Surga Terakhir Terancam: Pencabutan Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Raja Ampat, surga biodiversitas dunia, nyaris kehilangan keindahannya akibat eksploitasi tambang nikel. Aksi heroik Paulina, seorang perempuan muda asal Kampung Kabare, dan aktivis Greenpeace dalam konferensi nikel internasional di Jakarta, menyulut api perubahan. Video aksi mereka yang viral dengan tagar #SaveRajaAmpat, ditonton 18,8 juta kali dan mendapat lebih dari setengah juta like, menjadi pemicu pencabutan izin empat perusahaan tambang nikel di wilayah tersebut.
Paulina, dengan mata berkaca-kaca, menceritakan dampak mengerikan pertambangan nikel di Pulau Manuran, dekat kampung halamannya. Hutan yang dulu subur kini gundul, laut tercemar limbah berwarna cokelat yang sampai ke kampungnya, dan keharmonisan masyarakat terpecah. “Hutan kami hilang, laut kami rusak, dan masyarakat kami kini saling bermusuhan,” ujarnya pilu. Pengalaman penahanannya yang singkat tak menyurutkan semangatnya untuk memperjuangkan Raja Ampat.
Aksi Paulina dan rekan-rekannya, termasuk aktivis Greenpeace Iqbal Damanik, bermula dari pembentangan spanduk “Save Raja Ampat from Nickel Mining” saat Wakil Menteri Luar Negeri berpidato. Tindakan berani mereka, meski sempat berujung pemeriksaan polisi, menarik perhatian dunia dan pemerintah Indonesia.
Respon pemerintah pun sigap. Sepekan setelah aksi viral tersebut, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengumumkan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan. Keputusan ini, atas arahan Presiden, mengakui kerusakan lingkungan yang signifikan akibat aktivitas pertambangan. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan adanya pencemaran lingkungan yang parah di Pulau Manuran, termasuk kekeruhan pantai akibat jebolnya kolam pengendapan limbah PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Kementerian Lingkungan Hidup telah menyegel aktivitas penambangan dan akan mengambil langkah hukum.
Analisis Greenpeace menunjukkan deforestasi mencapai lebih dari 500 hektare, dengan dampak terbesar di Pulau Gag (309 hektare). Iqbal Damanik dari Greenpeace menyoroti kerusakan terumbu karang dan pencemaran pesisir akibat limpasan lumpur. Selain PT ASP, izin tiga perusahaan lain, yaitu PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Kawei Sejahtera Mining, juga dicabut. Namun, PT Gag Nikel, yang beroperasi di Pulau Gag, masih mendapat izin.
Dampak pertambangan tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memecah belah masyarakat. Matias Mambraku, pemandu wisata asal Pulau Manyaifun, menggambarkan perubahan drastis di kampungnya. Keharmonisan sosial yang dulu terjalin kini digantikan permusuhan dan konflik akibat perbedaan pandangan terhadap keberadaan tambang. Sebagian masyarakat tergiur janji pekerjaan dan uang, sementara yang lain menolak karena kerusakan lingkungan yang tak terhindarkan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan alasan pencabutan IUP empat perusahaan tersebut, menekankan pelanggaran lingkungan dan masuknya wilayah operasi ke dalam kawasan UNESCO Global Geopark. Rincian izin kelima perusahaan tambang, termasuk luas wilayah konsesi dan status lingkungan, dijelaskan secara detail. Bahlil menegaskan, pemerintah berkomitmen melindungi Raja Ampat, sambil tetap mempertimbangkan aspek ekonomi. Namun, prioritas utama tetaplah kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Raja Ampat, dengan kekayaan hayati laut dan darat yang luar biasa, harus tetap menjadi surga bagi generasi mendatang.