Rupiah Kembali Melemah di Tengah Kekhawatiran Ekonomi dan Volatilitas Pasar
Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu, 9 Juli. Pergerakan kurs rupiah ini menjadi sorotan utama di pasar keuangan domestik, mengingat dampaknya terhadap stabilitas ekonomi. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah spot tercatat melemah 0,32% secara harian, ditutup pada posisi Rp 16.258 per dolar AS. Sementara itu, data dari Jisdor Bank Indonesia (BI) menunjukkan pelemahan yang lebih tipis, yakni 0,10%, membawa kurs rupiah ke level Rp 16.254 per dolar AS.
Kekhawatiran Lapangan Kerja dan Dampaknya pada Rupiah
Pelemahan kurs rupiah ini, menurut pengamatan Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi, tidak lepas dari sentimen negatif di tengah masyarakat. Salah satu pemicu utamanya adalah kekhawatiran yang kian meningkat terkait ketersediaan lapangan kerja, yang berdampak langsung pada menurunnya keyakinan publik terhadap ekspektasi penghasilan di masa mendatang. Kondisi psikologis ini secara tidak langsung memengaruhi persepsi terhadap ekonomi makro dan pada akhirnya, nilai tukar mata uang.
Dukungan terhadap pandangan Ibrahim diperkuat oleh survei Bank Indonesia yang menunjukkan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) berada di zona pesimistis. Data terkini, per Juni 2025, mencatat IKLK di angka 94,1, menunjukkan penurunan signifikan dari bulan sebelumnya yang berada di 95,7. Angka ini menandakan prospek lapangan kerja yang semakin suram dibandingkan enam bulan sebelumnya, memicu kecemasan di kalangan pekerja dan pelaku usaha.
Ibrahim menegaskan bahwa kondisi ini patut menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih tinggi di masa mendatang dapat menjadi ancaman nyata, yang pada gilirannya berpotensi memperparah angka pengangguran dan menekan daya beli masyarakat. Sentimen negatif inilah yang turut memberi tekanan pada nilai tukar rupiah.
Fluktuasi Rupiah: Antara Permintaan Domestik dan Sentimen Global
Perspektif berbeda datang dari Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo. Ia mengamati bahwa pergerakan rupiah pada hari tersebut relatif bervariasi terhadap dolar AS. Menurut Sutopo, pelemahan tipis yang terjadi pada kurs rupiah bisa mencerminkan adanya potensi penurunan permintaan di dalam negeri, yang mengindikasikan perlambatan aktivitas ekonomi domestik.
Namun, di sisi lain, Sutopo juga menyoroti adanya penguatan rupiah di pasar spot yang tidak dapat diabaikan. Fenomena ini, lanjutnya, mengindikasikan hadirnya sentimen positif yang mungkin dipicu oleh meredanya ketegangan geopolitik di tingkat global serta peningkatan aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. “Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan volatilitas kecil namun tetap menunjukkan daya tahan rupiah,” jelas Sutopo, menekankan kemampuan rupiah untuk beradaptasi di tengah dinamika pasar.
Proyeksi Rupiah ke Depan: Menanti Sentimen dan Data Ekonomi
Mengakhiri analisisnya, Sutopo Widodo memperkirakan bahwa pergerakan “mata uang Garuda” pada Kamis, 10 Juli, akan sangat bergantung pada rilis data ekonomi krusial. Rupiah berpotensi menguat jika data pertumbuhan ekonomi domestik menunjukkan hasil positif dan sentimen *risk-on* di pasar global terus mendominasi. Sebaliknya, rupiah bisa kembali berada di bawah tekanan apabila ada kabar negatif dari kondisi ekonomi Amerika Serikat atau peningkatan ketidakpastian geopolitik yang kembali memanas.
Untuk perdagangan esok hari, Sutopo memproyeksikan rupiah akan bergerak menguat tipis, diperdagangkan di kisaran Rp 16.200 hingga Rp 16.350 per dolar AS. Senada namun dengan pandangan yang sedikit berbeda, Ibrahim Assuaibi justru memperkirakan rupiah akan kembali melemah. Menurutnya, kurs rupiah kemungkinan besar akan berada di rentang Rp 16.240 hingga Rp 16.300 per dolar AS pada Kamis, 10 Juli. Perbedaan prediksi ini menyoroti kompleksitas faktor yang memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah di tengah dinamika pasar global dan sentimen domestik.