Prospek Cerah Obligasi Korporasi di Tahun 2025: Refinance dan Pemangkasan Suku Bunga Jadi Kunci
Pasar obligasi korporasi di Indonesia diprediksi tetap menjanjikan hingga akhir tahun 2025. Dua faktor utama menjadi pendorongnya: kebutuhan refinancing yang tinggi dan pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini tercermin dari aktivitas penerbitan surat utang yang marak, seperti terlihat pada pekan pertama Juni 2025, di mana tiga korporasi telah menerbitkan obligasi senilai Rp 9,85 triliun, menurut laporan mingguan PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). BRI, Bank Mandiri Taspen, dan Eagle High Plantations juga dijadwalkan menerbitkan surat utang bulan ini.
Lonjakan penerbitan ini, menurut Ahmad Nasrudin, Fixed Income Analyst Pefindo, sebagian besar didorong oleh faktor musiman berupa jatuh tempo obligasi. Tahun ini, total jatuh tempo obligasi mencapai angka signifikan, yaitu Rp 160,22 triliun, meningkat 7,14% dari tahun sebelumnya. Puncak jatuh tempo terjadi di kuartal III (Rp 51,85 triliun) dan Juli (Rp 26,23 triliun). “Hampir setengah dari total penerbitan tahun ini memang untuk refinancing,” jelasnya kepada Kontan.co.id (10/6).
Selain faktor musiman, pemangkasan suku bunga acuan BI juga berperan penting. Suku bunga yang lebih rendah akan menekan biaya penerbitan dan mendorong pertumbuhan fundamental korporasi melalui peningkatan leverage keuangan. Hal ini terbukti dari total nilai penerbitan surat utang hingga Mei 2025 yang mencapai Rp 59,95 triliun, naik 36,29% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2022 untuk lima bulan pertama.
Pefindo memproyeksikan penerbitan obligasi korporasi di tahun 2025 akan mencapai kisaran Rp 138,29 triliun – Rp 155,43 triliun (titik tengah Rp 143,91 triliun). Ahmad Nasrudin optimistis proyeksi ini akan tercapai, didorong oleh kebutuhan pembiayaan kembali dan modal kerja yang besar.
Senada dengan Pefindo, Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, melihat prospek positif ini didukung oleh kebutuhan pembiayaan sektor hilirisasi mineral dan industri intensif modal seperti perkebunan kelapa sawit (CPO) dan pertambangan. Kondisi *yield* yang stabil dan relatif rendah mendorong korporasi memanfaatkan obligasi sebagai alternatif pendanaan selain perbankan. Ia menambahkan bahwa suku bunga acuan BI yang cenderung akomodatif dengan bias *dovish* (potensi pemangkasan lebih lanjut) akan menjaga daya tarik obligasi korporasi rupiah.
Namun, Josua menekankan pentingnya strategi investasi yang bijak. Diversifikasi portofolio, pemilihan obligasi berdasarkan profil risiko, rating, dan potensi imbal hasil merupakan kunci. Obligasi dengan rating *investment-grade* direkomendasikan sebagai pilihan konservatif jangka panjang, sementara *high-yield bonds* dapat menjadi opsi pelengkap bagi investor yang toleran terhadap risiko lebih tinggi.
Ahmad Nasrudin menambahkan bahwa obligasi korporasi, sebagai instrumen yang lebih berisiko dibanding obligasi pemerintah, menawarkan kupon lebih tinggi sebagai kompensasi risiko. Kupon obligasi korporasi untuk tenor 3 tahun, misalnya, menawarkan potensi keuntungan total lebih tinggi; rata-rata 6,65% untuk peringkat AAA dan 10,60% untuk peringkat BBB. Ia memperkirakan kupon akan turun hingga akhir tahun seiring ekspektasi pemangkasan suku bunga di semester II 2025. Penurunan suku bunga berpotensi menurunkan *yield benchmark* dan premi risiko yang diminta investor.