Mengapa perlu waktu berhari-hari mengevakuasi WNA Brasil di Gunung Rinjani?

Avatar photo

- Penulis Berita

Kamis, 26 Juni 2025 - 08:40 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Akun Instragam Badan SAR Nasional (Basarnas) hingga Presiden Prabowo Subianto dipenuhi komentar dari warganet Brasil yang mengritik lambatnya proses evakuasi Juliana Marins, yang tewas setelah terperosok ketika mendaki Gunung Rinjani pada Sabtu (21/06) lalu.

Beberapa kritikan itu, antara lain: “Mengapa proses evakuasi Juliana berlangsung lambat?”

“Kenapa helikopter lama dikerahkan?” hingga pernyataan yang menyebut “Juliana meninggal bukan karena jatuh, tapi karena dibiarkan terlalu lama”.

Setelah jenazah Juliana ditemukan dan dievakuasi, pihak keluarga menyatakan akan mencari keadilan.

“Juliana mengalami kelalaian yang sangat besar dari tim penyelamat. Jika tim penyelamat berhasil menyelamatkannya dalam waktu yang diperkirakan tujuh jam, Juliana pasti masih hidup,” tulis akun Instagram @resgatejulianamarins yang mengklaim mewakili pihak keluarga.

“Juliana pantas mendapatkan yang lebih! Sekarang kami akan mencari keadilan untuknya, karena memang itulah yang pantas ia dapatkan!”, imbuh akun tersebut.

Berangkat dari rangkaian kritikan itu, BBC News Indonesia mewawancarai pendaki senior, kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, dan Badan SAR Nasional, untuk melihat proses evakuasi hingga tingkat kesulitan pendakian dari Gunung Rinjani.

Mengapa proses evakuasi berhari-hari?

Juliana jatuh ke jurang sedalam ratusan meter, ke arah Danau Segara Anak, di Kawasan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sekitar pukul 06.30 Wita, Sabtu (21/06).

Lokasi tepatnya di titik Cemara Nunggal, jalur yang diapit jurang menuju puncak Rinjani.

Walaupun terjatuh, otoritas terkait menyebut bahwa Juliana dilaporkan masih hidup pada Sabtu itu. Hal ini selaras dengan rekaman drone dan klip lain yang direkam oleh sejumlah pendaki—yang telah beredar online dan disiarkan oleh media Brasil.

Tiga hari kemudian, pada Selasa (24/06), tim penyelamat mampu mendekati Juliana dan menyatakan korban telah meninggal dunia, untuk kemudian dievakuasi keesokan harinya.

Adanya rentang waktu itu menjadi kritikan warganet: mengapa perlu waktu berhari-hari untuk mengevakuasi Juliana?

BBC News Indonesia menanyakan hal itu ke tiga sosok:

Ang Asep Sherp, pendaki berpengalaman serta anggota Wanadri—organisasi pecinta alam tertua di Indonesia.

Galih Donikara, pendaki senior yang telah berkecimpung di dunia pendakian selama puluhan tahun.

Mustaal, penyelenggara pendakian Rinjani yang telah mengenal Gunung Rinjani sejak tahun 2000.

Pertama, mereka melihat perlengkapan penyelamatan darurat begitu terbatas.

“Kasusnya sama, jatuh ke jurang. Itu sudah berkali-kali. Artinya kita perlu alat-alat mountaineering yang lengkap, tersedia di titik rawan, dan bisa menembus medan serta cuaca apapun. Kalau kita ambil alat dulu ke bawah itu memakan waktu,” kata pendaki senior, Ang Asep Sherpa.

Asep mencontohkan Gunung Kinabalu, Malaysia, yang di setiap posnya terdapat alat keselamatan yang bisa digunakan oleh para pendaki jika dalam keadaan bahaya.

“Seperti alat pemadam api yang ada di tiap gedung, begitu juga alat penyelamatan di gunung”.

