Kurs Rupiah Melemah: Sentimen Global dan Konflik Geopolitik Jadi Biang Kerok
Sepanjang pekan ini, rupiah kembali menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), melanjutkan tren negatif yang diperkirakan berlanjut dalam jangka pendek. Berbagai sentimen global berdampak *risk-off*, menekan nilai tukar mata uang Garuda. Pada Jumat (20/6), rupiah spot tercatat melemah 0,54% ke level Rp 16.396 per dolar AS, sementara Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI mencatat pelemahan 0,65% di angka Rp 16.399 per dolar AS.
Pelemahan ini, menurut Myrdal Gunarto, Global Markets Economist at Maybank Indonesia, disebabkan oleh keluarnya dana asing dari pasar keuangan Indonesia. Ketegangan geopolitik global, terutama perkembangan konflik Iran-Israel yang berpotensi meluas dan melibatkan AS, menjadi pemicu utama. Ia memprediksi, skenario keterlibatan AS dapat mendorong rupiah hingga Rp 16.485 per dolar AS dalam jangka pendek, namun tanpa keterlibatan AS, rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp 16.400-an. Aliran keluar modal asing yang berkelanjutan akan semakin meningkatkan permintaan dolar AS di dalam negeri, sehingga memperkuat tekanan pelemahan terhadap rupiah.
Hal senada diungkapkan Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata. Ia menjelaskan, pergerakan dana asing menuju aset *safe-haven*, terutama dolar AS, sebagai respon terhadap meningkatnya ketegangan geopolitik. Kenaikan harga minyak global akibat konflik ini juga turut berkontribusi, meningkatkan ekspektasi inflasi di AS dan mendorong revisi ekspektasi kebijakan moneter The Fed yang cenderung *hawkish*. Sinyal *hawkish* dari pertemuan FOMC terbaru, yang mengindikasikan pemangkasan Fed Funds Rate mungkin tidak sebesar ekspektasi sebelumnya, semakin memperkuat dolar AS. Indeks dolar (DXY) pun terpantau menguat 0,54% dalam sepekan, mencapai 98,70 pada Jumat (20/6) pukul 19.30 WIB (berdasarkan Trading Economics).
Meskipun Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50%, sentimen eksternal yang kuat tetap memberikan tekanan depresiasi terhadap rupiah. BI bahkan melakukan intervensi di pasar spot, DNDF, dan *offshore* NDF untuk meredam volatilitas nilai tukar. Secara teknikal, rupiah memiliki *support* kuat di kisaran Rp 16.275—Rp 16.350, sementara *resistance* terdekat berada di rentang Rp 16.400—Rp 16.475. Josua memprediksi, dalam jangka pendek, tekanan eksternal yang dominan berpotensi melemahkan rupiah hingga mencapai kisaran *resistance* atas, terutama jika konflik geopolitik semakin intensif.
Namun, beberapa katalis potensial dapat membatasi atau bahkan membalikkan pelemahan rupiah. Langkah-langkah stabilisasi rupiah oleh BI, dan aliran dana masuk akibat ekspektasi kebijakan moneter domestik yang tetap akomodatif, dapat menjadi penopang. Meredanya konflik geopolitik dan sinyal positif dari perundingan diplomatik, yang mampu menstabilkan harga minyak global dan mengurangi ketidakpastian pasar, juga berpotensi membantu stabilisasi bahkan penguatan rupiah. Sebaliknya, eskalasi konflik geopolitik, khususnya jika AS terlibat aktif, akan meningkatkan harga minyak dan volatilitas global, memperparah pelemahan rupiah. Data ekonomi AS yang menunjukkan inflasi lebih tinggi dari ekspektasi, dan berujung pada kebijakan moneter The Fed yang lebih *hawkish*, juga dapat menjadi katalis negatif.