RUU TNI Ditolak: Militer Buru Dalang Petisi, Isu Gerakan Dibayar Mencuat!

Avatar photo

- Penulis Berita

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:17 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

TNI Selidiki ‘Aktor’ di Balik Penolakan Revisi UU TNI dan Tagar #IndonesiaGelap: Mengapa Gerakan Sipil Dituduh Ditunggangi?

Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkomitmen menelusuri sosok di balik masifnya penolakan Revisi Undang-Undang (UU) TNI serta tagar #IndonesiaGelap yang sempat menggaung di media sosial. TNI menduga rangkaian aksi protes tersebut tidak murni, melainkan digerakkan oleh “aktor” tertentu dan disokong aliran modal besar, dengan motif sengaja menyudutkan kinerja militer dan pemerintah.

Keinginan TNI untuk mendalami hal ini mencuat setelah pengakuan mengejutkan dari Marcella Santoso, salah satu tersangka kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) tahun 2022 yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam sebuah video berdurasi sekitar empat menit, Marcella mengaku telah membuat konten atau pemberitaan via media massa dan media sosial yang dinilai “menyerang” Kejagung.

“Bahwa saya menyadari di dalam proses penanganan perkara ini terdapat *posting*-an yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perkara yang ditangani, antara lain terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak Jaksa Agung, isu Bapak Jampidsus, isu Bapak Dirdik,” ungkap Marcella. Untuk melancarkan “operasi” tersebut, Marcella bersama advokat Junaedi Saibih (juga tersangka) menggandeng mantan Direktur Pemberitaan *JAKTV*, Tian Bahtiar, dan pentolan Cyber Army, M. Adhiya Muzakki. Lebih dari Rp1 miliar digelontorkan untuk mendanai berbagai agenda, mulai dari seminar, demonstrasi, *talkshow*, hingga pengerahan ratusan *buzzer*, dengan narasi utama memojokkan Kejagung dalam tiga perkara: dugaan korupsi PT Timah, impor gula, dan ekspor CPO. Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus, Abdul Qohar, menyebut aksi ini sebagai “penyerangan secara pribadi terhadap institusi kejaksaan, terhadap kinerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia, bahkan terhadap pimpinan kejaksaan.”

Marcella sendiri, dari kasus ini, ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan (*obstruction of justice*), setelah sebelumnya menjadi tersangka suap Rp60 miliar serta tindak pidana pencucian uang—keduanya masih terkait ekspor CPO. Namun, video pengakuan Marcella tidak berhenti pada Kejagung. Ia juga menyinggung isu yang lebih luas, termasuk pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. “Bahwa terdapat juga isu terkait kehidupan Bapak Prabowo, seperti petisi Revisi UU TNI dan juga [tagar] Indonesia Gelap,” tuturnya, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi TNI untuk menyelidiki lebih lanjut.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, menegaskan akan menggali informasi dari Kejagung terkait petisi Revisi UU TNI. “Artinya, nanti kami mencari tahu siapa sebenarnya aktor di belakang ini semua. Dan kenapa, apa motivasinya, motifnya apa, sehingga kenapa [mempermasalahkan] Revisi UU TNI,” jelas Kristomei. Kendati demikian, beberapa hari setelah video itu dipublikasikan, Marcella meralat pernyataannya, menyatakan tidak membuat konten Revisi UU TNI maupun #IndonesiaGelap. Meski ada ralat, TNI tetap meyakini bahwa gerakan penolakan Revisi UU TNI dan gelombang kritik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran, yang disimbolkan dalam #IndonesiaGelap, telah didesain sedemikian rupa, termasuk dugaan pendanaan di baliknya. “Tenaga-tenaga profesional bidang itu, yang *buzzer*, orang-orang tertentu yang punya kewenangan bisa membayar untuk meramaikan lagi di media sosial. Dan seperti itulah kira-kira yang perlu kita cari tahu,” tambah Kristomei.