Baca juga:

  • Evakuasi pendaki asal Brasil di Gunung Rinjani telah dituntaskan – Apa yang sejauh ini diketahui?
  • Dua perempuan meninggal dalam pendakian Carstensz – Kenangan terakhir rekan-rekan, kronologi, hingga kesaksian penyanyi Fiersa Besari
  • Pelajaran pahit dari erupsi Gunung Marapi: Letusan ‘tiba-tiba’ dan prosedur keselamatan ‘diabaikan’

Senada, Mustaal juga melihat pentingnya kelengkapan dan ketersediaan alat-alat penyelamatan di titik-titik rawan pendakian.

“Kami apresiasi semua tim yang di lapangan, dengan segala keterbatasan mereka berusaha untuk menyelamatkan korban. Namun, ternyata talinya kurang panjang, dan ambil alatnya dari bawah, bahkan ada yang dibawa dari Mataram,” katanya.

Hal itu, katanya, membuat proses evakuasi jadi memakan waktu. “Jadi kelengkapan alat itu akan membuat tidak ada kendala di lapangan untuk rescue tamu, supaya lebih cepat, dan bisa kita rescue tamu dalam keadaan hidup. Apalagi kejadian ini bukan yang pertama kali,” ujarnya.

Kedua, cuaca. Mustaal menyebut kondisi cuaca di Gunung Rinjani sering kali menyulitkan pendakian.

Hal senada diutarakan Galih Donikara. Namun, menurutnya, kalaupun cuaca buruk harus ada sejumlah rencana aksi yang ditempuh jika terjadi insiden.

Ketiga, kesiapan dan keberadaan para penyelamat di tiap pos aman pendakian— khususnya ketika musim pendakian yang ramai.

“Penting adanya ketersediaan tim rescue yang sudah terkoordinasi dengan baik, yang juga mestinya berjaga di sekitar lokasi-lokasi yang berpotensi bahaya, dengan membangun pos penyelamatan. Nah, kalau itu sudah dipenuhi, saya kira keterlambatan akan menjadi tertangani,” kata Galih Donikara.

“Jadi, jika alat siap dan personel siap, cuaca dan medan apapun, rasanya ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan penyelamatan.”

Apa jawaban pemerintah?

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Yarman Wasur mengatakan proses evakuasi telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan membantah anggapan yang menyebut proses itu berjalan lambat.

“Kita langsung membentuk tim. Dalam proses membentuk tim, menyiapkan peralatan dan lainnya memakan waktu. Ini betul-betul harus tim yang profesional karena menyangkut keselamatan juga tim evakuasi juga.”

Yarman mengatakan, terdapat puluhan penyelamat yang dikerahkan untuk evakuasi. Jumlahnya mencapai sekitar 50 orang pada Selasa (25/06).

Dia menjelaskan cuaca dan topografi yang ekstrem di lokasi menjadi kendala terbesar dalam melakukan evakuasi.

“Rinjani ini merupakan lokasi yang ekstrem, topografi yang ekstrem, dan cuaca di sini sangat berubah setiap saat. Ini yang menghambat tim evakuasi tidak maksimal,” kata Yarman.

Senada, Basarnas dalam beberapa kesempatan juga menyatakan bahwa proses evakuasi terkendala oleh faktor cuaca, suhu, dan lokasi yang ekstrem.

Selain itu, BBC News Indonesia juga menyampaikan kritik lain dari warganet, yaitu “jika Julian dievakuasi dengan cepat, nyawanya bisa selamat.”

Yarman menjelaskan, dari informasi awal yang didapat, korban jatuh ke jurang sedalam sekitar 200 meter.

Namun, saat tim ke lokasi dan menerbangkan drone, korban sudah tidak terlihat lagi di titik yang diperkirakan di awal.

“Setelah tim kami mengecek ke lapangan, ternyata tidak ada lagi di tempat situ, berpindah, jatuh begitu,” katanya.

Hal itu, kata Yarman, membuat tim penyelamat sempat kehilangan jejak korban. “Sampai tim kami bermalam mencari sampai malam itu. Hilang di situ.”

