Mahkamah Konstitusi Perombak Sistem Pemilu, DPR Cermati Dampak Putusan terhadap Jadwal Pileg dan Pilkada
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan krusial yang dipastikan akan mengubah lanskap sistem kepemiluan di Indonesia. Dalam putusan bernomor 135/PUU-XXII/2024, MK menetapkan adanya perombakan signifikan terhadap jadwal penyelenggaraan pemilu di masa mendatang.
MK memutuskan bahwa Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk DPR RI dan DPD, serta Pemilihan Presiden (Pilpres), akan tetap diselenggarakan secara serentak. Namun, terdapat perubahan substansial pada jadwal Pileg DPRD tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota yang kini akan digabungkan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Penjadwalan kedua ajang demokrasi ini akan dilaksanakan dua tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden.
Menyikapi putusan transformatif ini, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan parlemen akan melakukan pencermatan mendalam. Dasco mengungkapkan bahwa diskusi internal secara informal akan segera dilakukan untuk menyikapi implikasi putusan tersebut. Sebelumnya, pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu tidak masuk dalam agenda masa sidang DPR saat ini. Namun, imbuh Dasco, putusan MK ini membuka kemungkinan untuk mengagendakan kembali pembahasan tersebut, mendiskusikan bagaimana memasukkannya ke dalam agenda kerja DPR.
Senada dengan pimpinan DPR, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, juga menegaskan pihaknya akan mencermati putusan MK tersebut. Terkait perumusan rancangan UU Pemilu, Rifqi menyatakan masih menunggu arahan lebih lanjut dari pimpinan DPR. Dalam konteks pembahasan masa jabatan, Rifqi mengemukakan opsi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota sebagai langkah paling realistis, terutama jika Pemilu lokal baru dilaksanakan pada tahun 2031. Ia membandingkan dengan pejabat gubernur, bupati, atau wali kota yang dapat ditunjuk penjabat sementara, sementara perpanjangan masa jabatan menjadi satu-satunya solusi yang memungkinkan bagi anggota DPRD.
Putusan MK ini tidak lepas dari pertimbangan mendalam terkait penjadwalan pemilu. Meskipun kewenangan penentuan jeda waktu pelaksanaan pemilu sebenarnya berada di tangan pembentuk Undang-Undang, MK memiliki alasan kuat untuk menetapkan jeda minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa pengalaman Pemilu serentak pada 14 Februari 2024—yang menggabungkan Pileg DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dengan Pileg DPRD provinsi/kabupaten/kota serta Pilkada—telah menimbulkan berbagai permasalahan. Oleh karena itu, menurut Saldi, penentuan jarak waktu penyelenggaraan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan Pilkada harus didasarkan pada berakhirnya tahapan Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, untuk menghindari kompleksitas yang sama di masa depan.