Hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya tanpa henti sejak Minggu (06/07) hingga keesokan harinya memicu bencana banjir di sejumlah kota dan provinsi. Genangan air setinggi 30 cm hingga 150 cm merendam jalan-jalan vital dan ribuan rumah di Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, hingga Tangerang Selatan. Peristiwa ini tak hanya melumpuhkan aktivitas warga, namun kembali menguak pertanyaan krusial: seberapa efektif dan siapkah sistem peringatan dini pemerintah dan inisiatif masyarakat dalam menghadapi ancaman banjir yang kian kompleks?
Hingga Selasa (08/07) siang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta melaporkan bahwa banjir masih merendam 58 Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat, serta dua ruas jalan utama. Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BPBD DKI Jakarta, Mohamad Yohan, membenarkan bahwa genangan terjadi di area-area tersebut.
Dampak banjir meluas hingga ke daerah penyangga ibu kota. Di Bogor, seorang ibu hamil terluka akibat longsor yang dipicu intensitas hujan tinggi. Bekasi mengalami genangan parah, bahkan air mencapai lantai dua rumah warga di Vila Nusa Indah 2. Area lain yang terdampak parah di Bekasi meliputi Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Jatiasih, Pondok Gede, dan Rawalumbu. Sementara itu, di Depok, banjir merendam daerah Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya, Mampang, Tanah Baru, dan Limo. Akses utama dari Serpong menuju Ciledug, tepatnya di Jalan Maharta, Pondok Aren, Tangerang Selatan, juga lumpuh hingga Selasa (08/07) pagi, disertai genangan di perumahan mulai dari Pamulang hingga Serpong.
Sistem Peringatan Dini Pemerintah: Kesiapan BPBD DKI Jakarta
Dalam menghadapi ancaman ini, BPBD Jakarta telah mengaktifkan berbagai kanal peringatan dini. Sejak Senin malam (07/07), akun X (sebelumnya Twitter) resmi BPBD Jakarta aktif membagikan informasi dan peringatan dini banjir melalui video. Dalam video tersebut, terlihat petugas turun langsung ke lapangan, menyampaikan peringatan menggunakan pengeras suara di titik-titik rawan banjir.
Inovasi mitigasi banjir BPBD Jakarta juga terlihat dari pemasangan alat pendeteksi dini di 90 lokasi rawan banjir yang tersebar di 69 kelurahan sejak tahun lalu. Perangkat canggih ini dilengkapi delapan sensor yang memantau ketinggian air, debit air, kecepatan dan arah angin, kecepatan aliran, suhu, kelembapan, serta curah hujan. Data yang terkumpul diolah dalam Sistem Informasi Manajemen Bencana (Simba) dan disebarluaskan sebagai peringatan melalui radio, pesan singkat (SMS), WhatsApp, serta situs web resmi BPBD DKI Jakarta.
Tak hanya itu, sejak 2021, BPBD Jakarta juga mengimplementasikan Disaster Warning System (DWS) di area rawan bencana banjir. Tiap unit DWS dilengkapi empat pengeras suara yang dipasang pada tiang tinggi dan terhubung langsung dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BPBD DKI Jakarta menggunakan teknologi VHF digital radio. Jangkauan bunyi DWS bisa mencapai 500 meter. Saat tinggi muka air bendungan mencapai Siaga 3, DWS akan otomatis berbunyi, memberi peringatan dini kepada warga untuk bersiap dan mengantisipasi potensi dampak banjir.
Pemerintah Provinsi Jakarta turut mengembangkan aplikasi “Sistem Peringatan Dini Banjir” berbasis Android yang dapat dipasang di telepon pintar. Aplikasi ini menyediakan informasi real-time mengenai status tinggi muka air, curah hujan ekstrem, pantauan CCTV, hingga laporan genangan dari warga, meningkatkan partisipasi dan aksesibilitas informasi bagi masyarakat.
Kemandirian Warga dalam Sistem Peringatan Dini: Kisah KP2C
Di tengah upaya pemerintah, inisiatif mandiri dari masyarakat juga terbukti sangat vital dalam sistem peringatan dini. Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C), yang telah berdiri sejak 2004, mengembangkan sistem peringatan dini dan peta kawasan rawan dampak banjir secara swadaya. Hasilnya, seperti ditegaskan oleh inisiatornya, Puarman, ‘Walaupun banjir sebesar apapun di wilayah kerja KP2C, belum pernah ada korban jiwa.’
