Berikut adalah artikel yang telah ditingkatkan:
—
Kerugian dan Kontroversi Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil: Antara Pendapatan Negara dan Ancaman Lingkungan
Pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) dari empat perusahaan di Raja Ampat, namun satu perusahaan besar, PT Gag Nikel yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN), masih dipertahankan. Keputusan ini memicu perdebatan sengit mengenai keuntungan versus kerugian dari kegiatan pertambangan yang mengancancam setidaknya 35 pulau kecil lain di seluruh Nusantara. Di tengah sorotan terhadap potensi kerusakan lingkungan, pertanyaan besar muncul: apakah pendapatan negara dari sektor mineral dan batu bara, yang pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp107,8 triliun (turun dari tahun sebelumnya), sebanding dengan estimasi kerugian ekologis yang mencapai Rp60 triliun per tahun menurut para ahli?
Kontroversi pertambangan nikel di Raja Ampat, yang dikenal sebagai jantung keanekaragaman hayati laut dunia, menjadi titik fokus diskusi ini. Pulau-pulau kecil tersebut, yang merupakan ruang hidup bagi masyarakat lokal, benteng pesisir alami, dan episentrum keanekaragaman hayati, kini menghadapi dilema besar.
### Perkembangan Terbaru Kontroversi Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Pemerintah secara resmi mencabut izin empat perusahaan pertambangan di Raja Ampat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, pada Selasa (10/06) di Istana Negara, Jakarta, menegaskan bahwa pencabutan ini berlaku untuk PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Alasan utama pencabutan adalah masalah lingkungan dan keberadaan sebagian wilayah konsesi di kawasan geopark.
Namun, nasib berbeda dialami PT Gag Nikel. Meskipun izinnya tidak dicabut, Bahlil menyatakan bahwa perusahaan ini akan diawasi secara ketat terkait implementasi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan reklamasi. “Jadi amdalnya harus ketat, reklamasinya harus ketat, tidak boleh merusak terumbu karang,” tegas Bahlil, menjamin pengawasan maksimal di Raja Ampat.
Keputusan ini justru bertolak belakang dengan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada 8 Juni lalu. KLH mengungkapkan bahwa operasional PT Gag Nikel di Pulau Gag seluruhnya berada di kawasan hutan lindung dan termasuk kategori pulau kecil. Atas dasar itu, KLH berencana meninjau ulang izin persetujuan lingkungan perusahaan dan memerintahkan pemulihan dampak ekologis yang telah terjadi.
### Identifikasi Kerusakan Akibat Empat Perusahaan di Raja Ampat
Kementerian Lingkungan Hidup telah merinci dampak dan pelanggaran yang dilakukan oleh empat perusahaan yang izinnya kini dicabut:
* PT Anugerah Surya Pratama, yang beroperasi di Pulau Manuran dan Waigeo, disebut KLH memicu pencemaran serius akibat jebolnya ‘settling pond’ dan aktivitas di kawasan suaka alam. KLH menyatakan akan meninjau ulang izin lingkungan serta menempuh langkah hukum pidana dan perdata. IUP perusahaan ini seharusnya berlaku hingga 2033.
* PT Kawei Sejahtera Mining, yang menambang di Pulau Kawe—pulau kecil di kawasan hutan produksi—terbukti beraktivitas di luar area yang diizinkan. Pelanggaran ini akan berujung pada peninjauan kembali izin lingkungan dan tindakan hukum. Perusahaan ini memulai produksi pada 2023 dengan IUP yang berlaku hingga 2033.
* PT Mulia Raymond Perkasa melakukan eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele tanpa dokumen lingkungan yang sah dan tanpa persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH). KLH akan menghentikan kegiatan perusahaan ini dan mengambil langkah hukum. IUP perusahaan ini baru diterbitkan Januari 2024 dan berlaku hingga 2034.
* Adapun PT Nurham, meskipun telah mengantongi IUP seluas 3.000 hektare di Pulau Waigeo untuk tahun 2025, belum memulai operasi.
Penting dicatat bahwa kawasan Raja Ampat adalah pusat keanekaragaman hayati laut global dan ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional konservasi melalui Peraturan Presiden 81/2023. Ironisnya, sebelumnya pada 8 Juni, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, sempat menyatakan bahwa “secara keseluruhan tambang ini tidak ada masalah” setelah melakukan peninjauan di Raja Ampat.