Ditambah lagi, katanya, kondisi cuaca yang tak menentu dan topografi yang ekstrem membuat proses evakuasi menjadi berhari-hari.

Mengapa helikopter tak kunjung dikerahkan?

Pertanyaan lain dari warganet: “Mengapa tidak segera dikerahkan helikopter untuk melakukan penyelamatan?”

Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, mengatakan telah menyiapkan beberapa helikopter untuk melakukan evakuasi.

Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena pengaruh cuaca yang menyulitkan pergerakan, lokasi mendarat, dan faktor lainnya.

Bahkan, Basarnas telah mengerahkan helikopter khusus dari Bandar Udara Atang Senjaya Bogor yang memiliki hoisting, yaitu metode menurunkan tali penyelamat dari udara.

Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, menjelaskan hambatan dalam mengerahkan helikopter AW139 dan AS365 yang dioperasikan Basarnas untuk melakukan evakuasi Juliana.

Menurutnya, hal itu karena korban jatuh di lereng yang memiliki ketinggian 9.400 kaki. Padahal, kemampuan kedua helikopter itu untuk melayang di atas tanah (Hover Out of Ground Effect-OGE) adalah 8.130 kaki dan 3.740 kaki di atas permukaan laut.

“Jadi disini bisa kelihatan, heli Basarnas tidak akan bisa melakukan hoisting rescue korban, mau cuacanya bagus sekalipun,” kata Gerry.

Mengapa kecelakaan berulang kali terjadi?

Kecelakaan seperti yang menimpa Juliana bukan kali pertama terjadi. Dalam setahun terakhir, tercatat setidaknya ada dua kejadian lain. Bahkan seorang di antaranya, yaitu warga negara Malaysia, meninggal dunia.

Minimnya akses pengamanan bagi para pendaki di Rinjani menjadi sorotan warganet.

Pegiat alam senior, Galih Donikara, memandang perlu dilakukannya perbaikan akses-akses keselamatan bagi para pendaki di Rinjani, khususnya di titik-titik yang rawan.

“Kalau misalnya itu jurang membahayakan, mestinya ada pagar, tali, atau pembatas lain di antara jurang yang kokoh bagi pendaki,” kata Galih.

Selain itu, kata Galih, perlu ada peringatan di jalur-jalur yang berbahaya oleh petugas yang berjaga. Sehingga petugas tidak hanya ada di tempat registrasi tapi juga di setiap pos pemberhentian.

“Dan perlu dibuat buku panduan bersama tentang SOP emergency rescue procedure yang sesuai potensi kecelakaan di masing-masing tempat. Kita semua duduk bersama, buat simulasi bersama, melatih guide lokal dan penyelamat lokal maka hal-hal ini bisa diminiamlisi,” katanya.

Senada, pendaki senior, Ang Asep Sherpa, memandang pengamanan hingga panduan itu penting karena kerap kali para pendaki, khususnya pemula, abai terhadap keselamatan dengan mengesampingkan persiapan fisik hingga peralatan.

“Karena yang mereka lihat dari media sosial keindahannya saja, tanpa mencari tahu persiapannya. Dan, sekarang orang pendaki, asal punya duit, cuma tenteng air minum, merasa bisa mendaki. Hal itu yang membuat banyak celaka,” ujarnya.

Terkait itu, Kepala Balai TNGR, Yarman Wasur, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan rangkaian pengamanan, seperti pemasangan tali pengamanan, dan tangga di beberapa lokasi rawan.

“Kita tidak tahu ternyata kecelakaan bisa terjadi di situ. Kalau kita bertanya ke teman-teman [guide dan pendaki], sebenarnya aman di situ. Secara fisik di lokasi itu sebenarnya aman, karena ada gundukan dan lainnya,” kata Yarman.

Selain itu, pihaknya juga telah memasang sekitar delapan kamera pengawas (CCTV) dan membentuk prosedur operasi standar (SOP).