‘Ini Bohirnya Siapa?’ Suara dari Barisan Masyarakat Sipil

Tudingan bahwa aksi tolak Revisi UU TNI dan tagar #IndonesiaGelap disokong pemodal justru disambut tawa oleh tiga pengelola akun Bareng Warga (@barengwarga), kanal informasi seputar isu masyarakat sipil di media sosial X dan Instagram. Mereka tidak terkejut dengan asumsi semacam itu, mengingat hal serupa bukan kali pertama terjadi. “Ketika warga punya *platform* dan jadi besar setelah diamplifikasi karena banyak warga yang setuju, yang dipikir adalah kami orang bayaran. Yang dipikir adalah kami proksi politik,” ujar Ronald, salah satu personel Bareng Warga, yang enggan namanya dipublikasikan demi keamanan. Anggota Bareng Warga lainnya, Asadiantara, menduga, “Kalau menurutku, tuduhan ‘dalang’ ini karena mungkin mereka juga *clueless*. ‘Ini *bohir*-nya siapa? Mengapa ‘kepala’-nya enggak ada yang bisa dipegang?'”

Awal 2025 menjadi momentum krusial bagi masyarakat sipil Indonesia, ditandai oleh dua gelombang protes besar secara *offline* maupun *online*. Pada Februari 2025, menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, linimasa media sosial riuh dengan tuntutan perbaikan pengelolaan negara. Masalah-masalah seperti pendirian Danantara, efisiensi anggaran, dan sulitnya akses bahan pokok memicu publik, terutama di X, untuk serentak melancarkan kritik dan merangkumnya dalam #IndonesiaGelap—lengkap dengan visual burung Garuda berlatar hitam.

Interaksi warga di X memuncak pada 17 dan 21 Februari, bertepatan dengan agenda pelantikan kepala daerah dan demonstrasi massa di berbagai kota/kabupaten. Pantauan Infogram Data Lab, perusahaan riset digital, menunjukkan dari 64.816 komentar, 52.442 (81%) di antaranya bersentimen negatif. Emosi kemarahan (*anger*) mendominasi percakapan dengan 23.991 komentar (37%). “Spektrum ini menjadi refleksi bahwa warganet geram dengan berbagai kebijakan pemerintah,” tulis Infogram Data Lab.

Sebulan kemudian, kemarahan publik kembali tersulut setelah pemerintah dan DPR seakan menutup telinga terhadap aspirasi mereka: membatalkan pengesahan Revisi UU TNI. Berbagai tuntutan, dikemas dalam bermacam konten, disebar lintas *platform*, dibarengi dengan—sekali lagi—demonstrasi besar sepanjang akhir Maret. Skalanya kurang lebih mirip dengan “Reformasi Dikorupsi” (2019) dan “Tolak UU Cipta Kerja” (2020). Dalam dua momentum protes tersebut, Bareng Warga berperan sebagai saluran informasi sekaligus pintu perlawanan.

Cerita Bareng Warga bermula dari niat pribadi yang tidak direncanakan serius. “Memang pertama kali dibikin itu sebuah akun anonim untuk mengeluh, sesederhana itu. Tidak ada kepentingan menjadi corong informasi atau melawan rezim,” ungkap Asadiantara. Seiring waktu, unggahan keluhan itu bertransformasi menjadi konten yang mendulang banyak *likes* dan dibagikan ulang, lantaran dipandang mewakili perasaan kekecewaan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Karenina, personel Bareng Warga lainnya, berpendapat titik balik Bareng Warga muncul saat penolakan Revisi UU TNI, yang juga menunjukkan cara kerja mereka. “Kami waktu itu, istilahnya, ‘ngejagain’ kota-kota yang sedang melakukan aksi menolak Revisi UU TNI. Kami menawarkan bantuan… dengan mempublikasikan situasi di lapangan,” paparnya. Banyak yang kemudian mengirimkan *footage* atau informasi mengenai pos medis, pendampingan hukum, titik evakuasi, hingga *link* CCTV. Keterlibatan aktif Bareng Warga dalam memantau dan mengawal aksi massa membuat mereka merasa turut langsung di medan perlawanan. “Banyak kota-kota yang selama ini enggak tersentuh media, jadi bisa ke-*cover*,” ujarnya.

