Gubernur Aceh Muzakir Manaf, didampingi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Zulfadli, mengunjungi kediaman mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa malam, 17 Juni 2025. Kunjungan yang dilakukan sekitar pukul 21.56 WIB ini menandai silaturahmi penting pasca-keputusan pemerintah terkait sengketa wilayah.
Pertemuan ini dilangsungkan tak lama setelah pemerintah pusat menetapkan empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara resmi kembali ke wilayah administrasi Aceh. Muzakir Manaf, yang akrab disapa Mualem, mengungkapkan bahwa diskusi di kediaman JK mencakup berbagai aspek krusial seputar Aceh, termasuk sejarah, proses perdamaian, dan implementasi Perjanjian Helsinki.
Mualem menjelaskan bahwa kunjungannya adalah bentuk silaturahmi kepada Jusuf Kalla, yang ia sebut sebagai “Bapak Perdamaian” bagi Aceh, mengingat peran sentralnya dalam proses damai di bumi Serambi Mekkah. Mengenai langkah pemerintah Aceh selanjutnya terkait empat pulau yang baru dikembalikan, Mualem menegaskan bahwa prioritas utama adalah memastikan keputusan tersebut didasarkan pada kebijaksanaan dan aspek historis, sehingga tercipta “keadaan aman dan damai, tanpa perselisihan.” Lebih lanjut, ia mengungkapkan rencana Pemerintah Aceh untuk mengeksplorasi potensi kandungan minyak dan gas bumi di keempat pulau tersebut, dengan keyakinan kuat akan keberadaan sumber daya alam itu.
Hadir pula di kediaman JK adalah Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, yang tiba lebih awal sekitar pukul 19.00 WIB. Di sela-sela diskusi yang hangat, Malik Mahmud dan Jusuf Kalla sempat menyapa awak media. JK secara singkat menyatakan bahwa pertemuan itu adalah silaturahmi, seraya menambahkan, “Alhamdulillah persoalan sudah selesai. Sudah tidak banyak komentar lagi.” Ia kemudian memperkenalkan Malik Mahmud Al Haythar. Dalam kesempatan itu, Wali Nanggroe menyampaikan rasa syukur yang mendalam atas penyelesaian bijaksana sengketa empat pulau tersebut, seraya menghaturkan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto dan khususnya kepada Jusuf Kalla atas masukan serta bantuannya dalam menyelesaikan persoalan vital ini.
Pertemuan bersejarah ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh penting lainnya, termasuk mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said serta mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, menandakan bobot dan relevansi diskusi yang berlangsung.
Keputusan pengembalian empat pulau sengketa ke Aceh ini merupakan tindak lanjut dari penetapan Presiden Prabowo Subianto. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, pada Selasa, 17 Juni 2025, di Kantor Presiden, Jakarta, menegaskan bahwa penetapan tersebut “berlandaskan dokumen administrasi yang dimiliki pemerintah,” secara final menyatakan keempat pulau itu adalah milik Aceh.
Proses penetapan kepemilikan empat pulau ini diformalkan dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto melalui konferensi video pada Selasa itu, bahkan saat beliau dalam perjalanan menuju St. Petersburg, Rusia. Rapat penting ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, antara lain Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden RI Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, serta Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lebih lanjut menjelaskan alasan kuat di balik keputusan pemerintah. Menurutnya, sebuah dokumen asli berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992 telah ditemukan, secara eksplisit menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh. Dokumen krusial ini berhasil ditemukan di Gedung Arsip Kementerian Dalam Negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pada Senin, 17 Juni 2025, setelah “tiga gedung dibongkar-bongkar” untuk mencari berkas bersejarah tersebut.
Artikel ini ditulis oleh Hendrik Yaputra, Eka Yudha Saputra, dan Sapto Yunus.