### Ancaman Pertambangan pada Ribuan Pulau Kecil di Indonesia
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki lebih dari 16.000 di antaranya yang masuk kategori pulau kecil. Data Forest Watch Indonesia (FWI) pada tahun 2022 bahkan menyebutkan ada sekitar 19.000 pulau kecil dengan total luas mencapai tujuh juta hektare.
Tragisnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat setidaknya 35 pulau kecil di antaranya berpotensi besar terdampak aktivitas pertambangan. Di pulau-pulau ini, terdapat 195 izin usaha pertambangan (IUP) yang mencakup konsesi seluas 351.933 hektare. Jatam menyimpulkan, “Ironisnya, seluruh pertambangan itu berlangsung dengan restu negara dan atas nama pembangunan, dan tidak sedikit mengatasnamakan pembangunan hijau.”
Sebagai contoh nyata, Pulau Kabaena di ujung Sulawesi Tenggara, kini 73% atau 650 kilometer persegi dari total wilayahnya telah dibebani puluhan IUP. Laporan dari Setya Bumi, sebuah LSM HAM dan lingkungan, mengungkapkan bahwa “demam nikel” di Kabaena telah mengakibatkan “penggundulan hutan, pencemaran laut, dan dampak signifikan terhadap mata pencarian penduduk setempat, khususnya masyarakat adat Bajau, yang menghadapi degradasi lingkungan, serta pencemaran sungai dan air laut.” Selain ancaman pertambangan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menyebutkan bahwa hingga pertengahan 2023, setidaknya 226 pulau kecil telah diprivatisasi untuk kepentingan pariwisata, konservasi, hingga pertambangan.
### Analisis Untung-Rugi Pertambangan di Pulau Kecil: Kerusakan Tak Terpulihkan
Koordinator Jatam, Melky Nahar, menegaskan bahwa kerusakan di pulau-pulau kecil akibat pertambangan berpotensi menimbulkan dampak ekologis yang tak dapat dipulihkan. “Pulau kecil menyimpan fungsi ekologis penting, misalnya sebagai benteng pesisir, wilayah tangkapan ikan, dan ruang hidup masyarakat adat, dan nelayan,” jelas Melky.
Ia menambahkan, begitu satu kawasan ditambang, tidak ada ruang cadangan atau alternatif lokasi bagi warga untuk hidup. “Artinya, kerusakan yang terjadi bersifat total dan tak bisa dipulihkan,” imbuhnya. Kerusakan semacam itu telah disaksikan di Pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara), dan Pulau Gebe (Maluku Utara), di mana pencemaran laut dan pesisir akibat pembuangan limbah tambang dan sedimentasi menjadi pemandangan umum.
Selain dampak ekologis, pertambangan di pulau kecil juga mencabut mata pencarian warga lokal, terutama nelayan dan petani pesisir, serta menimbulkan gangguan kesehatan akibat paparan debu, logam berat, dan limbah. Kemiskinan struktural pun muncul karena masyarakat kehilangan lahan produksi dan terpaksa bergantung pada pekerjaan di lokasi pertambangan yang tidak menentu. Catatan Jatam menunjukkan, antara 2022-2023, tidak kurang dari 100 warga menghadapi masalah hukum karena menolak kegiatan tambang.
### Valuasi Kerugian Akibat Kerusakan Ekosistem Pulau Kecil
Pertambangan di pulau kecil secara signifikan menurunkan nilai kontribusi alam atau ekosistem terhadap manusia, yang dalam bahasa akademis dikenal sebagai *nature’s contribution to people* (NCP). Hirmas Putra, Dosen Ekologi di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bagaimana nilai ini dapat dihitung.
“Contohnya nilai ekosistem sebagai penyedia pangan bagi populasi manusia di sebuah pulau kecil dirupiahkan. Komoditas apa yang ada, apakah padi, jagung atau apa, tinggal dikali saja dengan nilai ekonominya saat ini,” kata Hirmas. Untuk pariwisata, daya dukung pulau dapat dihitung, misalnya 50 orang per hari dengan tiket masuk Rp100.000, menghasilkan Rp5 juta per hari. Hutan di pulau kecil juga berkontribusi sebagai wilayah serapan karbon, yang memiliki nilai ekonomis di pasar karbon global. “Kalau hutannya dibabat, berarti kita kehilangan berapa rupiah dari serapan karbon,” ujarnya.