Akun Bareng Warga, khususnya di X, dengan cepat menjadi rujukan untuk mengetahui perkembangan terbaru penolakan Revisi UU TNI. Dalam kurun waktu singkat, Bareng Warga kini telah diikuti lebih dari 10.000 akun di X dan Instagram (per 26 Juni 2025). Pengerjaan konten dan informasi di Bareng Warga dirumuskan secara partisipatif, terbuka bagi semua “warga” yang memiliki keresahan. Oleh karena itu, kiprah Bareng Warga tidak terbatas pada isu Revisi UU TNI, melainkan menyebar ke topik lain seperti kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan di Papua, keadilan untuk perempuan dan kelompok terpinggirkan, hingga perilaku pejabat. Dari aspek kolaborasi, Bareng Warga menyambut ajakan pihak lain secara sukarela, berujung pada kerja sama dengan akun-akun kolektif sejenis, individu, atau organisasi nonpemerintah. Keterbukaan ini menegaskan bahwa platform mereka bukan milik satu atau segelintir orang. “Makanya, kami *faceless*, karena kami enggak ingin balik seperti dulu lagi yang setiap gerakan banyak mengandalkan tumpuan kepada sosok atau orang tertentu,” tandas Ronald.

Jalan yang ditempuh Bareng Warga tentu tidak tanpa risiko. Apa yang mereka lakukan sering dibalas dengan upaya pembungkaman, mulai dari peretasan hingga *doxxing* (pembukaan identitas pribadi ke publik). Tuduhan bahwa gerakan sipil dibayari oleh kelompok tertentu, menurut Bareng Warga, “tidak masuk akal” dan menambah daftar panjang usaha untuk “mendiamkan” riuh kritik masyarakat. “Kalau kita melihat demo [Revisi UU TNI] kemarin, itu terjadi di setidaknya 76 kota/kabupaten di Indonesia. Maksudnya, ini sudah menjadi fenomena yang seharusnya adalah *alarm* [untuk pemerintah] ketika kita bicara soal *meaningful participation*,” kata Asadiantara.

Rentetan dugaan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat sipil lahir bersamaan dengan protes Revisi UU TNI. Saat demonstrasi meletus (21-28 Maret), 153 orang ditangkap dan 68 lainnya terluka di 15 kota/kabupaten, menurut catatan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). Pada linimasa yang sama, sejumlah kampus di Jakarta, Bali, Papua, Semarang, hingga Purwokerto didatangi personel militer saat mahasiswa berdiskusi tentang konsekuensi Revisi UU TNI atau masalah politik-sosial lainnya. Mahasiswa yang mengajukan uji formil (mempersoalkan proses pembentukan regulasi) terhadap Revisi UU TNI—setelah ditandatangani oleh Prabowo—diduga menerima intimidasi aparat yang menargetkan data pribadi dan keluarga mereka.

Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, mengingatkan militer untuk tidak menyebarkan ketakutan kepada masyarakat sipil yang mengkritik perumusan Revisi UU TNI. Konstitusi, jelas Feri, menjamin kebebasan berpendapat setiap warga. “Jadi, jangan sampai TNI terlihat ingin menakuti para pengkritik TNI,” tuturnya. Feri menambahkan, TNI seharusnya menerima masukan dari masyarakat dan tidak “mencari alasan pembenaran untuk pembentukan undang-undang yang sejak awal memang bermasalah.”

Senada, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebut tuduhan TNI kepada masyarakat sipil bahwa mereka diongkosi untuk “menyerang” Revisi UU TNI—beserta #IndonesiaGelap—menunjukkan “semacam kekeliruan berpikir.” “Bahwa masyarakat yang kritis, masyarakat yang bergerak, masyarakat yang berdemonstrasi itu adalah ditunggangi, didalangi,” ucapnya. Bagi Isnur, tudingan-tudingan itu “adalah bagian dari pembungkaman serta penyudutan.” Padahal, “gerakan masyarakat sipil berangkat dari kesadaran yang meluas dan bagian dari gerakan yang jelas dasar pikir maupun argumentasinya,” papar Isnur. Ia mengamati adanya kecenderungan dari pihak berkuasa untuk memengaruhi opini publik agar gerakan sipil terbelah, bahkan diredam. “Masyarakat sipil, mahasiswa, sudah sangat konsisten bergerak dari 1960-an, 1970-an, 1980-an, dan 1998 untuk menyatakan suaranya,” ucap Isnur. “Lalu ketika ada yang kritis, disebutnya ditunggangi, didalangi. Sangat miris.” Sebelumnya, Prabowo sendiri pernah mempertanyakan kemurnian demonstrasi masyarakat dalam wawancara dengan pemimpin redaksi media pada April 2025. “Coba perhatikan secara objektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus objektif, *dong*,” ungkapnya.