KP2C bekerja sama dengan ‘petugas pemantau’ di wilayah hulu sungai, yang secara sukarela melaporkan ketinggian permukaan air jika meluap. Awalnya hanya dua orang, kini ada enam petugas pemantau yang secara rutin menerima dukungan pulsa dan sembako dari komunitas. Metode penyebaran informasi pun telah berevolusi dari SMS ke grup WhatsApp. Dengan 32 ribu anggota dan 23 grup WhatsApp, informasi kini dapat disebarkan secara masif. Perluasan titik pengamatan di hulu Sungai Cikeas dan Cileungsi kini memberi warga waktu hingga delapan jam untuk mempersiapkan diri menghadapi banjir. Hebatnya, infrastruktur peringatan dini ini telah mapan tanpa sedikit pun kucuran dana dari pemerintah.
Bahkan, berbagai lembaga pemerintah, termasuk TNI, Polri, Basarnas, dan BNPB, kini menjadi anggota KP2C dan kerap mengambil data dari komunitas ini. KP2C sendiri hanya menggaji enam petugas pemantau dan membiayai operasional paket data CCTV sebagai pilar utama sistem peringatan mereka, menunjukkan efisiensi dan komitmen tinggi.
Respons Warga terhadap Peringatan Dini: Pengalaman Suhar dan Gutfan
Efektivitas sistem peringatan dini dapat dilihat dari pengalaman warga. Suhar (54), warga Kampung Melayu, Jatinegara, menerima pesan peringatan via grup WhatsApp kelurahannya saat Jakarta diguyur hujan pada Sabtu (05/07). Pesan tersebut menginformasikan tinggi permukaan air di Pos Depok mencapai 345 centimeter pada pukul 22.00, yang dikategorikan Siaga 2 dengan peringatan ‘Warga Sekitar Aliran Pos Depok Waspada Banjir Kiriman’. Meskipun rumah Suhar berjarak sekitar satu kilometer dari Sungai Ciliwung dan wilayahnya rawan banjir, ia bersyukur air tidak sampai masuk ke rumahnya malam itu.
Suhar merasa lega dengan peringatan Siaga 2, yang baginya berarti tidak akan terkena banjir. Ia menjelaskan kepada wartawan Johanes Hutabarat pada Rabu (09/07) bahwa ‘Siaga 1’ atau ‘air kali yang di Manggarai ini sudah tinggi, terus [air] Katulampa atau Depok tinggi juga sudah lebih [dari] normal’ barulah ia dan tetangganya bersiap sepenuhnya. Pos Depok dan Katulampa adalah patokan vital volume air yang mengalir dari Bogor ke Jakarta melalui Sungai Ciliwung, menjadikan peringatan ini sangat berguna sebagai acuan antisipasi bagi warga.
Senada dengan Suhar, Gutfan (45), warga Cawang, Jakarta Timur, juga menerima informasi potensi banjir dari grup WhatsApp warga yang dikelola ketua RT-nya. Wilayah Cawang yang rawan banjir segera mendapat peringatan dari ketua RT pada Minggu (06/07) pukul sembilan malam. Meski informasi awal tidak sedetail data tinggi muka air di titik-titik tertentu, Gutfan terbiasa segera mengecek situs BPBD Jakarta untuk informasi lebih lanjut. Gutfan menjelaskan bahwa ketua RT-nya mendapat informasi dari pihak RW, yang terkoneksi dengan kelurahan.
Air mulai masuk ke rumah Gutfan pada Senin (07/07) subuh, mencapai setinggi mata kaki, dan puncaknya setinggi paha sekitar pukul 10 pagi, sebelum akhirnya surut pukul 13.00. Gutfan sangat terbantu oleh sistem peringatan via WhatsApp yang terbentuk sekitar lima tahun terakhir, seiring dengan regenerasi ketua RT yang lebih melek teknologi. Keberadaan sistem ini meningkatkan kewaspadaan warga dan memberikan informasi penting, membuktikan bahwa teknologi dan inisiatif lokal dapat bekerja sinergis dalam penanggulangan bencana.
