Berikut adalah artikel berita yang telah ditingkatkan:
*
Presiden Prabowo Hadiri Bastille Day di Paris: Menguak Sejarah Revolusi Prancis dan Makna Kebebasan
Jakarta, Prancis** – Presiden Prabowo Subianto tiba di Paris, Prancis, pada Minggu, 13 Juli 2025, untuk menghadiri perayaan Bastille Day sebagai tamu kehormatan. Kehadiran beliau menandai pentingnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Prancis, sekaligus memberi sorotan pada salah satu momen paling bersejarah bagi Republik Prancis.
Bastille Day, yang dirayakan setiap 14 Juli, merupakan Hari Nasional Prancis yang memperingati peristiwa krusial dalam sejarah Revolusi Prancis. Perayaan ini bukan sekadar seremonial, melainkan simbolik atas jatuhnya kekuasaan monarki absolut dan bangkitnya sistem demokrasi republik di Prancis. Revolusi Prancis sendiri telah mengukir jejak mendalam dalam memperkenalkan nilai-nilai universal seperti kebebasan (Liberté), kesetaraan (Égalité), dan persaudaraan (Fraternité), serta memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan demokrasi global.
Salah satu puncak perayaan Bastille Day adalah parade militer prestisius yang megah di sepanjang Champs-Élysées. Parade yang telah berlangsung sejak 1880 ini merupakan salah satu yang tertua dan terbesar di Eropa, dan setiap tahunnya dihadiri oleh perwakilan militer dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Selain parade, kemeriahan Bastille Day juga disemarakkan dengan pertunjukan kembang api spektakuler dan festival rakyat yang merayakan semangat nasional.
Secara historis, Bastille Day berakar dari peristiwa heroik pada 14 Juli 1789. Kala itu, rakyat Prancis yang muak menyerbu Penjara Bastille, sebuah simbol tirani kekuasaan Raja Louis XVI. Serangan ini dipicu oleh kemarahan mendalam terhadap ketimpangan sosial yang akut, pajak tinggi yang membebani rakyat miskin, serta gaya hidup mewah Ratu Marie Antoinette di tengah krisis ekonomi yang melanda. Meskipun awalnya bertujuan merebut bubuk mesiu dan senjata, serangan terhadap Bastille ini dengan cepat bertransformasi menjadi simbol perjuangan rakyat untuk membebaskan tahanan politik dan menggulingkan monarki.
Pasca penyerbuan, pemerintah revolusioner memutuskan untuk menghancurkan Bastille hingga tak tersisa, sebagai penanda berakhirnya era penindasan. Bagi rakyat Prancis, peristiwa ini menjadi lambang kebebasan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Bastille Day secara fundamental mencerminkan semangat nasional Prancis yang terangkum dalam semboyan abadi: *Liberté, Égalité, Fraternité*.
Setahun setelah penyerbuan monumental itu, rakyat Prancis merayakan kemenangan awal revolusi dalam Fête de la Fédération, sebuah pesta persatuan nasional yang penuh euforia. Namun, ketegangan antara rakyat dan kerajaan terus membara, puncaknya ditandai dengan eksekusi Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette, mengakhiri kekuasaan monarki di Prancis.
Pada tahun 1880, Prancis secara resmi menetapkan 14 Juli sebagai hari libur nasional. Penetapan ini dilakukan untuk mengenang semangat Revolusi Prancis dan makna kebebasan yang diperjuangkan rakyat dengan gigih. Kini, Bastille Day bukan hanya peringatan sejarah, tetapi juga perayaan nilai-nilai demokrasi yang terus hidup dan relevan hingga hari ini.
Tokoh-tokoh Penting di Balik Revolusi Prancis
Peristiwa penyerbuan Bastille dan Revolusi Prancis tidak lepas dari peran sejumlah tokoh berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang membentuk jalannya sejarah. Di antara mereka adalah penguasa terakhir Prancis, Raja Louis XVI, beserta istrinya, Marie Antoinette.
1. Louis XVI (Raja Terakhir Monarki Prancis)
Lahir di Versailles pada 23 Agustus 1754, Louis XVI adalah raja terakhir dari Dinasti Bourbon yang memerintah Prancis dari tahun 1774 hingga 1792, ketika monarki dihapuskan. Ia naik takhta pada usia 20 tahun setelah kakeknya, Louis XV, wafat. Louis XVI menikah pada usia 15 tahun dengan Marie Antoinette dari Austria atas alasan politik. Meskipun mencoba melakukan reformasi pajak di tengah krisis ekonomi, ia menghadapi penolakan keras dari kelompok gereja dan bangsawan. Ketidaktegasannya dalam menghadapi situasi tersebut memperparah kondisi negara, memicu kemarahan rakyat yang berujung pada Revolusi Prancis. Akhir kepemimpinannya ditandai dengan eksekusi mati menggunakan guillotine di Place de la Révolution, yang kini dikenal sebagai Place de la Concorde.
2. Marie Antoinette (Ratu Terakhir Prancis)
Marie Antoinette, ratu terakhir Prancis dan istri Louis XVI, lahir dari keluarga bangsawan Austria pada 2 November 1755, sebagai putri Kaisar Franz I dan Maria Theresa dari Habsburg. Selama menjadi ratu, ia dikenal luas karena gaya hidupnya yang sangat mewah dan boros, kontras dengan kondisi ekonomi rakyat yang memprihatinkan. Kegemarannya membeli perhiasan mahal, mengadakan pesta, dan membangun tempat tinggal pribadi bernama Petit Trianon di Istana Versailles menjadi sorotan. Sikapnya yang dianggap tak peduli terhadap penderitaan rakyat bahkan memunculkan ungkapan terkenal “biarkan mereka makan kue,” meskipun keaslian perkataan tersebut tidak pernah terbukti. Bersama Louis XVI, ia sempat mencoba melarikan diri ke Varennes, namun upaya itu gagal. Marie Antoinette kemudian dihukum mati dengan guillotine pada 16 Oktober 1793, di lokasi yang sama dengan eksekusi suaminya.
3. Bernard-René de Launay (Gubernur Penjara Bastille)
Bernard-René de Launay adalah gubernur Penjara Bastille yang menjadi salah satu pemicu utama kerusuhan pada 14 Juli 1789. Ia bertanggung jawab menjaga keamanan penjara yang saat itu dianggap simbol penindasan monarki. Ketika terjadi penyerbuan oleh rakyat, ia ditangkap, ditikam berkali-kali, lalu kepalanya dipenggal dan diarak keliling kota sebagai bentuk kemarahan dan kemenangan rakyat yang memuncak.
4. Camille Desmoulins (Jurnalis dan Tokoh Penggerak Revolusi)
Camille Desmoulins adalah seorang jurnalis berpengaruh yang memainkan peran krusial selama Revolusi Prancis. Melalui tulisan, pamflet, dan kritik tajamnya terhadap monarki, ia secara aktif mendorong penyerangan Bastille dan membangkitkan semangat revolusi di kalangan rakyat. Namun, nasibnya berakhir tragis ketika ia dituduh sebagai kontrarevolusioner oleh pemerintah revolusioner sendiri, dan dieksekusi mati pada 5 April 1794, menjadi salah satu korban dari gejolak revolusi yang ia bantu kobarkan.
***