CELIOS Ungkap Lonjakan Drastis Pekerja Berupah di Bawah UMR, Desak Reformasi Data dan Pengukuran Kemiskinan
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti fenomena mengkhawatirkan terkait kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Data terbaru mereka menunjukkan peningkatan signifikan proporsi pekerja yang menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sebuah indikasi memburuknya kesejahteraan pekerja.
Peneliti Celios, Bara, memaparkan bahwa persentase pekerja dengan upah di bawah UMR melonjak tajam dari 63 persen pada tahun 2021 menjadi 84 persen di tahun 2024. “Kami temukan data proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR meningkat tajam dari 63 persen pada 2021 menjadi 84 persen pada 2024,” ungkap Bara dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu (31/5).
Selain masalah upah, Celios juga mengkritisi akurasi data pengangguran pemerintah yang dinilai belum sepenuhnya mencakup pekerja sektor informal. Bara menekankan perlunya transparansi data yang lebih relevan untuk perumusan kebijakan ketenagakerjaan yang tepat sasaran. Ia juga menyoroti masalah jam kerja berlebihan di beberapa sektor. Industri transportasi, pertambangan, dan penyediaan akomodasi tercatat memiliki persentase pekerja yang bekerja melampaui batas, dengan rata-rata 48 jam per minggu. Lebih lanjut, pekerja ojek online ditemukan memiliki jam kerja yang jauh lebih panjang, yakni rata-rata 54,5 jam per minggu, dibandingkan pekerja lain yang rata-rata 41,5 jam per minggu. “Kami mendorong adanya data tenaga kerja yang lebih akurat soal pekerja di *gig economy*, sejalan dengan maraknya perpindahan dari korban PHK ke pekerja informal,” tegas Bara, menekankan urgensi data yang komprehensif di tengah maraknya korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang beralih ke sektor informal.
Permasalahan data juga meluas ke metodologi pengukuran kemiskinan nasional. Celios menilai pendekatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah digunakan selama hampir lima dekade sudah usang dan tidak lagi relevan dengan kompleksitas kemiskinan masa kini. Perbedaan mencolok terlihat ketika data BPS mencatat 8,5 persen penduduk sebagai miskin, sementara data Bank Dunia menyebut 60,3 persen penduduk masuk kategori miskin berdasarkan standar 6,85 dolar AS PPP per hari.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menyatakan bahwa pendekatan lama yang berbasis kecukupan kalori dan indikator pengeluaran tidak mampu menangkap esensi kemiskinan modern. Hal ini mencakup beban utang yang melilit, ketimpangan akses layanan publik esensial, hingga tekanan finansial yang kian berat bagi rumah tangga kelas menengah. “Rumah tangga yang terlilit utang pinjaman *online* atau harus menjual tanah agar anaknya bisa sekolah seringkali tidak tercatat sebagai miskin. Justru sebaliknya, pengeluaran tinggi mereka dianggap sebagai tanda kesejahteraan,” jelas Media. Ia menambahkan bahwa penggunaan kelompok rentan sebagai referensi perhitungan garis kemiskinan membuat garis tersebut tidak naik signifikan, meskipun daya beli masyarakat terus memburuk. Akibatnya, kebijakan alokasi anggaran dan skema bantuan sosial seringkali tidak tepat sasaran, diperparah dengan persentase anggaran perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia yang masih rendah.
Menyikapi urgensi ini, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa revisi garis kemiskinan bukanlah hal yang tabu. Ia mencontohkan Malaysia yang pada tahun 2019 telah memperbarui garis kemiskinan untuk memperbesar porsi bantuan sosial yang diberikan kepada warganya. Berbeda dengan Malaysia, pemerintah Indonesia, menurut Bhima, tampak khawatir kenaikan angka kemiskinan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), apalagi di tengah rasio pajak yang rendah dan meningkatnya utang jatuh tempo. “Tapi di sisi lain langkah BPS yang belum juga merevisi garis kemiskinan justru terkesan membatasi hak orang yang benar-benar miskin dari akses bantuan pemerintah,” kritik Bhima.
Bhima juga menyoroti masalah akurasi data yang berdampak langsung pada efektivitas stimulus pemerintah, seperti contoh Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang akan diberikan pada Juni-Juli 2025 mendatang. Menurutnya, BSU kali ini berpotensi mengulang kesalahan serupa di mana banyak pekerja informal, pekerja kontrak, ojek *online*, dan pekerja *outsourcing* tidak mendapatkannya karena persoalan pendataan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Celios mengusulkan redefinisi pengukuran kemiskinan dengan pendekatan berbasis *disposable income*. Pendekatan ini akan mempertimbangkan pendapatan setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar terpenuhi, serta faktor geografis dan kebutuhan nonmakanan. Sebagai referensi, Uni Eropa telah menerapkan pendekatan hidup yang layak yang mencakup indikator yang lebih holistik, seperti literasi, kesehatan, tingkat pengangguran, hingga kebahagiaan. Celios juga mendorong agar pemahaman data kemiskinan seharusnya berfungsi sebagai alat evaluasi kebijakan, bukan sekadar alat politik. Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, pemerintah dapat menilai efektivitas program redistribusi seperti Makan Bergizi Gratis, Program Keluarga Harapan (PKH), atau subsidi pupuk.
Guna mendorong perubahan fundamental ini, Celios merekomendasikan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi dasar koordinasi lintas lembaga. Perpres ini diharapkan dapat menyusun indikator baru, memperkuat integrasi data, dan menyelaraskan program pengentasan kemiskinan secara nasional, demi terciptanya kebijakan yang lebih adil dan tepat sasaran.