Tragedi Abral Wandikbo: Kematian di Tanah Papua yang Membuka Luka Lama
Kematian Abral Wandikbo, seorang pemuda asli Papua berusia 27 tahun dari Kampung Waredobopem, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, telah mengguncang daerah tersebut. Ditemukan tewas dengan kondisi tubuh yang mengenaskan—terpotong dan mengalami mutilisasi—kematiannya menimbulkan kecurigaan kuat bahwa ia menjadi korban pembunuhan oleh aparat TNI. Tuduhan ini dibantah keras oleh pihak TNI, yang memberikan penjelasan yang berbeda tentang kronologi kejadian. Namun, bagi keluarga dan penduduk setempat, kebenaran masih tersembunyi di balik tabir misteri dan kekerasan ini.
Insiden ini terjadi dalam konteks operasi militer yang meningkat di Distrik Mebarok, yang dimulai setelah pembebasan pilot Selandia Baru, Philip Mehrtens, dari penyanderaan TPNPB. Kedatangan puluhan prajurit TNI ke lapangan terbang Kampung Yuguru pada pertengahan Januari lalu telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan di hati warga. Kepala Distrik Mebarok, Nus Gwijangge, berupaya meredam kecemasan ini dengan membuat kesepakatan dengan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Letjen Bambang Trisnohadi, pada awal Februari. Kesepakatan ini membatasi aktivitas militer hingga Kali Merame dan Kali Waru. Namun, kesepakatan tersebut diduga dilanggar.
Pada 22 Maret, sekitar pukul 05.00 pagi, puluhan tentara memasuki Kampung Waredobopem dan mengepung honai tempat Abral tinggal bersama ayah dan kakaknya. Abral kemudian dibawa ke pos militer. Tiga hari kemudian, pada 25 Maret, jasadnya ditemukan di sebuah kebun di Kampung Kwit dalam kondisi mengenaskan: kedua telinga, hidung, dan mulutnya terpotong; dahinya terkelupas; dan kakinya melepuh. Foto-foto yang beredar memperlihatkan secara mengerikan kondisi tubuh Abral yang tersiksa. Kesaksian keluarga dan kerabat menggambarkan kepedihan mendalam atas kematian Abral yang tragis. Mereka menuntut keadilan dan meminta agar pelaku diproses secara hukum.
Pihak TNI membantah tuduhan tersebut. Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, mengklaim Abral tewas karena “melompat ke arah jurang” saat mencoba melarikan diri setelah melakukan penunjukan jalan kepada pasukan TNI ke lokasi yang diduga menyimpan senjata api. Penjelasan ini bertentangan dengan kesaksian warga dan kondisi jenazah Abral yang ditemukan di sebuah kebun, bukan jurang. Lebih jauh lagi, TNI menuding Abral sebagai anggota TPNPB, berdasarkan dua foto yang menurut mereka menunjukkan Abral memegang senjata dan memegang poster penolakan pos militer.
Namun, keluarga dan penduduk setempat membantah keras tuduhan tersebut. Abral digambarkan sebagai pemuda sederhana yang tak pernah meninggalkan kampung halamannya, tak pernah bersekolah, dan hanya bekerja sebagai petani. Ia bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia. Kepala Distrik Nus Gwijangge menegaskan Abral adalah saudara sendiri dan memastikan Abral tidak terlibat dalam aktivitas TPNPB. Kesaksian warga lain, termasuk Yordan dari Kampung Yuguru, mendukung keterangan ini. Mereka menggambarkan Abral sebagai orang yang pendiam dan tak pernah terlibat dalam konflik.
Ketidakmampuan Abral berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, dan pengakuan kakak Abral, Yulem Wandikbo—yang menerjemahkan ancaman tentara kepada Abral—menunjukkan adanya dugaan penyiksaan sebelum kematiannya. Bahkan, ditemukannya gelang bintang kejora di pergelangan tangan Abral, yang tidak pernah ia kenakan sebelumnya, semakin memperkuat kecurigaan tersebut.
Kasus kematian Abral telah dilaporkan ke Pusat Polisi Militer, Komnas HAM, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban oleh keluarga dan sejumlah lembaga advokasi. Ronald Rischard dari PGI mengecam tindakan militer yang terkesan prematur dan didasarkan hanya pada foto yang tidak jelas sebagai bukti keterlibatan Abral dalam kelompok separatis. Ia menekankan adanya pola stigmatisasi dan rasisme dalam kasus-kasus serupa di Papua.
Situasi di Distrik Mebarok, pasca-insiden ini, menjadi mencekam. Warga mengungsi ke hutan, Wamena, dan Lanny Jaya. Kepala Distrik Nus Gwijangge telah memohon kepada pihak TNI untuk menghentikan pengejaran warga sipil dan fokus pada penangkapan Egianus Kogoya dan anggota TPNPB. Penerbangan perintis ke Yuguru juga masih dihentikan, mengakibatkan isolasi dan keterbatasan akses bagi warga.
Kematian Abral Wandikbo bukan hanya tragedi pribadi, namun juga menjadi cerminan dari konflik berkepanjangan di Papua dan mempertanyakan akuntabilitas aparat keamanan dalam penegakan hukum. Aksi demonstrasi damai sempat dilakukan penduduk di lapangan terbang Yuguru untuk menuntut pembebasan Abral sebelum jenazahnya ditemukan, namun tidak membuahkan hasil. Nasib kasus ini dan bagaimana keadilan akan ditegakkan, masih menjadi tanda tanya besar yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak.