Tragis! Nenek di Klaten Terancam Denda Rp 115 Juta Akibat Siaran Bola Liga Inggris di Warung Kopinya
Sebuah kisah pilu kini tengah menimpa Nenek Endang (78) di Klaten, Jawa Tengah. Ia harus menghadapi tuntutan denda sebesar Rp 115 juta dan tuduhan pelanggaran hak cipta hanya karena menayangkan siaran pertandingan sepak bola di warung kopi kecilnya. Kejadian yang membelit sang nenek ini menjadi sorotan, memicu perdebatan tentang batasan hukum hak cipta dan rasa kemanusiaan.
Peristiwa ini bermula pada Mei 2024, ketika Nenek Endang menggelar acara halal bihalal keluarga di kediamannya. Di tengah kesibukan menyambut sanak saudara, warung kopi kecilnya yang berada di halaman rumah tetap dibuka. Tanpa disadari, televisi di warung tersebut menayangkan pertandingan sepak bola dari siaran berbayar. Di momen itulah, dua orang tak dikenal dengan perawakan tegap datang memesan kopi, dan secara mencurigakan, sempat memotret suasana di warung tersebut.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada 2 Juni 2024, Nenek Endang menerima surat somasi yang mengagetkan. Surat tersebut menuduhnya melanggar hak cipta karena menayangkan pertandingan Liga Inggris di tempat umum. Puncaknya, pada Senin, 25 Agustus 2025, Nenek Endang yang terlihat berjalan tertatih menggunakan tongkat, didampingi menantu dan cucunya, memenuhi panggilan mediasi di kantor Ditreskrimsus Polda Jateng. Ia dipanggil terkait dugaan pelanggaran hak cipta tayangan Liga Inggris, yang diketahui dimiliki secara eksklusif oleh salah satu platform penyedia siaran langsung yang telah memperpanjang kontrak hingga 2028.
Nilai hak siar Liga Inggris di kawasan Asia Tenggara sendiri mencapai angka fantastis, sekitar USD 60 juta atau setara Rp900 miliar per musim. Tak heran, pihak platform sangat ketat dalam menegakkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini mengatur bahwa pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 4 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar, berlaku tidak hanya bagi pihak yang mencari keuntungan komersial, tetapi juga melarang penyiaran tanpa izin, termasuk acara nonton bareng di ruang usaha meski tanpa memungut tiket resmi.
Inilah yang akhirnya menjerat Nenek Endang. Ia mengaku terkejut dan merasa janggal dengan sikap dua pembeli misterius yang tiba-tiba mengambil foto di lokasi. “Awalnya itu kan halal bihalal. Kita kumpul keluarga saja, bukan niat nonton bareng. Terus ada orang datang bertubuh tegap pesan kopi hitam dua terus foto-foto,” tutur Nenek Endang, sebagaimana dikutip dari TribunJateng.com.
Nenek Endang menegaskan bahwa ia tidak mengetahui siapa yang menyalakan siaran bola tersebut. Ia memang berlangganan layanan itu untuk kebutuhan pribadi bersama keluarga, bukan untuk kegiatan komersial. “Kalau nobar itu kan diniati, ada tiket, ada komersil. Wong kita enggak ada tiket, enggak ada apa-apa. Itu acara keluarga,” jelasnya, merasa tidak bersalah dan menolak membayar denda Rp 115 juta yang dianggapnya tidak wajar.
Baginya, tuntutan sebesar itu sangat memberatkan, apalagi ia tidak memperoleh keuntungan sepeser pun dari penayangan siaran bola tersebut. “Mintanya Rp115 juta, saya tidak ikhlas. Lha wong saya ini orang tua, sakit jantung, sudah 22 tahun minum obat. Rasanya itu berlebihan sekali,” ucap Nenek Endang, menyoroti kondisi kesehatannya yang lemah. Ia curiga dua pembeli berbadan tegap itu adalah pelapor yang sengaja mencari kesalahan. “Saya jadi curiga, kok kayak cari-cari kesalahan,” kisahnya.
Meski demikian, Nenek Endang berusaha tetap tenang dan menyerahkan urusan mediasi sepenuhnya kepada anak dan menantunya. Ia merasa ada kejanggalan hukum yang memperlakukan acara kumpul keluarga layaknya kegiatan bisnis nonton bareng berbayar. Dengan teguh, Nenek Endang menolak keras untuk membayar denda Rp115 juta dan akan tetap menjalani proses hukum hingga tuntas. “Kalau memang ada bukti kita jual tiket ya silakan. Tapi ini kan cuma kumpul keluarga. Rasanya berat sekali kalau dipaksa bayar segitu,” pungkasnya.
Di sisi lain, pihak platform penyedia layanan, Indonesia Entertainment Group (IEG), menegaskan bahwa siaran Liga Inggris bersifat eksklusif dan hanya boleh dinikmati secara pribadi di rumah bagi pelanggan berbayar. Apabila digunakan di tempat usaha atau ruang komersial, izin khusus berupa lisensi wajib dimiliki sesuai ketentuan platform. Untuk mendapatkan lisensi ini, pelaku usaha harus mengisi formulir pendaftaran, mengajukan proposal, dan membayar biaya aktivasi yang bervariasi antara Rp34 hingga Rp40 juta lebih, tergantung kategori tempat usaha.
Ebenezer Ginting, Kuasa Hukum Indonesia Entertainment Group (IEG) dari Ginting & Associates Law Office, menjelaskan duduk perkara yang menjerat Nenek Endang. “Klien kami adalah pemegang lisensi eksklusif Liga Inggris. Artinya masyarakat boleh menikmati di rumah secara privat. Tapi kalau dipakai sebagai ikon usaha, seperti nonton bareng atau diputar di zona komersial, itu melanggar. Ada lisensi khusus yang harus dibayarkan,” kata Ebenezer. Ia menegaskan, pelanggaran hak cipta tidak bergantung pada ada atau tidaknya keuntungan dari penjualan tiket. “Terlepas ada ticketing atau tidak, selama memutar Liga Inggris di zona komersial, unsur sengaja maupun tidak, itu sudah melanggar undang-undang,” tegasnya.
Berdasarkan catatan IEG, ada sekitar 80-100 laporan polisi terkait pelanggaran hak siar di berbagai wilayah Indonesia, dengan 10 temuan kasus di Jawa Tengah, dan 5 di antaranya masih aktif diproses hukum. Ebenezer menekankan bahwa aturan ini berlaku untuk semua kalangan, mulai dari UMKM hingga kafe dan bar. Meski mengutamakan pendekatan edukasi, jalur hukum tetap ditempuh jika pelanggaran terus berulang. “Semangat kami bukan hanya penindakan, tapi juga anti pembajakan. Kalau tidak ada yang membeli lisensi, masyarakat Indonesia bisa-bisa tidak bisa lagi menonton Liga Inggris,” ujarnya. “Ini jadi pembelajaran bahwa ada value bisnis di balik hak siar yang harus dihargai,” pungkas Ebenezer, mengakhiri perdebatan hukum yang kompleks ini.