### Pulau Kecil: Pusat Vital Keanekaragaman Hayati
Hirmas Putra menekankan bahwa seluruh jejaring dalam ekosistem pulau kecil, termasuk satwa, tumbuhan, mikroba tanah, dan sumber mata air, memiliki nilai intrinsik. Ada pula nilai non-material seperti informasi pembelajaran dan pariwisata.
Lebih lanjut, pulau kecil diduga kuat memiliki keanekaragaman hayati yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain—sebuah fenomena yang dikenal sebagai *biodiversity hotspot*. “Di dalam pulau kecil ada spesies-spesies endemik, spesies yang ukuran populasinya kecil, yang dalam bahaya kepunahan, atau sudah terancam punah,” tuturnya. Pembukaan pulau kecil untuk pertambangan akan menyebabkan hilangnya tempat singgah (shelter) bagi satwa-satwa ini, yang pada akhirnya memicu fragmentasi habitat dan ancaman kepunahan.
### Pendapatan Negara dari Sektor Pertambangan: Angka yang Menurun
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, melaporkan bahwa kementeriannya secara total memperoleh Rp269,6 triliun dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 2024. Angka ini tidak mencapai target dan lebih kecil dibandingkan realisasi tahun 2023 yang mencapai Rp299,5 triliun.
Dari total PNBP 2024 tersebut, sektor minyak dan gas menyumbang Rp110,9 triliun, industri mineral dan batu bara menghasilkan Rp140,5 triliun, sementara energi baru, terbarukan, dan konservasi energi menyumbang Rp2,8 triliun. Secara keseluruhan, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian ESDM menunjukkan bahwa pada tahun 2023, industri migas, minerba, dan energi terbarukan menghasilkan Rp2.198 triliun, setara dengan 10,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp20.892 triliun.
### Dampak Ekonomi: Terus Menurun dan Tak Sebanding dengan Kerugian Lingkungan
Wishnu Try Utomo, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), mempertanyakan keabsahan angka pendapatan pemerintah. Menurut Wishnu, realisasi PNBP minerba pada tahun 2024, berdasarkan data Kementerian Keuangan, justru sekitar Rp107,8 triliun, angka yang jauh lebih rendah dan menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan tahun 2023.
Meskipun pertambangan menyerap tenaga kerja, mendorong pembangunan infrastruktur, dan menciptakan efek berganda, kontribusinya dinilai lebih kecil dibandingkan sektor lain seperti perhutanan, perikanan, dan kelautan yang menyumbang 13% dari PDB. Wishnu memprediksi kontribusi pertambangan terhadap pendapatan negara akan terus menurun di masa depan. Komoditas seperti batu bara dianggap “hampir usang” karena tren global menuju mitigasi krisis iklim, sementara harga nikel, meskipun berpotensi menjadi komoditas penting, diproyeksikan turun akibat kekhawatiran *oversupply* dan catatan jejak karbon serta pelanggaran produksi nikel Indonesia.
Wishnu menegaskan bahwa kontribusi ekonomi sektor pertambangan sangat tidak sebanding dengan kerugian masif yang ditimbulkan. Ia merujuk pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus pembuangan limbah tailing Freeport dari 2013 hingga 2015, yang menaksir kerugian mencapai Rp185 triliun. Kasus PT Timah bahkan lebih mencengangkan, dengan kerugian sekitar Rp271 triliun selama delapan tahun, atau sekitar Rp33 triliun per tahun dari satu perusahaan saja.
Secara nasional, berdasarkan kajian Celios, kerugian akibat industri pertambangan mencapai Rp60 triliun per tahun. Angka ini mencakup deforestasi, pencemaran ekosistem perairan, dan biaya kesehatan—baik langsung maupun tidak langsung. Kerusakan ekosistem yang kompleks seperti terumbu karang atau ekosistem laut membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih, menegaskan bahwa biaya lingkungan tidak hanya berbentuk rupiah, tetapi juga waktu yang tak ternilai.
—