Mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Prasetyo Boeditjahjono, Dituntut 9 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Jalur Kereta Api Besitang-Langsa
Jakarta – Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono, menghadapi tuntutan serius dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada Senin, 30 Juni 2025, Prasetyo dituntut sembilan tahun penjara atas keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek jalur kereta api Besitang-Langsa periode 2017-2023. Tuntutan hukuman ini akan dikurangi dengan masa tahanan sementara yang telah dijalani, dan terdakwa diwajibkan untuk tetap ditahan di rumah tahanan negara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Prasetyo Boeditjahjono dengan pidana penjara selama 9 tahun,” tegas jaksa penuntut umum saat membacakan tuntutan, menandai babak krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor infrastruktur perkeretaapian nasional.
Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Prasetyo untuk membayar denda sebesar Rp 750 juta. Apabila denda tersebut tidak dapat dipenuhi, maka akan diganti dengan kurungan selama enam bulan. Tak hanya itu, Prasetyo juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 2,6 miliar. Jika harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk melunasi uang pengganti tersebut, ia terancam pidana penjara tambahan selama empat tahun enam bulan. Lebih lanjut, jaksa mengancam akan menyita dan melelang harta benda Prasetyo jika uang pengganti tidak dibayar dalam waktu paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Jaksa meyakini bahwa perbuatan Prasetyo secara sah dan meyakinkan melanggar pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana tertuang dalam dakwaan primer penuntut umum. Tuntutan ini mencerminkan komitmen Kejaksaan Agung dalam menindak tegas praktik-praktik rasuah yang merugikan keuangan negara.
Dilansir dari *Antara*, terungkap bahwa Prasetyo didakwa menerima aliran dana ilegal sebesar Rp 2,6 miliar. Uang haram tersebut diterima dari dua sumber: Rp 1,4 miliar dari penerima manfaat PT Wahana Tunggal Jaya, Andreas Kertopati Handoko, yang disalurkan melalui sopir; serta Rp 1,2 miliar dari pejabat pembuat komitmen (PPK) Wilayah I pada Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Akhmad Afif Setiawan, yang ditransfer melalui ajudan Prasetyo, Rian Sestianto. Rincian penerimaan uang ini menjadi bukti kuat dalam persidangan.
Kasus korupsi ini bermula ketika Prasetyo memerintahkan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara *ex officio* sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) periode 2016—2017, Nur Setiawan Sidik, untuk mengusulkan proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa. Perintah ini diberikan meskipun proyek tersebut belum memenuhi berbagai persyaratan krusial, menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang sejak awal perencanaan.
Proyek ambisius ini rencananya akan dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara-Project Based Sukuk (SBSN-PBS) Tahun Anggaran (TA) 2017 kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, berbagai persyaratan mendasar nyatanya belum terpenuhi. Di antaranya, hasil peninjauan desain paket DED-10 belum diserahkan oleh Team Leader Tenaga Ahli PT Dardella Yasa Guna Arista, Gunawan, kepada PPK dan KPA. Lebih jauh, hasil peninjauan desain tersebut juga belum mendapat persetujuan resmi dari Direktur Prasarana Perkeretaapian pada Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
Serangkaian pelanggaran prosedur lainnya juga terungkap. Proyek tersebut belum memiliki penetapan trase dari Menteri Perhubungan, tidak dilengkapi dengan prastudi kelayakan (preliminary feasibility study) maupun studi kelayakan (feasibility study) yang komprehensif. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) belum dilakukan, dan proses pembebasan lahan esensial juga belum terlaksana. Proyek ini diduga tidak dilengkapi dengan kerangka acuan kerja, rencana anggaran biaya, spesifikasi teknis, serta dokumen studi kelayakan proyek yang menjadi standar. Ironisnya, proyek vital ini juga tidak tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) TA 2017, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, mempertegas kecerobohan dan penyimpangan dalam perencanaannya.
Akibat perbuatan Prasetyo yang dilakukan bersama-sama dengan terdakwa lain, negara diduga mengalami kerugian fantastis mencapai Rp 1,16 triliun. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh Prasetyo telah diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menunjukkan bahwa jaksa menuntut berdasarkan delik korupsi dengan ancaman hukuman berat, mengingat besarnya dampak finansial dan prosedural yang ditimbulkan.