Sekecil-kecilnya Perlawanan Adalah Perlawanan

Pengurus Basuara, Sorgum, mengenang momen ketika konten Basuara (@basuara) dikerumuni setidaknya tujuh akun yang diduga *buzzer*. Konten Basuara saat itu membahas Revisi UU TNI, dinaikkan sekitar empat hari setelah UU itu disahkan DPR. “Mereka [para *buzzer*] ini langsung *nyamber* dan bilang kalau isi konten kami adalah propaganda,” cerita Sorgum. “Kami diminta saja buat mendukung Revisi UU TNI.” Basuara menganggap omongan *buzzer* sebagai angin lalu.

Seperti namanya, Basuara ditujukan sebagai ruang “bersuara bersama-sama” terhadap masalah-masalah yang berkembang di kalangan anak muda. “Kami melihat tidak jarang penyampaian [isu] di media itu dibuat dengan tidak sederhana,” Sorgum, 27 tahun, menjelaskan awal pembentukan Basuara. “Akhirnya, kami berpikir dan memutuskan untuk membuat satu *platform* kolektif agar bagaimana masalah-masalah ini dapat ditangkap sama anak-anak muda.” Perjalanan Basuara dimulai pada 2020 dengan mengawal kriminalisasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti setelah membahas riset bisnis dan militer di Papua. Basuara membungkus konten dukungan tersebut secara “santai,” bergaya khas anak muda. Audiens di Instagram merespons positif, menjadi pijakan dan dorongan bagi mereka untuk rutin berbagi informasi. Konten Basuara, disusun dengan bahasa ringan, desain berwarna, dan sesekali menyelipkan unsur budaya pop seperti *manga*, menjadikannya dekat dengan pengguna muda.

Dalam konteks penolakan Revisi UU TNI, nama Basuara sempat mencuri perhatian saat mempromosikan gelaran “Piknik Melawan”—dihelat bersama Bareng Warga dan sejumlah organisasi sipil lainnya. Secara konsep, “Piknik Melawan” adalah bentuk protes ringan dan menyenangkan, dengan mendirikan tenda, bermalam, diskusi, dan baca buku bersama di area gedung DPR-MPR. Namun, pelaksanaannya tidak selalu mulus. Aparat Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Provinsi DKI Jakarta diduga membubarkan paksa acara “Piknik Melawan” dengan alasan ketertiban dan keamanan. Hingga kini, Basuara memiliki lebih dari seribu pengikut di X dan 5.000 di Instagram, dengan komposisi pengikut mayoritas anak muda dari kalangan mahasiswa dan SMA. “Bahkan pernah suatu waktu ada anak SMA sengaja *reach out* kami, meminta untuk membahas isu tertentu yang mereka kurang paham atau atau masih bingung,” kata Sorgum.

Sama seperti Bareng Warga, Basuara terbuka terhadap keterlibatan orang lain. Mereka ingin menciptakan ruang inklusif agar siapapun dapat bergabung dan berkontribusi. “Basuara itu berbeda-beda. Ada anak komunikasi, hukum, dan lain-lain. Ada yang dari lingkaran terdekat, ada yang baru ketemu dan kenal,” tutur Sorgum. “Kami ingin membangun *platform* ini secara sama-sama, termasuk teman-teman yang dari komunitas di luar Jakarta yang selama ini sudah membersamai kami.” Ketika militer menuding demonstrasi dan kritik terhadap Revisi UU TNI sebagai aktivitas yang dibayar, Sorgum melihat bahwa “negara menodai perjuangan masyarakat sipil.”

Jalan yang dipilih Bareng Warga, Basuara, atau kolektif sipil lainnya kerap membawa para personelnya ke dalam keterasingan, di samping risiko yang senantiasa mengintai. Sorgum berpendapat, meskipun Basuara adalah “akun kecil,” ini adalah cara mereka, dan warga sipil lainnya, untuk bertahan di antara gejolak kekuasaan. Setiap kebijakan yang dicetuskan serampangan, perlu dipertanyakan dan diperjuangkan agar kembali ke koridor yang semestinya. “Kalau ditanya apa yang bikin bertahan yaitu saya percaya Basuara adalah rangkaian upaya-upaya kecil sebagai sumber kekuatan untuk yang belum dimenangkan hari ini,” sebutnya.

