## Putus Tali Silaturahmi dengan Orang Tua: Sebuah Keputusan Berat yang Semakin Umum?
Sarah memutuskan hubungan dengan ibunya saat baru berusia 21 tahun. Bukan keputusan mudah, ini adalah puncak dari akumulasi kekecewaan dan luka mendalam. Sikap dingin, egois, dan ketidakpedulian ibunya, ditambah lagi kegagalan melindungi Sarah dari kekerasan ayahnya, menjadi alasan utama. Dua hingga tiga tahun berlalu tanpa komunikasi, hingga Sarah memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Bahkan saat menghubungi orang tuanya sebelum pergi, tidak ada penyesalan atau usaha memperbaiki hubungan dari pihak orang tua. Selama 20 tahun berikutnya, hubungan mereka tetap renggang.
Kisah Sarah bukanlah satu-satunya. Meskipun data sulit ditemukan, semakin banyak orang yang memutuskan hubungan dengan orang tua mereka. Ini memunculkan pertanyaan penting: kapan waktu yang tepat untuk memutuskan hubungan? Apakah keputusan ini akan membawa kebahagiaan dan kedamaian? Dan yang terpenting, apa tanggung jawab anak terhadap orang tua, dan sebaliknya?
Lucy Blake, dosen senior psikologi di University of the West of England, menyebut pemutusan hubungan keluarga sebagai topik tabu dan menakutkan. Studi di AS pada tahun 2022 menunjukkan 26% responden pernah mengalami kerenggangan dengan ayah mereka, dan 6% dengan ibu mereka selama 24 tahun. Studi serupa di Jerman menemukan angka 9% dan 20% untuk ibu dan ayah masing-masing. Penelitian Karl Pillemer dari Cornell University bahkan menunjukkan 10% responden benar-benar memutuskan hubungan tanpa kontak sama sekali. Meskipun sulit memastikan tren peningkatannya, para peneliti meyakini fenomena ini semakin umum, seiring melemahnya norma solidaritas keluarga yang kuat di generasi sebelumnya.
Joshua Coleman, psikolog klinis, menambahkan faktor individualisme yang meningkat sebagai pemicu. Budaya yang berfokus pada diri sendiri, identitas, dan kebahagiaan pribadi ini membuat hubungan dengan orang lain menjadi nomor dua. Media sosial dan tren terapi yang terkadang “mendiagnosis” anggota keluarga tanpa konfirmasi langsung juga memperkuat hal ini. Coleman menyoroti banyak klien dewasa yang menuduh orang tua mereka toksik setelah menjalani terapi, suatu hal yang perlu dikaji secara etis.
Namun, bukan berarti memutuskan hubungan selalu keputusan buruk. Pillemer menekankan adanya alasan kuat, seperti pengalaman kekerasan masa kecil. Coleman menambahkan, ketidaksesalan orang tua atas perilaku mereka dan penolakan untuk mendengarkan juga menjadi alasan yang valid. Riset menunjukkan pemutusan hubungan sering kali merupakan akumulasi interaksi negatif kecil, termasuk konflik dengan mertua, perceraian orang tua, perbedaan politik, hingga penerimaan identitas seksual anak. Pelecehan emosional, menurut Blake, merupakan penyebab utama dalam survei terhadap orang-orang yang secara aktif mencari dukungan.
Meskipun penting untuk menyadari potensi penyalahgunaan istilah “pelecehan emosional,” jangan pula meremehkan dampak trauma masa lalu. Coleman mengingatkan bahwa norma pengasuhan berubah. Apa yang dianggap pelecehan di masa kini mungkin tidak demikian di masa lalu.
Filsuf Christopher Cowley dari University College Dublin mengangkat dilema moralnya. Di satu sisi, anak berutang banyak kepada orang tua, namun kewajiban tersebut hilang jika anak mengalami pelecehan yang mengerikan. Cowley membandingkan hubungan ideal orang tua dan anak dewasa seperti persahabatan, di mana tanggung jawab bergeser seiring usia. Pada usia tua orang tua, anak diharapkan menunjukkan lebih banyak kesabaran dan belas kasihan. Memahami konteks dan faktor eksternal orang tua, seperti penyakit mental atau kesulitan ekonomi, sangat penting dalam menilai perilaku mereka.
Mencoba memahami perilaku orang tua dapat memberikan ketenangan, mengurangi rasa sakit, meski tidak berarti memaafkan atau kembali menjalin hubungan. Cowley juga menyarankan untuk mempertimbangkan dampak psikologis jangka panjang sebelum memutuskan hubungan, dan mempertimbangkan kemungkinan dampak jika hubungan tersebut terputus selamanya.
Penerapan prinsip timbal balik – memperlakukan orang lain seperti yang kita ingin diperlakukan – juga penting. Kita semua bisa membuat kesalahan, dan ingatan masa kecil mungkin tidak selalu akurat. Mempertimbangkan hal ini dapat membantu mengurangi narasi negatif tentang diri sendiri dan orang tua.
Apakah memutuskan hubungan membawa kebahagiaan? Untuk banyak orang, ya. Coleman mencatat banyak anak dewasa merasa lebih bahagia dan kurang stres setelahnya. Namun, keterasingan juga dapat mengisolasi dan menciptakan masalah baru, terutama pada hari-hari besar. Penting untuk membangun jaringan dukungan alternatif. Sekitar seperempat responden dalam riset Pillemer tidak terganggu oleh keterasingan, namun banyak yang merasa sedih dan takut menyesali keputusan mereka.
Cowley, Pillemer, dan Coleman menyarankan untuk menjaga jarak hanya untuk jangka waktu terbatas, lalu mencoba menghubungi kembali setelah satu tahun. Keterasingan lebih berdampak buruk bagi orang tua, dan sering kali mereka yang perlu berusaha keras untuk memperbaiki hubungan. Studi menunjukkan banyak yang akhirnya berdamai, setidaknya untuk sementara waktu. Kisah Sarah menjadi contohnya, ia kini memiliki kontak terbatas dengan ibunya yang sudah tua dan sakit.
Kesimpulannya, tidak ada rumus pasti. Orang tua tidak berutang masa kecil sempurna, dan anak tidak berutang rasa terima kasih abadi. Empati, refleksi diri, dan kemauan untuk mendengarkan adalah kunci dalam membangun hubungan yang sehat, atau dalam menghadapi keputusan berat untuk memutuskan hubungan.
Jika kesehatan mental Anda, atau seseorang yang Anda kenal terganggu, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567, SMS 081281562620, dan alamat email [email protected]
(Tautan artikel terkait tetap dipertahankan)