TEHERAN, RAGAMHARIAN.COM — Ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur pelayaran vital bagi energi global, kembali mencuat di tengah ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat. Kecemasan global meningkat setelah pemerintah Iran mempertimbangkan langkah drastis ini sebagai balasan atas serangan AS terhadap tiga situs nuklir Teheran pada Sabtu, 21 Juni 2025. Meskipun parlemen Iran mendukung penutupan tersebut, keputusan final masih menunggu persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.
Selat Hormuz, terletak antara Teluk Persia dan Teluk Oman, memiliki lebar hanya 33 kilometer pada titik tersempitnya. Namun, jalur pelayaran yang sebenarnya untuk kapal supertanker jauh lebih sempit, hanya sekitar dua mil di setiap sisi, melewati perairan teritorial Iran dan Oman. Akibatnya, selat ini menjadi titik kritis dalam rantai pasokan energi global, dengan sekitar 20 juta barel minyak – seperlima produksi minyak harian dunia – melintasinya setiap hari, menurut Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA).
Penutupan Selat Hormuz akan berdampak ekonomi yang luar biasa. Lonjakan harga minyak dunia hampir pasti terjadi, yang pada gilirannya akan memicu kenaikan harga barang-barang secara global. Alex Younger, mantan Kepala Badan Intelijen Inggris MI6, memperingatkan dampak ekonomi yang signifikan dari penutupan tersebut kepada BBC. Lonjakan harga minyak mentah Brent hingga di atas 80 dolar AS per barel pasca serangan udara AS menjadi bukti potensi dampaknya. Meskipun harga kemudian turun, kekhawatiran tetap ada, dengan beberapa analis memperkirakan harga bisa mencapai 100 dolar AS per barel jika Selat Hormuz ditutup. Mohammad Ali Shabani, pengamat Iran dan editor media Amwaj, bahkan melihat potensi penutupan ini sebagai alat Iran untuk mengganggu pasar minyak, meningkatkan inflasi, dan menjatuhkan agenda ekonomi tertentu.
Dampak penutupan Selat Hormuz akan paling terasa di Asia. Data EIA menunjukkan bahwa 84 persen minyak mentah dan 83 persen gas alam cair yang melewati selat tersebut ditujukan ke pasar Asia. Arab Saudi, misalnya, mengekspor sekitar 6 juta barel minyak mentah per hari melalui Selat Hormuz, lebih banyak daripada negara tetangga mana pun. China, importir minyak terbesar dari Iran, menerima 5,4 juta barel per hari melalui jalur ini pada kuartal pertama tahun ini. India dan Korea Selatan masing-masing mengimpor 2,1 juta dan 1,7 juta barel per hari, jauh lebih banyak dibandingkan impor AS dan Eropa yang hanya sekitar 400.000 dan 500.000 barel per hari. Kekhawatiran ini telah diungkapkan oleh Kementerian Luar Negeri China yang menekankan pentingnya menjaga keamanan kawasan Teluk Persia, sementara Menteri Perminyakan India, Hardeep Singh Puri, berupaya menenangkan pasar dengan menyatakan diversifikasi sumber energi India.
Meskipun ancaman penutupan Selat Hormuz nyata, beberapa analis menilai skenario ini sebagai “risiko ekstrem yang kecil”. Vandana Hari, CEO Vanda Insights, berpendapat bahwa Iran memiliki terlalu banyak yang dipertaruhkan, termasuk hubungan dengan negara-negara penghasil minyak dan pasar utama seperti China. Kehadiran armada laut AS di wilayah tersebut juga menjadi faktor pencegah yang signifikan. Iran, menurut Hari, akan kehilangan lebih banyak daripada yang didapat dengan menutup selat tersebut, termasuk dukungan dari negara-negara yang selama ini netral atau bersimpati.
Kesimpulannya, meskipun kemungkinan penutupan Selat Hormuz masih diperdebatkan, ketergantungan dunia pada jalur pelayaran ini tidak dapat disangkal. Ketegangan di kawasan ini, terutama yang melibatkan aksi militer, akan selalu mengguncang pasar energi global dan meningkatkan risiko krisis ekonomi.