Ragamharian.com – JAKARTA. Kebijakan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai penyelenggaraan produk asuransi kesehatan, khususnya penerapan skema co-payment, memunculkan potensi tantangan baru bagi kinerja emiten di sektor kesehatan, termasuk PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA).
Melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025, OJK mewajibkan produk asuransi kesehatan untuk menerapkan skema co-payment. Ini berarti adanya pembagian risiko antara pemegang polis dan penyedia asuransi dalam layanan rawat jalan maupun rawat inap. Detailnya, pemegang polis kini perlu menanggung maksimal 10% dari total pengajuan klaim, dengan batasan maksimal Rp 300.000 untuk layanan rawat jalan dan Rp 3.000.000 untuk layanan rawat inap. Meskipun aturan ini baru diterbitkan pada 19 Mei lalu dan akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2026, dampaknya sudah mulai diantisipasi oleh para analis.
Sabrina, seorang Analis dari Trimegah Sekuritas, mengungkapkan bahwa aturan ini diproyeksikan akan memengaruhi volume pasien MIKA. “Dari sisi volume pasien pasti akan ada dampak untuk MIKA, meski seberapa besar belum bisa dikalkulasikan,” ujar Sabrina kepada Kontan, Selasa (24/6). Ia menambahkan bahwa proporsi pemasukan MIKA saat ini masih sangat didominasi oleh pasien yang ditanggung oleh asuransi swasta, baik melalui perusahaan maupun individu, sehingga perubahan kebijakan ini patut dicermati.
Senada dengan itu, Sarkia Adelia, Analis dari Panin Sekuritas, menyoroti persoalan asuransi sebagai salah satu sumber tekanan pada arus kas MIKA. Isu keterlambatan klaim BPJS Kesehatan yang masih berlanjut, ditambah potensi defisit BPJS yang bisa mencapai Rp 20 triliun tahun ini, berpotensi membebani rasio perputaran piutang (receivable turnover) di tahun 2025, meskipun kontribusi pasien BPJS terhadap MIKA tergolong minim. Selain itu, proses klaim dari asuransi swasta yang mulai diperketat juga menciptakan potensi perlambatan arus kas dari segmen ini. Namun, Sarkia juga menekankan bahwa pasar asuransi di Indonesia sangat terfragmentasi, sehingga dampak aturan asuransi swasta tidak dapat diukur secara umum.
Meski menghadapi sejumlah tekanan, Sarkia optimis bahwa implementasi skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dan Coordinator of Benefits (CoB) dapat menahan dampak negatif yang membayangi MIKA. Kedua kebijakan ini diharapkan mampu meringankan tekanan secara bertahap, sehingga siklus konversi kas dapat tetap terkendali pada semester II-2025.
Sebagai informasi, KRIS merupakan inisiatif BPJS untuk menyamakan standar layanan rawat inap di seluruh rumah sakit. Kebijakan ini secara tidak langsung dapat mendorong pasien untuk beralih ke layanan berbayar yang lebih tinggi. Sementara itu, CoB adalah skema kolaborasi antara BPJS dan asuransi swasta yang memungkinkan pembagian beban biaya pasien. Dengan demikian, tambahan biaya pasien BPJS dapat ikut ditanggung oleh asuransi swasta, mengurangi beban finansial rumah sakit.
Melihat prospek dan strategi mitigasi yang ada, kedua analis tetap mempertahankan rekomendasi positif untuk saham MIKA. Sarkia Adelia merekomendasikan ‘beli’ (buy) untuk saham MIKA dengan target harga akhir tahun di level Rp 3.000 per saham. Senada, Sabrina juga mempertahankan rekomendasi ‘beli’ dan memasang target harga akhir tahun yang sedikit lebih tinggi, yaitu Rp 3.050 per saham.