Balai Taman Nasional Gunun Rinjani telah mengeluarkan aturan terbaru SOP revisi keempat pada 24 Maret 2025 lalu, yang mengatur tentang pendaki, trekking organizer, guide, porter, hingga pemesanan tiket.

“Salah satu SOP dalam Gunung Rinjani itu adalah enam orang pendaki luar menggunakan satu guide dan dua porter. Dan itu sudah dilakukan. Ini artinya human error, kami sudah melakukan segala antisipasi,” katanya.

Yarman juga berkata pihaknya telah menyediakan dua pos darurat di Pos Plawangan 1 dan dekat danau.

Walaupun demikian, katanya, pihaknya akan melakukan evaluasi secara total usai kejadian itu, mulai dari penambahan sarana prasarana keselamatan hingga peningkatan para petugas di titik-titik rawan.

Seberapa sulit medan pendakian Gunung Rinjani, cocok untuk pendaki pemula?

Penyelenggaran pendakian Rinjani, Mustaal, mengatakan Gunung Rinjani memiliki tingkat pendakian yang sulit, terutama jalur menuju puncak yang dikenal dengan Letter E.

Jalur ini memiliki lebar beberapa meter dengan kontur menanjak yang berpasir dan bebatuan, sering kali disertai hembusan angin kencang hingga badai.

“Trek ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi bagi pendaki,” kata Mustaal yang mengelola jasa pendakian.

Mustaal mengakui bahwa lokasi jatuhnya Juliana berada di medan yang sangat sulit ini. “Di kiri itu curam 45 derajat dan yang jurang langsung ke bawah, apalagi kalau sore kabutnya gelap sekali.”

Selain pengaruh alam yang sulit, katanya, kecelakaan di jalur ini kerap terjadi karena para pendaki mengalami kelelahan atau mengambil gambar yang membuat mereka menjadi tidak fokus.

Mustaal yang telah berkecimpung di pendakian Rinjani sejak tahun 2000 mengatakan, jalur selanjutnya adalah dari Puncak Rinjani menuju Danau Segara Anak yang menurun.

“Saya pernah bawa tamu dari Australia. Ketika dia turun ke danau, kurang konsentrasi. Jadi dia menendang kakinya sendiri dan terjatuh. Namun dia selamat karena tidak begitu dalam jatuhnya. Itu contoh kecil,” katanya.

Walaupun memiliki jalur yang ekstrem, Mustaal mengakui memang tidak ada larangan bagi pendaki pemula untuk menuju puncak Rinjani.

Dia mengatakan setiap orang dapat mendaki Gunung Rinjani, namun harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan, seperti didampingi oleh pemandu lokal (guide) dan pramuantar (porter), serta dipantau kondisi fisik yang prima.

Pendaki senior Ang Asep Sherpa pun menilai Gunung Rinjani memiliki jalur pendakian yang cukup sulit, khususnya saat menuju puncak.

“Mendekati puncak itu medan berpasir gitu. Kita naik dua langkah, turun satu langkah, makanya butuh fisik dan ketahanan yang kuat. Ditambah lagi angin kencang dan kiri-kanan langsung jurang. Salah sedikit pasti masalah,” katanya.

Namun, menurutnya, jika pendaki memiliki ketahanan fisik yang kuat dan mengikuti jalur pendakian, “sebenarnya akan aman-aman saja.”

“Kalau buat pendaki pemula, aku pikir dia harus persiapan matang. Harus punya kemampuan fisik yang bagus dan perlengkapan yang memadai. Tidak bisa Gunung Rinjani saya tektok atau apa.”

Bagaimana perkembangan proses evakuasi?

Dilansir dari akun Instagram BTN Gunung Rinjani, dijelaskan bahwa pada pukul 14:32 Wita, Sabtu (21/06), tim pendahulu telah tiba di lokasi kejadian dan mulai memasang tali.

