, Neymar, dan Lionel Messi – PSG kini beralih ke pendekatan pembinaan pemain muda jangka panjang. QSI juga menegaskan komitmennya terhadap klub, menepis rumor penjualan.
Posisi Qatar di sepak bola Eropa semakin kokoh. Sheikh Nasser menjabat sebagai Ketua Asosiasi Klub Eropa (ECA), memberikan Qatar pengaruh besar dalam pengambilan keputusan strategis di Benua Biru. Meskipun pernah terjadi perselisihan dengan UEFA terkait regulasi keuangan, PSG kini berada di posisi yang kuat. “Ini diplomasi melalui olahraga,” ujar seorang sumber anonim yang bekerja sama dengan PSG, merangkum tujuan utama Qatar.
Gelar Liga Champions PSG tahun 2025 lebih dari sekadar prestasi olahraga; ini adalah simbol keberhasilan Qatar dalam membangun pengaruh global melalui strategi kekuatan lunak dan diplomasi olahraga yang terencana dan terukur. Kemenangan ini mengukuhkan posisi Qatar sebagai pemain kunci dalam peta politik dan ekonomi global.