Tantangan Sistem Peringatan Dini: Perluasan Wilayah Terdampak dan Kerusakan Lingkungan
Namun, Puarman dari KP2C menyoroti realitas pahit bahwa wilayah terdampak banjir kini semakin meluas. Ia sendiri mengalami banjir di rumahnya pada Maret lalu, padahal sejak tinggal di sana pada 2010 belum pernah kebanjiran. Hal ini, menurut Puarman, disebabkan oleh kerusakan area serapan di hulu dan penyempitan sungai di hilir akibat padatnya pembangunan perumahan di kiri-kanan sungai.
Meskipun demikian, sistem peringatan dini KP2C dengan jangkauan dari hulu hingga Laut Jawa telah melayani sekitar 32 ribu anggotanya beserta keluarga dan tetangga. Komposisi anggota KP2C menunjukkan 40% berasal dari Kabupaten Bogor, 40% dari Kota Bekasi, dan 20% dari Kabupaten Bekasi, menunjukkan cakupan lintas wilayah yang signifikan dalam upaya mitigasi banjir.
Blind Spot dalam Sistem Peringatan Dini: Analisis Pakar Hidrodinamika ITB
Muslim Muin, Pakar Hidrodinamika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan keprihatinannya. Menurutnya, sepanjang pengetahuannya, belum banyak pemerintah daerah di luar Jakarta yang serius mengembangkan sistem peringatan dini banjir yang komprehensif. Ia menjelaskan bahwa dua ‘sumber’ banjir di Jakarta—banjir kiriman dari hulu dan banjir rob di pesisir—sebenarnya relatif dapat diprediksi.
Banjir kiriman memiliki rentang waktu yang cukup untuk sampai ke area rawan, sehingga risikonya dapat diminimalkan. Demikian pula banjir rob, yang disebabkan pasang surut air laut dan penurunan permukaan tanah (land subsidence), juga dapat diperkirakan. Namun, masalah utama terletak pada hujan lokal yang sulit diprediksi secara akurat. Ketika hujan lokal yang ekstrem ini berbarengan dengan banjir kiriman atau rob, potensi kegawatan meningkat drastis. ‘Hujan itu tidak bisa diprediksi dengan akurat, jadi tidak ada peringatan dininya. Tiba-tiba hujan ekstrem saja,’ tegas Muin. Ia menambahkan bahwa tidak ada badan cuaca di dunia ini, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), yang dapat memperkirakan kapan hujan akan turun dan seberapa besar intensitasnya, karena prosesnya bersifat stokastik atau acak.
Menuju Solusi Permanen: Rekayasa Lingkungan dan Tata Kelola Air
Dengan dua dekade pengalaman membangun sistem peringatan dini mandiri, Puarman dari KP2C optimistis bahwa warga di sekitar jalur sungai semakin siap menghadapi banjir, bahkan telah memiliki peta wilayah terdampak yang jelas. Namun, ia mengakui sistemnya tak mampu menghentikan perluasan banjir. Dulu, 80% air hujan di daerah Sentul, Puncak, dan sekitarnya meresap ke tanah, menyisakan hanya 20% yang mengalir ke hilir. Kini kondisinya terbalik: hanya 20% yang meresap, sisanya 80% langsung menggelontor ke hilir.
Solusi yang diusulkan Puarman meliputi perbaikan wilayah resapan di hilir dan normalisasi sungai Cileungsi dan Cikeas, yang terakhir dikeruk pada tahun 1971. Ia menekankan bahwa debit air sungai terus bertambah, sementara kapasitas tampung sungai menjadi sangat terbatas. Sementara itu, Muslim Muin menambahkan bahwa memperbesar kanal dan drainase bukanlah pilihan bijak, karena akan mengubah Jakarta menjadi ‘saluran air’ raksasa, yang tidak realistis.
Solusi fundamental, menurut Muin, adalah memperbaiki area resapan agar air hujan tidak langsung membanjiri saluran. ‘Kita harus kendalikan hujan yang dari hulu ini. Jadi catchment area di hulu harus dikendalikan,’ ujarnya. Menampung air dari hulu akan mengurangi beban akibat hujan lokal di Jakarta. Muin mencontohkan keberhasilan sistem polder di Teluk Gong, Jakarta Utara, yang meskipun merupakan daerah land subsidence, tidak kebanjiran berkat tanggul yang diperkuat dan pompa yang berfungsi baik. Dengan rekayasa air dan teknologi tepat guna, banjir dapat dikendalikan dan dihindari, menawarkan harapan bagi masa depan kota-kota di Indonesia.