Saham Batubara: Antara Ketidakpastian dan Peluang Rebound
Industri batubara Indonesia masih menghadapi tantangan berat akibat penurunan permintaan global. Ekspor batubara nasional periode Januari-April 2025 mencapai 160 juta ton, lebih rendah dari 171 juta ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya permintaan dari China dan India, dua konsumen utama batubara dunia. Reuters melaporkan potensi penurunan impor batubara China hingga 100 juta ton pada 2025, sementara India mengurangi impor seiring peningkatan produksi energi terbarukan. Kondisi ini menekan harga batubara global yang, meskipun mengalami pertumbuhan 6,31% dalam sebulan terakhir, masih terkoreksi 22,12% year on year (yoy), berada di level US$ 105,25 per ton. Namun, di tengah ketidakpastian ini, peluang *rebound* di sektor saham batubara tetap terbuka.
Liza Camelia Suryanata, *Head of Research* Kiwoom Sekuritas Indonesia, melihat pergerakan harga batubara mengikuti siklus khas: fase *bearish* (2-3 tahun) diikuti fase *bullish* dengan durasi serupa. Ia mencontohkan periode 2011-2015, di mana harga batubara mengalami penurunan hingga -29%, kemudian pulih dengan penguatan 75% pada 2016. Saat ini, pasar berada dalam fase pelemahan baru dengan koreksi 64% pada 2023 dan 14% pada 2024, serta anjlok 15,97% year to date (ytd) pada 2025. Liza memperkirakan 2025 dapat menjadi titik balik (*bottoming*), menandai awal akumulasi untuk siklus komoditas berikutnya. Namun, pembalikan ini bergantung pada faktor makro seperti dinamika geopolitik, yang dapat meningkatkan biaya produksi dan harga energi, serta pelemahan dolar AS. Risiko resesi global dan percepatan transisi energi hijau tetap menjadi tantangan utama.
Ekky Topan, *Investment Analyst* Infovesta Utama, menganggap harga batubara telah mencapai titik terendah (*bottoming*) dan peluang *bullish* cukup besar. Redanya perang tarif AS-China dan ketegangan geopolitik global berpotensi meningkatkan impor batubara China dan mendorong harga komoditas energi. Peningkatan konsumsi domestik seiring pemulihan ekonomi dan hilirisasi juga menjadi faktor pendukung. Emiten dengan struktur biaya rendah, kontrak ekspor jangka panjang, dan cadangan besar seperti Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan Bumi Resources (BUMI) berpeluang optimal. Emiten dengan distribusi domestik kuat seperti Bukit Asam (PTBA) juga diuntungkan. Diversifikasi bisnis, seperti yang dilakukan oleh Adaro Energy (ADRO), Indika Energy (INDY), Harum Energy (HRUM), dan United Tractors (UNTR), menjadi strategi penting menghadapi transisi energi hijau dan regulasi karbon.
Ekky merekomendasikan ITMG dan UNTR sebagai saham menarik, dengan target harga jangka panjang masing-masing Rp 26.000 dan Rp 26.550 per saham. Liza menyarankan investor untuk mempertimbangkan PTBA, ITMG, dan HRUM untuk portofolio jangka menengah hingga panjang, memanfaatkan potensi pembalikan tren harga batubara. Kesimpulannya, meskipun dibayangi ketidakpastian, sektor saham batubara menawarkan peluang menarik bagi investor yang memiliki strategi jangka panjang dan memahami risiko yang terkait.