Mencari Tiket Pesawat Murah: Petualangan Dahlan Iskan dari Beijing ke New York
Siapa yang tak ingin mendapatkan tiket pesawat termurah? Bagi Dahlan Iskan, perjalanan mencari tiket murah ini ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Kebiasaan bepergiannya yang spontan harus diubah demi efisiensi di tengah era penghematan. Perencanaan dadakan seringkali berujung pada tiket pesawat yang mahal. Pengalaman pahit pernah dialaminya; merencanakan perjalanan dua bulan sebelumnya justru membuat tiket lebih mahal, bahkan sampai harus membeli tiket dua kali karena perubahan rencana.
Bukan jadwal yang selalu berubah, terkadang keinginan yang mendadak muncul. Misalnya, rencana ke Datong, Tiongkok, untuk melihat proyek kereta cepat 1.000 km/jam, tiba-tiba muncul. Kemudian, hasrat mengunjungi Kazakhstan pun tiba-tiba menyeruak, memanfaatkan lokasi Beijing yang dekat dengan negara tersebut. Berita bebas visa ke Kazakhstan menjadi pemicunya. Perjalanannya ke New York pun belum memiliki tiket, sehingga rencana mampir ke Kazakhstan terasa fleksibel, walau berarti perjalanan ke New York menjadi lebih ke arah barat.
Namun, muncul kekhawatiran akan ketersediaan tiket sambungan dari Kazakhstan ke New York. Melihat peta, ia mempertimbangkan untuk mampir ke Beograd, Serbia, yang belum dikunjunginya sejak 45 tahun lalu, saat mengikuti Presiden Soeharto dalam KTT Non-Blok. Jika penerbangan dari Beograd ke New York masih sulit, Belarusia menjadi alternatif. Meski rute lewat Frankfurt atau Paris lebih murah, ia ingin menambah destinasi kunjungan.
Akhirnya, rencana ke Kazakhstan dibatalkan karena perjalanan ke Datong dinilai lebih penting. Perjalanan ke New York pun semakin mepet waktunya. Ia memilih rute timur yang lebih murah, meski tetap lebih mahal dari biasanya.
Perbandingan harga tiket pun dilakukan. Cathay Pacific (Beijing-Hong Kong-New York), All Nippon Airways (Beijing-Tokyo-New York), Japan Airlines (Beijing-Tokyo-New York), dan Korean Air (Beijing-Seoul-New York) menjadi pilihan rute timur. Sementara rute barat melalui Emirates (Beijing-Dubai-New York) atau Qatar Airways (Beijing-Doha-New York) harganya dua kali lipat lebih mahal.
Pilihan jatuh pada Cathay Pacific, hampir Rp 10 juta lebih murah. Keputusan cepat ini diambil untuk menghindari kenaikan harga. Perasaan lega pun muncul, seakan telah berhasil melakukan penghematan besar.
Namun, selisih harga Rp 10 juta itu ternyata belum mencerminkan keseluruhan pengeluaran. Penerbangan dari Beijing sore hari membuat tiba di Hong Kong pukul 20.00, sementara penerbangan ke New York baru esok harinya. Ia memanfaatkan business lounge Cathay Pacific dengan fasilitas lengkap, dari makanan hingga kamar mandi.
Lounge yang nyaman itu ternyata tutup pukul 01.30 dan buka kembali pukul 05.00. Setelah menghabiskan waktu di lounge, ia harus beralih ke ruang tunggu di dekat gate hingga pagi. Tidur nyenyak pun tak bisa didapatkan. Keuntungan Rp 10 juta terancam hilang jika ia jatuh sakit karena kurang tidur.
Pagi harinya, ia kembali ke business lounge untuk mandi dan sarapan. Perjalanan 15 jam dalam pesawat menjadi kesempatan untuk tidur pulas. Sarapan yang kenyang membuatnya meminta pramugari untuk tidak membangunkannya.
Tidur nyenyak di pesawat membuat Dahlan Iskan bermimpi tentang penghematan Rp 10 juta yang telah dilakukannya. Saat terbangun, ia teringat belum memilih komentar pilihan yang batas waktunya sudah mepet. Beruntung, adanya Wi-Fi gratis di pesawat memungkinkannya menyelesaikan tugas tersebut.
Kedatangan di Bandara JFK disambut keramaian yang jauh lebih sedikit dari perkiraannya. Proses imigrasi pun berjalan cepat. Pertanyaan standar “untuk apa ke Amerika?” dijawabnya dengan singkat, “Indy 500,” yang disambut celetukan petugas, “Lima hari lagi ya.” Paspornya langsung distempel tanpa pertanyaan lebih lanjut.
Kecepatan proses imigrasi dan udara yang sejuk di luar bandara membuat Dahlan Iskan merasa beruntung lebih dari sekadar Rp 10 juta yang telah dihemat. Senam singkat di luar bandara semakin menambah rasa syukur atas perjalanan yang lancar dan penjemputan gratis.