Berikut adalah artikel yang telah ditingkatkan:
—
Monumen di Atas Luka: Polemik Penyelesaian HAM Berat Rumoh Geudong di Aceh
Pemerintah Indonesia meresmikan sebuah monumen bernama ‘Memorial Living Park’ di atas reruntuhan situs kelam Rumoh Geudong, Aceh, pada Kamis (10/07). Rumoh Geudong, yang terletak di Kabupaten Pidie, telah lama dikenal sebagai salah satu lokasi utama pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat selama era konflik bersenjata antara militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di tengah peresmian ini, pemerintah juga menyerahkan “bantuan tali asih” senilai Rp10 juta kepada keluarga korban. Namun, kebijakan ini segera menuai badai kritik dari para pegiat HAM, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai substansi dan keadilan dalam upaya pemulihan. Apa sebenarnya persoalan di balik langkah negara ini?
Rumoh Geudong: Saksi Bisu Kekejaman Masa Lalu
Bagi Rukiyah Ahmad, kini berusia 66 tahun, peristiwa kelam 35 tahun silam adalah luka yang tak tersembuhkan. Pada Kamis, 25 Oktober 1990, di bawah teriknya matahari, ketukan di pintu rumahnya di Gampong Cot Tunong, Pidie, mengubah hidupnya selamanya. Di hadapannya berdiri *Keuchik* atau Kepala Desa Ahmad Yakob, ditemani seorang pria berseragam TNI Angkatan Darat dari kesatuan elit Kopassus.
Rukiyah, seorang perempuan berpostur mungil yang kala itu tengah mengandung delapan bulan, kemudian dibawa paksa ke Rumoh Geudong—sebuah lokasi berjarak sekitar dua kilometer yang sangat ditakuti masyarakat setempat. Setibanya di sana, di sudut kolong rumah adat Aceh itu, firasat buruknya menjadi kenyataan. Ia melihat sesosok mayat tergeletak di lantai, yang belakangan ia ketahui adalah jenazah suaminya, Ibrahim Abubakar alias Ibrahim Pawang (45), yang ditembak pada pukul 11.00 WIB di jembatan Gampong Amud Mesjid.
Di Rumoh Geudong, Rukiyah dicecar berbagai pertanyaan terkait suaminya, seorang petani dan pekebun, yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)—sebutan pemerintah Indonesia untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada awal 1990-an. “Saya juga diminta mencari keberadaan suami saya,” ungkap Rukiyah pada Rabu (09/07) kepada wartawan Firdaus Yusuf dari BBC News Indonesia.
Jenazah Ibrahim Pawang dipulangkan pada hari yang sama, sekitar pukul 17.00 WIB, melalui Camat Glumpang Tiga, Sulaiman Abdullah. Namun, permintaan Rukiyah untuk melihat jenazah suaminya untuk terakhir kali dan untuk diizinkan pulang ditolak mentah-mentah. Apa yang terjadi kemudian adalah trauma berkepanjangan baginya: dua hari dua malam ia disekap dan disiksa di Rumoh Geudong, sebelum akhirnya dibebaskan pada Sabtu, 28 Oktober 1990.
Rukiyah Ahmad adalah salah seorang dari 53 saksi korban penyiksaan yang dilakukan tentara Indonesia di Rumoh Geudong. Kesaksiannya, bersama korban lainnya, diserahkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai bagian dari penyelidikan praktik kekejaman aparat TNI di lokasi tersebut—yang berfungsi sebagai pos dan tempat penyiksaan.
Perjalanan Hukum yang Terhambat dan Lahirnya Pendekatan Non-Yudisial
Dibantu oleh LSM PASKA, proses penyelidikan pelanggaran HAM berat di Aceh berlanjut hingga April 2018. Lima bulan kemudian, Komnas HAM menyerahkan laporan penyelidikan pro-yustisia peristiwa Rumoh Geudong serta berbagai kasus di Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis) lainnya kepada Jaksa Agung. Tujuannya jelas: mendorong penindaklanjutan laporan ke tahapan penyidikan dan penuntutan. Selain Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Komnas HAM juga menyerahkan berkas peristiwa Simpang KKA dan Jambo Keupok. Namun, Kejaksaan Agung berulang kali menolak berkas penyelidikan Komnas HAM tersebut.
