Putusan PK Setya Novanto: MA Pangkas Hukuman Korupsi e-KTP Jadi 12,5 Tahun, KPK Hormati Meski Soroti Keadilan Publik
Ragamharian.com – Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan publik setelah mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Putusan ini secara signifikan memangkas masa hukuman Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara, memicu perdebatan luas terkait komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menanggapi putusan yang menuai banyak perhatian ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, menyatakan lembaganya hanya bisa menghormati keputusan hukum tersebut. Fitroh menegaskan, secara hukum, KPK tidak memiliki instrumen untuk mengajukan keberatan terhadap putusan Peninjauan Kembali.
“KPK tetap menghormati putusan PK tersebut meskipun ada pengurangan atas pidana badan, karena memang tidak ada upaya hukum PK yang diberikan kepada KPK sebagai bentuk keberatan atas putusan PK dimaksud,” jelas Fitroh, yang dikonfirmasi pada Rabu (2/7).
Ia menambahkan, permohonan peninjauan kembali merupakan hak hukum setiap terpidana, termasuk narapidana kasus korupsi. Oleh karena itu, KPK tidak memiliki dasar hukum untuk mengintervensi proses tersebut. Meski demikian, KPK berharap putusan serupa di masa depan akan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta semangat pemberantasan korupsi yang menjadi aspirasi publik.
Fitroh menekankan, “Kami memahami bahwa dalam sistem hukum nasional, MA adalah institusi tertinggi yang berwenang memutus PK. Namun kami juga percaya masyarakat akan menilai sendiri dan terus mengawal agenda antikorupsi di negara ini.” Pernyataan ini menunjukkan penghormatan terhadap sistem hukum sekaligus harapan pada kontrol sosial masyarakat.
Putusan Peninjauan Kembali Setya Novanto tercantum dalam dokumen nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dapat diakses melalui situs resmi MA pada Rabu (2/7). Majelis hakim menyatakan Setya Novanto terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain pidana pokok berupa pengurangan masa tahanan, Setya Novanto juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Tak hanya itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti (UP) sebesar USD 7,3 juta. Sebagian dari jumlah tersebut, yakni Rp 5 miliar, telah dikompensasi karena telah dititipkan ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun sisa uang pengganti sebesar Rp 49.052.289.803 dijatuhkan dengan pidana subsider 2 tahun penjara. Sebagai pidana tambahan, Setya Novanto juga dijatuhi hukuman pencabutan hak politik, yaitu larangan menduduki jabatan publik selama 2 tahun 6 bulan setelah masa pemidanaan berakhir. Putusan ini diketok oleh majelis hakim yang terdiri dari Ketua Majelis Hakim Agung Surya Jaya, serta dua anggota hakim yakni Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono, pada 4 Juni 2025.
Kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto memang sempat menjadi salah satu perkara besar yang paling menyita perhatian publik. Skandal ini tidak hanya melibatkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun, tetapi juga menyeret sejumlah pejabat tinggi lainnya, menjadikannya simbol kompleksitas dan tantangan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.