Serangan Udara Israel di Rumah Sakit Gaza Tewaskan Puluhan, Termasuk Jurnalis dan Petugas Medis
Tragedi mengerikan melanda Jalur Gaza pada Senin, 25 Agustus 2025. Serangan udara Israel menghantam Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, menewaskan sedikitnya 21 orang, termasuk tenaga medis dan jurnalis. Insiden ini dikecam keras oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, yang menyebutnya sebagai kejahatan yang tak termaafkan.
Laporan *Al Jazeera* mengungkapkan serangan ganda, atau “double-tap,” yang dilakukan oleh Israel. Serangan pertama menghantam lantai atas salah satu bangunan rumah sakit. Beberapa menit kemudian, saat para jurnalis dan tim penyelamat, yang mengenakan jaket oranye, bergegas menuju lokasi untuk memberikan pertolongan, proyektil kedua menghantam lokasi yang sama. Dr. Ahmed al-Farra, Kepala Departemen Pediatri Rumah Sakit Nasser, menyatakan serangan kedua inilah yang menewaskan para jurnalis dan petugas penyelamat.
Di antara korban tewas terdapat sejumlah jurnalis ternama, termasuk Mohammad Salama (*Al Jazeera*), Hussam al-Masri (*Reuters*), Mariam Abu Daqqa (*Associated Press*), Ahmed Abu Aziz (*Middle East Eye*), dan Moaz Abu Taha, jurnalis lepas yang bekerja sama dengan beberapa organisasi berita, termasuk *NBC*. Selain mereka, sejumlah tenaga medis dan relawan juga menjadi korban.
Menanggapi peristiwa ini, Juru Bicara Sekjen PBB, Stéphane Dujarric, menyampaikan kecaman keras atas pembunuhan warga Palestina tersebut. Pernyataan resmi PBB menekankan risiko besar yang dihadapi tenaga medis dan jurnalis dalam menjalankan tugas di tengah konflik. PBB mendesak penyelidikan cepat dan imparsial, serta menegaskan pentingnya perlindungan bagi warga sipil, termasuk tenaga medis dan jurnalis, sesuai hukum humaniter internasional. Guterres menyerukan agar pekerja medis dan jurnalis dapat menjalankan tugas mereka tanpa gangguan, intimidasi, atau bahaya.
Serangan terhadap Rumah Sakit Nasser merupakan salah satu serangan paling mematikan terhadap rumah sakit dan pekerja media selama hampir dua tahun konflik di Gaza. Peristiwa ini memicu kecaman internasional yang luas. Prancis, Jerman, dan Inggris turut menyerukan penyelidikan menyeluruh. Serikat Jurnalis Palestina menyebut serangan ini sebagai perang terbuka terhadap media, bertujuan untuk meneror jurnalis dan mencegah pemberitaan tentang kejahatan Israel.
Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki, Francesca Albanese, bahkan mengecam jurnalis yang bungkam atas pembantaian rekan-rekan mereka. Ia menyebutnya sebagai hal yang memalukan dan menyerukan agar kamera yang ditemukan di lokasi serangan, yang disebut sebagai “Senjata yang Paling Ditakuti Israel,” suatu hari nanti dipamerkan di “Monumen Genosida”.
Data yang mengerikan menunjukkan setidaknya 192 jurnalis telah tewas di Gaza selama konflik 22 bulan terakhir, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ)—189 di antaranya warga Palestina. Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat angka yang lebih tinggi, yaitu setidaknya 244 jurnalis dan pekerja media yang tewas akibat serangan Israel. Tragedi kemanusiaan ini semakin diperparah dengan jumlah korban tewas di kalangan tenaga kesehatan yang mencapai lebih dari 1.500 orang, menurut PBB. Ironisnya, peristiwa ini terjadi hanya dua minggu setelah Israel membunuh empat jurnalis *Al Jazeera* dalam serangan terarah di Kota Gaza. Serangan beruntun ini menyoroti eskalasi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah tersebut.