Menurut temuan Komnas HAM, Pos Sattis—termasuk Rumoh Geudong—adalah tempat penyekapan, interogasi, penyiksaan, pemerkosaan, dan eksekusi. Kopassus TNI AD diidentifikasi sebagai pelaksana lapangan di Pos Sattis Rumoh Geudong. Selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah (1989-1998), Pos Sattis didirikan setidaknya di setiap kecamatan di empat sektor: Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tengah.
Sekian tahun setelah penolakan berulang Kejaksaan Agung, sebuah langkah terobosan non-yudisial diambil oleh Presiden Joko Widodo di akhir masa pemerintahannya. Pada 26 Agustus 2022, Presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu. Tim PPHAM, yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, bertugas melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM hingga tahun 2020.
Ada belasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi fokus PPHAM, termasuk pembunuhan massal 1965, peristiwa Talang Sari, Penembakan Misterius 1982-1985, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Wasior, Wamena, Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya, hingga peristiwa Jambo Keupok.
Pada 27 Juli 2023, Presiden Jokowi sendiri berkunjung ke Rumoh Geudong di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, untuk melakukan “kick-off” penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Ironisnya, sebelum acara tersebut, pemerintah membongkar sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong. Di sanalah kemudian didirikan monumen dan sebuah masjid. Setelah dibakar massa pada 1998, bangunan asli Rumoh Geudong memang nyaris tak bersisa. Hanya tangga beton, dinding kamar mandi, dinding dapur, serta kamar mandi dan WC di bangunan bawah yang tersisa. Namun, pada Juni 2023, Pemerintah Kabupaten Pidie menghancurkan semua sisa-sisa ini. Kini hanya tangga beton dan dua sumur yang tersisa.
Bantuan Tali Asih Rp10 Juta: Antara Pengakuan dan Kekecewaan
Dalam kerangka penyelesaian non-yudisial ini, 58 korban Rumoh Geudong awalnya menerima berbagai bantuan rehabilitasi sosial, seperti traktor kecil, mesin pompa air, mesin pemotong rumput, puluhan ayam dan bebek, *hand sprayer* elektrik, Kartu Indonesia Sehat (KIS) Prioritas, PKH Rp3 juta, dan paket sembako.
Sekitar dua tahun setelah “kick-off” Jokowi, pemerintah melalui Wakil Menteri HAM Mugianto Sipin menyerahkan “bantuan tali asih” senilai Rp10 juta per korban kepada 27 korban Rumoh Geudong dan 57 korban Simpang KKA yang belum tertangani. Penyerahan ini berlangsung di Kota Pidie pada 9 Juli lalu. Menurut Mugianto, bantuan ini adalah “wujud nyata kehadiran negara dalam memberikan atensi dan penghormatan kepada para korban” yang telah memikul “luka sejarah yang tidak ringan” selama bertahun-tahun. Ia menegaskan, ini adalah “bagian dari upaya pemulihan, pengakuan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan para korban dan keluarganya.”
Namun, pernyataan Mugianto tersebut langsung dibantah keras oleh Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa. Ia menegaskan bahwa fokus penyelesaian non-yudisial adalah pemulihan korban, namun pendekatan ini seharusnya tidak menutup proses pengusutan hukum terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah ditetapkan Komnas HAM pada 2018.
“Reparasi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat tidak sebatas dengan pemberian uang tunai. Jika diberikan uang tunai pun, nilainya haruslah wajar,” kritik Aulianda Wafisa pada Selasa (08/07). “Sebab, peristiwa yang dialami korban Rumoh Geudong dan Simpang KKA adalah peristiwa pelanggaran HAM berat. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan luar biasa. Pemberian uang senilai Rp10 juta terkesan seperti penanganan tindak pidana ringan atau tipiring. Itu sangat memalukan.”
Aulianda membandingkan nilai bantuan ini dengan yang diterima keluarga korban penculikan aktivis 98 beberapa waktu lalu, yaitu antara Rp1 miliar hingga Rp2 miliar per keluarga. “Tidak bermaksud menilai dari nominal uang, tapi angka Rp1 atau 2 miliar tentu bisa membuat kehidupan masyarakat korban berubah menjadi jauh lebih baik,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa pemulihan korban harus mencakup aspek sosial, psikologis, kesehatan, jaminan pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. “Jangan beranggapan pemulihan bagi korban hanya sekadar bayar uang. Hal itu merendahkan harkat dan martabat korban sebagai manusia,” pungkasnya.