Sejauh ini, Bareng Warga belum merasa akan berhenti melakukan apa yang sudah mereka lakukan. Keputusan untuk menyudahi Bareng Warga, kelak, diambil jika warga sipil benar-benar dilibatkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Dengan demikian, warga sipil “menjadi diperhitungkan dan keberadaan kami tidak lagi relevan,” tegas Ronald. “Pada dasarnya, kami yang di Bareng Warga adalah pekerja biasa, bukan aktivis tulen. Kami bekerja, terima gaji, dan bayar pajak. Kami ingin tahu pajak kami itu digunakan dengan baik [oleh pemerintah],” tambahnya. Melalui platform yang tersedia, Bareng Warga ingin mengajak warga sipil untuk “menjadi aktivis meski hanya 10 menit,” tutur Ronald. “Dengan kita bersuara, setidaknya kita sudah mengusahakan perlawanan-perlawanan kecil, sesuai *tagline* yang kami usung,” jelasnya.

Kata kuncinya yakni “bersama-sama,” kata Asadiantara, dan itu sudah setapak demi setapak terbangun. “Pernah ketika kami ingin mengadakan acara, beberapa kawan dari organisasi lain menawarkan tempat dan konsumsi karena mereka tahu kami enggak punya uang,” ingat Asadiantara. Jaringan sesama warga sipil yang terbentuk, menurut Asadiantara, menggambarkan betapa “sipil dukung sipil” bukan kemustahilan dan mampu menjadi kekuatan alternatif dalam mewujudkan pemenuhan hak yang berkeadilan. Rasa lelah, tidak bisa dimungkiri, sering kali muncul. Jika sudah begitu, Karenina mengingat bagaimana cerita banyak orang yang terpengaruh Bareng Warga untuk terus atau kembali menyuarakan kegelisahan mereka. Ia tidak menyangka bahwa Bareng Warga mampu mendorong—walaupun hanya sedikit—api kemarahan masyarakat yang sebelumnya padam atau bahkan mati. “Kami bertemu banyak orang dan mereka memberikan testimoni. Bareng Warga, katanya, bikin mereka bersedia untuk *ngomong* atas apa yang terjadi dengan situasi sekarang,” ucap Karenina. “Dari situ, *as long as* publik masih percaya Bareng Warga, kami juga akan terus di sini.”

Berita Terkait

Aptrindo: Penertiban ODOL Kacau! Regulasi Tak Jelas, Keadilan Dipertanyakan
Nadiem Makarim Dicekal: Alasan Kejagung Bikin Geger!
Nadiem Dicekal! Kejagung Usut Proyek Laptop Rp 9,9 T?
Urus Sertifikat Tanah Akhir Pekan? Bisa! Ini Kata Kementerian ATR/BPN
Prabowo Jemput Anwar Ibrahim di Halim: Pertanda Hubungan Semakin Erat?
Dasco Buka Suara: Respons Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu 2024
MK Ketok Palu! Pemilu Nasional & Lokal Dipisah, Dasco Buka Suara
Anwar Ibrahim Tiba di Jakarta, Prabowo Langsung Sambut di Halim!

Berita Terkait

Jumat, 27 Juni 2025 - 22:40 WIB

Nadiem Makarim Dicekal: Alasan Kejagung Bikin Geger!

Jumat, 27 Juni 2025 - 20:21 WIB

Nadiem Dicekal! Kejagung Usut Proyek Laptop Rp 9,9 T?

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:17 WIB

RUU TNI Ditolak: Militer Buru Dalang Petisi, Isu Gerakan Dibayar Mencuat!

Jumat, 27 Juni 2025 - 18:42 WIB

Urus Sertifikat Tanah Akhir Pekan? Bisa! Ini Kata Kementerian ATR/BPN

Jumat, 27 Juni 2025 - 18:27 WIB

Prabowo Jemput Anwar Ibrahim di Halim: Pertanda Hubungan Semakin Erat?

Berita Terbaru

Fashion And Style

OOTD Kencan: 8 Gaya Jung Hae In Bikin Pacar Makin Cinta!

Sabtu, 28 Jun 2025 - 01:35 WIB

Pets And Animals

Kuda Jeju: 5 Fakta Unik & Mengagumkan si Legenda Pulau Jeju!

Sabtu, 28 Jun 2025 - 01:21 WIB