Namun, korban yang semakin terperosok dan keterbatasan panjang tali, membuat tim yang telah turun hingga 300 meter tak mampu menjangkau korban.

Keesokan harinya, Minggu (22/06), tim melakukan upaya penyambungan tali dan penggunaan drone thermal. Hasilnya, korban tidak lagi berada di titik sebelumnya.

“Upaya lanjutan terganggu oleh kabut tebal dan cuaca basah, sehingga drone thermal belum dapat digunakan maksimal.”

Proses evakuasi kembali dilakukan sejak Senin (23/06) pagi. Hasilnya, terpantau korban tersangkut di tebing batu pada kedalaman kurang lebih 500 meter.

“Dua personel rescue diturunkan untuk menjangkau lokasi korban dan mengecek titik pembuatan anchor kedua di kedalaman ±350 meter. Namun, setelah observasi, ditemukan dua overhang besar sebelum bisa menjangkau korban membuat pemasangan anchor tidak memungkinkan. Tim rescue harus melakukan climbing untuk bisa menjangkau korban.”

“Evakuasi ini menghadapi medan ekstrem dan cuaca dinamis, kondisi kabut tebal mempersempit pandangan dan meningkatkan risiko. Demi keselamatan, tim rescue ditarik kembali ke posisi aman.”

Keesokan harinya, Selasa (24/06) sore, tubuh Julian akhirnya dijangkau oleh para tim evakuasi di kedalaman 600 meter, lalu “dilakukan pemeriksaan korban dan tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan,” menurut keterangan Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii.

Juliana baru bisa dievakuasi pada Rabu (25/06) sekitar pukul 13:50 Wita, dengan metode diangkat menggunakan tali.

Setelah itu, jenazah dibawa dan tiba di Resort Sembalun pada pukul 20:40 Wita, untuk selanjutnya dibawa ke RS Bhayangkara Polda NTB.

  • Kisah pendaki Rinjani saat gempa di Lombok: “Saya melihat mayat, sekarang tak berani naik gunung”
  • Pelajaran pahit dari erupsi Gunung Marapi: Letusan ‘tiba-tiba’ dan prosedur keselamatan ‘diabaikan’
  • Penantian seorang ibu di kaki Gunung Marapi

Berita Terkait

1 Suro: Misteri Pantai Selatan Yogyakarta & Ancamannya
Jenazah Juliana Pendaki Rinjani Asal Brazil Diautopsi Hari Ini
Korban-korban Pendakian Gunung Rinjani, Terakhir Juliana Asal Brasil
Alasan Evakuasi Pendaki Gunung Rinjani Tidak Bisa Langsung Pakai Helikopter
Pendaki Brasil yang Meninggal di Rinjani Akan Dibawa ke Bali untuk Dipulangkan ke Negara Asal
Tewasnya Pendaki saat Naik Gunung, Menpar: Keselamatan, Keamanan Prioritas Utama Pengembangan Wisata
Pendaki Brasil Jatuh di Rinjani, Seperti Apa Standar Keamanan Pariwisata di Indonesia?
Polisi Selidiki Kematian Pendaki Brazil di Gunung Rinjani

Berita Terkait

Kamis, 26 Juni 2025 - 13:03 WIB

1 Suro: Misteri Pantai Selatan Yogyakarta & Ancamannya

Kamis, 26 Juni 2025 - 12:36 WIB

Jenazah Juliana Pendaki Rinjani Asal Brazil Diautopsi Hari Ini

Kamis, 26 Juni 2025 - 09:10 WIB

Korban-korban Pendakian Gunung Rinjani, Terakhir Juliana Asal Brasil

Kamis, 26 Juni 2025 - 08:40 WIB

Mengapa perlu waktu berhari-hari mengevakuasi WNA Brasil di Gunung Rinjani?

Kamis, 26 Juni 2025 - 08:00 WIB

Alasan Evakuasi Pendaki Gunung Rinjani Tidak Bisa Langsung Pakai Helikopter

Berita Terbaru