Menanggapi kritik tersebut, Wakil Menteri HAM Mugianto menjawab bahwa bantuan Rp10 juta tersebut adalah “bantuan tali asih dan bukan pemulihan korban. Pemulihan korban akan dilakukan kemudian secara komprehensif. Tidak ada yang bisa menggantikan penderitaan para korban.” Terkait perbandingan dengan korban ’98, Mugianto menegaskan bahwa penderitaan korban tidak untuk dibanding-bandingkan. “Kami datang ke sini untuk memastikan bahwa negara hadir untuk para korban pelanggaran HAM berat. Kementerian HAM tahu betul apa tanggung jawabnya,” katanya pada Rabu (09/07) di Kantor Bupati Pidie.
‘Memorial Living Park’: Pengakuan atau Penghapusan Jejak?
Peresmian ‘Memorial Living Park’ di atas reruntuhan Rumoh Geudong pada 10 Juli lalu dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Dalam sambutannya, Yusril menyatakan bahwa monumen ini dibangun sebagai wujud kehadiran negara dalam memberikan ruang aman dan bermartabat bagi penyintas serta tempat belajar dan mengenang peristiwa masa lalu. “Pemerintah telah mengakui terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk yang terjadi di Aceh,” kata Yusril, merujuk pada komitmen yang terlembaga dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 sebagai tonggak awal pendekatan non-yudisial. Ia menyebut pengakuan negara ini bukanlah akhir, melainkan awal sebuah proses pemulihan, dan bahwa pemerintah “hadir lewat langkah nyata dalam melakukan pemulihan hak-hak korban.”
Namun, narasi pemulihan ini dipertanyakan. Setelah penandatanganan prasasti, wartawan Firdaus Yusuf bertanya kepada Yusril, “Apakah Memorial Living Park ini menghapus kekejaman TNI Angkatan Darat di Rumoh Geudong? Kalau tidak, bagaimana negara menarasikannya?” Dengan suara yang sangat pelan, Yusril menjawab, “Dalam upaya menangani suatu masalah, tentu tidak ada suatu hal yang 100% memuaskan. Tapi kita harus melakukan sesuatu untuk perubahan.”
Sosiolog Aceh, Otto Nur Abdulllah, atau Otto Syamsuddin Ishak, yang juga komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 dan ketua tim *ad hoc* pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, menilai pembangunan Memorial Living Park di atas sisa-sisa Rumoh Geudong sebagai “praktik menghalangi upaya hukum yang sempurna” karena “tempat kejadian perkara sudah rusak.” Otto menekankan tiga makna penting Rumoh Geudong: pertama, rumah hulubalang besar yang merupakan monumen sistem politik Pidie; kedua, rumah adat dengan arsitektur khas Aceh; dan ketiga, kamp penyiksaan. “Jadi, sebuah rumah adat seorang hulubalang besar berubah menjadi sebuah kamp penyiksaan,” ujarnya.
Memorial Living Park yang dibangun, menurut Otto, tidak menceritakan serangkaian peristiwa di rumah itu. “Bahkan cenderung menghilangkan peristiwa-peristiwa di sana dan digunakan untuk menyembunyikan barang-barang bukti yang ditemukan di dalam pekarangan rumah itu,” tegasnya. Dyah Rahmany P, dalam bukunya *Rumoh Geudong Tanda Luka Orang Aceh* (2001), mencatat bahwa Rumoh Geudong mulai digunakan sebagai pos militer sejak April 1990 dan dikenal angker, bahkan sampai membuat Kopassus sempat memindahkan pos mereka karena gangguan makhluk halus, sebelum kembali setelah upaya “pembersihan” oleh ulama.
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, turut mengkritik Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang seharusnya paling berkepentingan dengan Rumoh Geudong untuk kebutuhan pro-yustisia, namun dinilai tidak bereaksi sesuai mandatnya. “Pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial, yakni pengadilan HAM,” tandasnya.
