Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, mengakhiri era pemilu serentak “lima kotak” yang berlaku hingga Pemilu 2024. Putusan ini, yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, mengabulkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diajukan Perludem. Pemilu lokal, meliputi pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala/wakil kepala daerah, kini harus diselenggarakan minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah Pemilu Nasional (Pemilu anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden). Ketua MK, Suhartoyo, menekankan pemisahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan menyederhanakan proses bagi pemilih.
Namun, putusan MK ini menuai kontroversi. Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin (PKB), menilai putusan tersebut paradoksal. Ia mempertanyakan konsistensi MK yang sebelumnya memberikan enam opsi model keserentakan pemilu, namun kini hanya menetapkan satu model. Khozin menegaskan bahwa penentuan model keserentakan merupakan wewenang pembentuk UU (DPR dan Presiden), bukan MK, merujuk pada pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Ia khawatir putusan ini berdampak pada kelembagaan pembentuk UU, penyelenggaraan pemilu, dan aspek teknis pelaksanaan. Meskipun demikian, DPR menyatakan akan mempertimbangkan putusan ini dalam revisi UU Pemilu yang akan segera dibahas.
Putusan MK ini juga membawa implikasi lain. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati, melihat putusan ini sebagai mekanisme *checks and balances*, menjamin berjalannya fungsi kontrol dan pengawasan pemerintahan daerah. Pemisahan pemilu nasional dan lokal memungkinkan DPRD dan pemerintah daerah untuk memiliki *start* kerja yang sama, dan sekaligus menghilangkan wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Ia mendesak DPR dan pemerintah untuk segera merevisi UU Pemilu dan Pilkada secara terkodifikasi.
Revisi UU Pemilu menjadi pekerjaan rumah besar, menurut Direktur Eksekutif Puskapol UI, Hurriyah. Ia menekankan pentingnya revisi UU Pemilu dibarengi dengan reformasi partai politik untuk menghindari masalah klasik dalam pencalonan legislatif dan mekanisme internal partai yang dapat menghambat kompetisi demokratis, khususnya bagi perempuan.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin (Golkar), memandang putusan MK sebagai momentum untuk mendesain ulang model pemilu dan pilkada sesuai struktur pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Ia menilai putusan tersebut menegaskan adanya dua entitas politik, yaitu politik nasional dan politik daerah, yang membutuhkan pengelolaan yang disesuaikan. Zulfikar menambahkan bahwa putusan ini memudahkan pemilih dan penyelenggara pemilu, serta memperkuat kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi tetap. Ia juga berharap putusan ini dapat memunculkan budaya politik baru yang meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah.
Kontributor: Dede Leni Mardianti, Daniel Ahmad Fajri, dan Antara.
Pilihan editor: Mengapa PSI Tak Bisa Lepas dari Bayang-bayang Jokowi