Perang Iran-Israel Ancam Neraca Dagang RI? Ini Analisis CIPS!

Avatar photo

- Penulis Berita

Rabu, 25 Juni 2025 - 15:10 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ragamharian.com, Jakarta – Konflik yang memanas antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran serius terhadap prospek ekonomi global, termasuk Indonesia. Menurut Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, eskalasi ketegangan ini berpotensi mengikis kinerja dan surplus ekspor Indonesia, terutama akibat lonjakan biaya pengiriman dan transportasi yang dipicu oleh ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Pemerintah Iran.

Hasran menjelaskan bahwa penutupan jalur vital ini akan memaksa kapal-kapal memilih rute alternatif yang jauh lebih mahal dan kurang efisien dibandingkan pelayaran melalui Selat Hormuz. Dampak disrupsi ini, menurut Energy Information Administration (EIA), akan sangat signifikan bagi pasar energi global, khususnya di negara-negara importir besar seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan, sebuah prospek yang ia sampaikan pada Rabu, 25 Juni 2025, di Jakarta.

Padahal, Indonesia telah menikmati tren positif dengan neraca perdagangan yang mencatat surplus selama lima tahun berturut-turut. Pada Mei 2025, angka surplus bahkan mencapai US$4,9 miliar, sebuah peningkatan fantastis sebesar 2.962 persen secara bulanan (month to month/mtm) dibandingkan dengan surplus US$160 juta pada April 2025. Prestasi ini terancam oleh gejolak geopolitik.

Lebih lanjut, Hasran menyoroti bahwa peningkatan ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran telah memicu kekhawatiran serius akan stabilitas perdagangan global. Dampak paling kentara dari konflik ini adalah ancaman terhadap pasokan minyak dunia, yang secara langsung akan memengaruhi perdagangan Indonesia. Hal ini mencakup kenaikan biaya logistik serta potensi penurunan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama.

Perlu diketahui, Selat Hormuz memegang peranan krusial sebagai jalur maritim strategis, di mana sekitar 20 persen dari total transaksi minyak dunia melewati selat ini pada tahun 2024. Penutupan jalur ini, bahkan jika hanya sementara, akan memiliki implikasi global yang luas.

Meskipun Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar 7 persen minyaknya melalui Selat Hormuz, potensi disrupsi pada pasokan global dapat memicu pergeseran permintaan minyak ke produsen alternatif. Fenomena ini bisa berarti negara-negara akan mencari sumber pasokan lain, bahkan dari Amerika Serikat sendiri yang juga turut terlibat dalam konflik, sehingga memicu persaingan dan tekanan pada harga.

Secara keseluruhan, situasi ini berpotensi besar mendorong kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan signifikan ini akan berdampak langsung pada perdagangan Indonesia. Permintaan ekspor dapat terganggu secara substansial akibat biaya logistik yang melonjak tinggi, menjadikan produk Indonesia kurang kompetitif di pasar global.

Di samping itu, gangguan pasokan minyak ke negara-negara importir utama (China, India, Jepang, Korea Selatan) berpotensi besar menghambat aktivitas ekonomi mereka. Imbasnya, penurunan daya beli dan permintaan global dapat menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap barang ekspor dari Indonesia, menambah tekanan pada neraca perdagangan nasional.

Menyikapi ancaman ini, Hasran mendesak pemerintah untuk mengambil peran aktif dalam mendorong upaya perdamaian di kawasan tersebut. Ia menegaskan, konflik yang terus bereskalasi hanya akan memperparah kondisi ekonomi dunia dengan mengganggu jalur distribusi energi vital. Meskipun demikian, ia juga mencatat bahwa skala dampak yang akan dirasakan Indonesia akan sangat bergantung pada durasi penutupan Selat Hormuz.

Selain upaya diplomatik, pemerintah juga disarankan untuk secara proaktif menghilangkan berbagai hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis lainnya. Langkah ini krusial untuk menjaga stabilitas pasokan domestik di tengah ketidakpastian global.

Di tengah lonjakan biaya logistik dan produksi global, adanya biaya tambahan yang timbul dari kuota, perizinan yang berbelit, atau regulasi yang tidak relevan hanya akan memperparah beban yang ditanggung oleh importir dan pada akhirnya, konsumen. Ini menciptakan inefisiensi yang tidak perlu dalam rantai pasok.

Hasran menekankan, “Penghapusan hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis sudah sejak lama menjadi sesuatu yang layak dipertimbangkan, mengingat dampaknya yang memunculkan biaya tambahan, waktu yang lebih panjang, dan inefisiensi rantai pasok.” Inisiatif ini, menurutnya, vital untuk memastikan kelancaran distribusi dan keterjangkauan harga di pasar domestik.

Pilihan Editor: Untung-Rugi Ekspor Listrik ke Singapura

Berita Terkait

KKGI Bagi Dividen Rp73,99 Miliar, Manajemen Baru Diumumkan!
PALM Ungkap Strategi Jitu Jaga Portofolio Investasi Saat Pasar Bergejolak
Peluang Investasi Semester II: Saham & Obligasi Menarik Perhatian!
MTEL: Suku Bunga Turun, Saatnya Beli Saham Telco Ini?
CARE: Analisis Saham Metro Healthcare, Untung atau Buntung?
KB Bank & Eximbank Bersatu: Pembiayaan Ekspor Nasional Makin Kuat!
IHSG Merosot! MDKA, ESSA, MBMA Jadi Pemberat LQ45
CDIA IPO 2025: Lighthouse Keempat Setelah RATU & CBDK!

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 22:05 WIB

KKGI Bagi Dividen Rp73,99 Miliar, Manajemen Baru Diumumkan!

Rabu, 25 Juni 2025 - 21:55 WIB

PALM Ungkap Strategi Jitu Jaga Portofolio Investasi Saat Pasar Bergejolak

Rabu, 25 Juni 2025 - 21:25 WIB

Peluang Investasi Semester II: Saham & Obligasi Menarik Perhatian!

Rabu, 25 Juni 2025 - 20:56 WIB

MTEL: Suku Bunga Turun, Saatnya Beli Saham Telco Ini?

Rabu, 25 Juni 2025 - 19:00 WIB

CARE: Analisis Saham Metro Healthcare, Untung atau Buntung?

Berita Terbaru

Uncategorized

Cara Membasmi Kecoak dengan Baking Soda

Rabu, 25 Jun 2025 - 22:21 WIB