# Pengajuan Keadilan Restoratif oleh Mahasiswa Trisakti Pasca-Demo Tragedi 1998: Syarat dan Mekanismenya
Jakarta – Mahasiswa Universitas Trisakti yang ditetapkan sebagai tersangka menyusul aksi demonstrasi peringatan 27 tahun Tragedi Trisakti di depan Balai Kota Jakarta berencana mengajukan keadilan restoratif, sebuah langkah hukum progresif untuk menyelesaikan perkara pidana. Tim kuasa hukum para mahasiswa tersebut kini tengah intens berkoordinasi dengan pihak kepolisian, khususnya Polda Metro Jaya, guna membahas implementasi mekanisme keadilan restoratif ini.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan bahwa pertemuan terdekat antara tim kuasa hukum dan kepolisian dijadwalkan pada awal pekan depan. “Rencana pertemuan terdekatnya awal pekan depan,” kata Usman saat dikonfirmasi pada Jumat, 30 Mei 2025. Proses ini menunjukkan adanya upaya kolaboratif untuk mencari solusi di luar jalur peradilan konvensional.
Menanggapi inisiatif tersebut, Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Reonald Simanjuntak, menjelaskan bahwa terdapat beberapa prasyarat krusial yang harus dipenuhi oleh para tersangka agar permohonan keadilan restoratif mereka dapat dipertimbangkan. “Mereka harus menunjukkan penyesalan dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,” tegas Reonald, juga pada Jumat, 30 Mei 2025. Ia menambahkan bahwa para mahasiswa harus menunjukkan itikad baik sepanjang proses penyidikan, meskipun penyidik berkomitmen untuk menuntaskan proses penyidikan terlebih dahulu.
Keadilan restoratif, atau *restorative justice*, merupakan konsep hukum modern yang proses implementasinya diatur secara komprehensif dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah menyelesaikan perkara pidana dengan melibatkan secara aktif pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, serta pihak-pihak terkait lainnya, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan mengedepankan pemulihan. Berbeda dengan sistem pembalasan, fokus utama dari keadilan restoratif adalah pemulihan keadaan semula.
Secara lebih rinci, *restorative justice* dapat diwujudkan melalui proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak, termasuk tokoh masyarakat. Proses penyelesaian perkara ini tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana, tetapi juga menekankan pemulihan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat. Pelaku didorong untuk bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sementara korban diberi ruang partisipasi aktif dan kesempatan untuk mendapatkan hak-haknya secara maksimal, memberdayakan mereka lebih dari sistem peradilan tradisional.
Penerapan *restorative justice* tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Setidaknya, terdapat empat kategori perkara pidana yang memenuhi syarat untuk diajukan melalui pendekatan keadilan restoratif:
1. Tindak Pidana Ringan
Berdasarkan Panduan Penerapan *Restorative Justice* yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, pendekatan ini terbatas pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 407 (perusakan ringan), dan 482 (perbuatan yang mengakibatkan luka ringan). Masing-masing pasal ini memiliki ancaman hukuman penjara maksimal tiga bulan atau denda.
2. Perkara Anak
Dalam kerangka Panduan Penerapan *Restorative Justice* Mahkamah Agung, perkara yang melibatkan anak di bawah 18 tahun, baik sebagai pelaku maupun korban tindak pidana, diatur dengan ketentuan khusus. Pedoman ini menjamin perlakuan istimewa terhadap anak yang menjadi korban kekerasan fisik, mental, maupun kerugian ekonomi akibat tindak pidana.
3. Perkara Narkotika
Pendekatan *restorative justice* dalam penanganan kasus narkotika, sesuai Panduan Mahkamah Agung, secara spesifik hanya bisa diterapkan kepada pecandu. Penyelesaian menggunakan keadilan restoratif dapat dilakukan jika pelaku tertangkap tangan oleh penyidik dari Polri atau Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan barang bukti berupa penggunaan narkotika untuk satu hari.
4. Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Perempuan yang terlibat dalam permasalahan hukum menerima perlakuan khusus, baik sebagai korban, saksi, maupun pihak pelaku. Selain diatur dalam perundang-undangan domestik, perlindungan dan perlakuan khusus ini juga selaras dengan instrumen hukum internasional seperti Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Pengajuan keadilan restoratif oleh mahasiswa Trisakti ini menggarisbawahi relevansi dan potensi *restorative justice* sebagai jalur penyelesaian hukum yang berfokus pada pemulihan dan keadilan sosial, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan demonstrasi atau protes.
Oyuk Ivani Siagian, Muhammad Syaifulloh, dan Ananda Bintang Purwaramdhona berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Cara Polisi Mengungkap Kecelakaan Mahasiswa UGM Secara Ilmiah