Insiden dan Penemuan Tulang Manusia: Mempertanyakan Transparansi
Peresmian Memorial Living Park pada Kamis, 10 Juli 2024, diwarnai insiden kekerasan terhadap salah satu staf PASKA Aceh, Faisal (32), yang dipukul oleh warga Gampong Billi Aron, Fattahillah, di panggung menjelang acara dimulai. Faisal mengalami pendarahan di telinga dan harus mendapatkan perawatan medis. Direktur PASKA Aceh, Farida Haryani, mengungkapkan bahwa 27 korban yang mendapatkan uang tali asih senilai Rp10 juta adalah mereka yang telah ditetapkan Komnas HAM sebagai korban pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong, namun informasi tersebut tidak disampaikan secara terbuka kepada publik. “Inilah yang kami khawatirkan sejak awal,” kata Farida. “Ketika pemerintah tidak menjelaskan siapa korban yang mendapatkan bantuan, korban dan keluarga korban yang belum terakomodir menjadi kecewa dan malah menyalahkan kelompok masyarakat sipil.”
Selain itu, proyek pembangunan Memorial Living Park, yang ditender Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Agustus 2023 dengan pagu anggaran fantastis—Rp19,348 miliar untuk pembangunan dan Rp866 juta untuk manajemen konstruksi—menyimpan fakta mengejutkan. Sekitar dua tahun lalu, pada Selasa, 27 Juni 2023, setelah Pemkab Pidie membayar Rp3,966 miliar untuk pembebasan lahan Rumoh Geudong seluas 7.015 meter persegi, pekerja proyek menemukan tulang-tulang manusia yang diduga menjadi korban pembunuhan di luar proses hukum di sekitar lokasi monumen. Setelah sempat menyimpan tulang-tulang tersebut di gudang proyek selama lebih dari tiga bulan, mereka kemudian menguburnya kembali di tempat penemuan. Sejauh ini, belum ada sikap atau upaya resmi dari pihak terkait mengenai temuan tulang-belulang ini.
Harapan Korban: Pemulihan Komprehensif dan Keadilan
Kembali kepada Rukiyah Ahmad, korban penyiksaan di Rumoh Geudong. Saat peresmian monumen, ia berdiri di sisi Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan Wakil Menteri HAM Mugianto Sipin, menggenggam piagam bertuliskan bantuan tali asih. Ia mengucapkan terima kasih atas Rp10 juta yang telah ia terima, namun harapannya jauh lebih besar. Rukiyah berharap pemerintah membangun tugu yang memuat daftar korban yang pernah disekap dan disiksa, korban pembunuhan kilat, serta korban penghilangan paksa dan *extrajudicial killing* di Memorial Living Park, “Seperti Museum Tsunami di Banda Aceh,” katanya. “Saya berharap pemulihan untuk korban dilakukan secara berkesinambungan.”
Harapan senada juga disuarakan Murtala (50), warga Paloh Lada, Aceh Utara, dan salah seorang korban peristiwa Simpang KKA. Sebagai Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA, Murtala menekankan pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM berat Simpang KKA tidak hanya berhenti pada pemulihan korban, tetapi juga dilakukannya proses penegakan hukum agar peristiwa ini tidak terulang lagi di masa depan. “Pemulihan terhadap korban pun harus dilakukan secara berkesinambungan,” katanya. Murtala juga meminta pemerintah melakukan pembebasan lahan dan membangun sebuah museum Peristiwa Simpang KKA.
Peristiwa Simpang KKA sendiri terjadi di Dusun Simpang III KKA, Gampong Paloh Lada, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, pada 3 Mei 1999. Berawal dari hilangnya Serka Adityawarman, anggota TNI Kesatuan Den Rudal 001/Lilawangsa, yang diduga diculik GAM, insiden ini berujung pada penembakan membabi-buta oleh anggota TNI dari Kesatuan Yonif 113 dan Den Rudal 001/Lilawangsa, menewaskan 39 warga sipil dan melukai 125 lainnya. “Rata-rata korban terkena tembakan dari arah belakang,” kenang Murtala yang saat itu berada di lokasi penembakan.
Langkah pemerintah di Rumoh Geudong, dengan segala pro dan kontranya, membuka kembali diskusi tentang bagaimana negara seharusnya menghadapi masa lalu kelam pelanggaran HAM berat. Antara pengakuan tanpa proses yudisial, bantuan yang dinilai tidak layak, hingga perusakan situs yang berpotensi menjadi bukti, pertanyaan tentang keadilan dan pemulihan sejati bagi para korban masih menggantung.
—
*Wartawan di Aceh, Firdaus Yusuf, melakukan liputan dan menuliskan artikel ini.*