Kopenhagen: Rahasia Kebahagiaan di Balik Kota Terbahagia di Dunia
Sebuah sapaan tulus, “Semoga hari Anda menyenangkan,” dari seorang ibu paruh baya di pusat kota Kopenhagen, menjadi pembuka pengalaman tak terlupakan saya. Saat itu, Google Maps mendadak tak berfungsi, membuat saya kebingungan. Namun, kebaikan ibu tersebut—yang bahkan rela mengakhiri panggilan teleponnya untuk membantu saya—mencerminkan kehangatan yang saya rasakan selama berada di kota ini. Kehangatan yang mungkin menjadi kunci mengapa Kopenhagen konsisten menempati peringkat kota terbahagia di dunia.
Berbagai survei memang menempatkan Denmark sebagai negara dengan tingkat kebahagiaan penduduk tinggi. Namun, apa sebenarnya ukuran kebahagiaan tersebut? Dari sudut pandang warga lokal, jawabannya terletak pada kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah. Mereka merasakan pemerintah benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka.
Benar, biaya hidup di Denmark tinggi, termasuk di antara yang termahal di Eropa. Namun, pendapatan rata-rata yang tinggi dan fasilitas publik yang luar biasa menjadi penyeimbangnya. Pajak yang tinggi dibayar dengan imbal balik yang nyata: pendidikan gratis hingga tingkat magister, layanan kesehatan gratis, transportasi umum yang efisien, dan akses mudah ke taman serta ruang rekreasi. Sistem ini berjalan efektif berkat kepercayaan tinggi masyarakat terhadap pemerintah.
Suasana Kopenhagen pun terasa unik: santai namun produktif, ramah namun tak berlebihan, dengan sentuhan aristokrasi yang elegan namun tak sombong. Pengamatan sederhana di restoran—warga lokal bercengkrama dengan tenang—dan di transportasi umum—keheningan yang mencerminkan rasa hormat—menambah kekayaan pengalaman saya. Para petugas, di stasiun, toko, maupun tempat wisata, menunjukkan keramahan yang tulus, melampaui sekadar profesionalisme.
Kemampuan berkomunikasi dalam dua bahasa, khususnya di tempat umum dan restoran, mempermudah interaksi dengan warga lokal. Yang paling mengesankan adalah bagaimana mereka memastikan lawan bicara benar-benar memahami informasi yang disampaikan, bukan sekadar memberikan jawaban. Sikap menghargai orang lain ini, menurut saya, merupakan kunci kebahagiaan yang sering kita abaikan. Di era individualistis ini, sikap tersebut menjadi semakin langka dan berharga.
Happiness Report 2025 menyebutkan beberapa elemen kunci kebahagiaan suatu negara: kepedulian dan berbagi, koneksi sosial, kepercayaan, perilaku prososial, dan memberi kepada sesama. Semua elemen ini saya rasakan secara nyata di Denmark. Bandingkan dengan Harvard Report 2017 yang menyebut kesepian sama bahayanya dengan merokok atau alkohol. Di Kopenhagen, dengan kotanya yang tertata rapi, berbagai fasilitas publik gratis seakan menjadi penawar kesepian dan penumbuh kebahagiaan.
Artikel ini bukanlah promosi pariwisata. Sebaliknya, ini adalah refleksi atas kekayaan alam dan budaya Indonesia yang berpotensi menciptakan kebahagiaan serupa. Tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan budaya kepedulian dan berbagi, membangun kepercayaan sosial, dan menciptakan ruang bagi interaksi yang tulus.
Mungkin kunci kebahagiaan Kopenhagen terletak pada kesediaan setiap individu untuk mengucapkan “Semoga hari Anda menyenangkan” dengan tulus. Sebuah pelajaran sederhana, namun berdampak besar, yang dapat kita terapkan di mana pun kita berada.