Revisi Krusial RKAB Minerba: Pemerintah Kembali ke Persetujuan Tahunan demi Keseimbangan Pasar
Jakarta, Ragamharian.com – Langkah strategis diambil oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dengan merevisi mekanisme persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sektor mineral dan batu bara (minerba). Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) minerba kini diwajibkan mengajukan dokumen RKAB setiap satu tahun sekali, mengembalikan skema yang berlaku sebelumnya setelah sempat diterapkan tiga tahunan.
Kebijakan baru ini mendapatkan respons positif dari pelaku industri. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyatakan kesiapan asosiasi untuk mematuhi arahan pemerintah. “Kami menghormati pemerintah. Jika proses dan pelaksanaannya dianggap lebih baik oleh pemerintah, kami siap mengikuti,” ujar Hendra, dikutip pada Kamis, 24 Juli 2025.
Sebagai informasi, RKAB merupakan laporan detail yang wajib disampaikan oleh pemilik usaha pertambangan minerba kepada menteri, mencakup aspek pengusahaan, teknik, dan lingkungan. Kewajiban pelaporan setahun sekali ini bukan hal baru; skema serupa pernah berlaku sebelumnya. Namun, pada tahun 2023, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur persetujuan RKAB untuk jangka waktu tiga tahun, mengubah mekanisme sebelumnya. Hendra Sinadia sendiri berpandangan bahwa kedua opsi skema pelaporan tersebut sama-sama baik, asalkan selaras dengan proses bisnis dan harapan pemerintah serta pelaku usaha. “Kami ikut saja, satu tahun atau tiga tahun. Sejak awal saya sampaikan, keduanya adalah opsi yang sudah berjalan bagus,” tambahnya.
Kepastian penerapan skema pelaporan RKAB setahun sekali ini telah ditegaskan oleh Bahlil Lahadalia, dengan rencana implementasi penuh pada tahun 2026. “Saya pastikan tahun depan jalan,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 14 Juli 2025. Usulan perubahan mekanisme ini mencuat dalam rapat kerja antara Bahlil dan Komisi XII DPR RI pada Rabu, 2 Juli 2025. Salah satu alasan utama di balik peninjauan ulang adalah bahwa persetujuan RKAB dalam jangka waktu tiga tahun dinilai menyebabkan ketidaksesuaian laporan kegiatan produksi pertambangan dengan kebutuhan industri, serta fluktuasi harga dan permintaan global.
Wakil Ketua Komisi XII, Bambang Hariyadi, menegaskan dampak negatif dari sistem RKAB tiga tahunan, yang menurutnya memicu kelebihan pasokan mineral dan batu bara di pasar domestik. Kondisi pasokan berlebih ini, pada gilirannya, berdampak signifikan terhadap harga komoditas. “Setelah kebijakan RKAB tiga tahun dijalankan, ternyata produksinya terlalu tinggi dibandingkan daya serap industri. Contohnya bauksit, RKAB-nya mencapai 45 juta ton, tapi yang terserap hanya sekitar 20 juta ton. Ketimpangannya sangat besar,” jelas Bambang, menyoroti urgensi perubahan kebijakan ini.
Melihat kondisi tersebut, DPR telah meminta pemerintah untuk mengkaji ulang secara mendalam sistem pengajuan RKAB. Dalam rapat kerja yang sama, DPR dan Bahlil Lahadalia telah menyepakati untuk meninjau kembali aturan RKAB bagi pemegang izin usaha pertambangan minerba, demi tercapainya keseimbangan produksi dan pasar yang lebih optimal.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini