Selat Hormuz, urat nadi perdagangan energi global, kembali menjadi sorotan. Ancaman penutupan selat strategis ini oleh Iran, sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklirnya, mengguncang pasar dunia dan menimbulkan ketidakpastian ekonomi global. Parlemen Iran telah menyetujui opsi penutupan pada Minggu (22/6), namun keputusan akhir masih menunggu persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Serangan tersebut mengakibatkan bursa-bursa dunia, termasuk IHSG Indonesia yang mengalami penurunan paling tajam di Asia, ambruk. David Sumual, Kepala Ekonom BCA, menjelaskan bahwa ketegangan di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, telah memicu kekhawatiran pasar terhadap pasokan energi global. Letak Selat Hormuz yang strategis, di antara Iran dan Oman, menjadikannya satu-satunya jalur laut dari Teluk Persia menuju Laut Arab. Jalur sempit ini, hanya selebar 33 kilometer pada titik tersempitnya dan dengan jalur pelayaran sekitar 3 kilometer untuk masing-masing arah, menjadi rute utama ekspor minyak dan gas dari negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Irak, dan Qatar.
Pentingnya Selat Hormuz bagi perekonomian global tidak dapat dipandang sebelah mata. Lebih dari 20 persen konsumsi minyak harian dunia, sekitar 18 hingga 20 juta barel per hari, melintasi selat ini, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA). Negara-negara OPEC seperti Arab Saudi dan Iran mengandalkan selat ini untuk mengekspor sebagian besar minyak mentah mereka, begitu pula Qatar, pengekspor gas alam cair (LNG) terbesar dunia, yang mengirim hampir seluruh produksinya melalui jalur yang sama. Penutupan atau gangguan di Selat Hormuz akan berdampak langsung pada pasokan energi global, meningkatkan harga minyak dunia, dan memperparah inflasi internasional. Negara-negara Asia seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan sangat bergantung pada pasokan energi melalui jalur ini.
Ancaman penutupan Selat Hormuz bukanlah hal baru. Iran telah beberapa kali mengeluarkan ancaman serupa sebagai respons terhadap tekanan dari Barat, meskipun ancaman tersebut belum pernah direalisasikan. Kali ini, ancaman tersebut muncul setelah AS secara terbuka mendukung serangan Israel ke situs nuklir Iran pada Minggu (22/6). Beberapa anggota parlemen Iran menyebut penutupan selat sebagai “hak sah” mereka, namun pejabat lain menekankan bahwa opsi tersebut hanya akan digunakan jika kepentingan nasional Iran terancam secara langsung. Penutupan Selat Hormuz diperkirakan akan berdampak buruk bagi Iran sendiri, yang juga mengekspor minyak melalui jalur tersebut, dan hampir pasti akan memicu respons militer dari AS dan sekutunya, mengingat Armada Kelima Angkatan Laut AS yang bermarkas di Bahrain bertanggung jawab atas keamanan pelayaran di wilayah tersebut.
Dampak ancaman penutupan Selat Hormuz sudah terlihat di pasar global. Harga minyak mentah dunia melonjak setelah serangan AS ke Iran. Minyak Brent mencapai level tertinggi sejak Januari, dan minyak mentah West Texas Intermediate juga mengalami kenaikan signifikan. Di Indonesia, Pertamina telah mengantisipasi potensi gangguan distribusi dengan mengalihkan jalur pengiriman minyak ke Oman dan India, dan memastikan stok nasional masih aman. Sementara itu, negara-negara pengimpor minyak utama seperti China dan Jepang tengah mempertimbangkan risiko gangguan pasokan energi dari Teluk.